Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #24

24

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ritme yang lebih tenang, meskipun masih ada beberapa momen yang membuat kami ragu. Elina mulai menunjukkan lebih banyak perhatian terhadap diri sendiri, bahkan menghabiskan waktu untuk melakukan hobi yang telah lama ditinggalkan. Sementara itu, aku berusaha untuk lebih sabar dan menghargai setiap proses yang ada.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, tak ada yang sepenuhnya berjalan mulus. Aira, yang sebelumnya tampak bisa menerima perubahan tersebut, mulai menunjukkan sikap yang agak berbeda.

Pada suatu sore, saat aku dan Elina sedang duduk di ruang tamu, Aira masuk dengan wajah yang tampak cemberut. Aku bisa merasakan suasana hati yang berubah begitu dia mendekat.

"Aira, ada apa?" tanyaku lembut, berusaha mengerti.

Dia menatap kami dengan tatapan yang sulit aku artikan. "Kenapa kalian tidak memberi tahu aku lebih dulu tentang hal ini?" ujarnya, suaranya sedikit meninggi.

Aku menoleh ke Elina, yang tampaknya terkejut dengan perubahan sikap Aira. "Maksudmu apa, Aira?"

"Aku tahu kalian berdua sedang mencoba untuk memperbaiki hubungan kalian, tapi kenapa aku tidak diberi tahu? Kenapa aku harus mendengarnya dari teman-temanku di sekolah?" Aira tampak kesal, namun aku bisa melihat di balik kemarahannya ada ketakutan dan kebingungan yang mendalam.

Elina menghela napas panjang. "Aira, kami memang tidak memberitahumu lebih dulu karena kami tidak ingin membuatmu merasa terbebani. Kami ingin kamu tahu kalau semuanya masih berjalan dengan baik, tapi kami memang masih berusaha mencari cara yang tepat untuk melangkah ke depan."

"Aku tidak butuh alasan!" Aira tiba-tiba berdiri dan berbalik, berjalan cepat ke kamarnya. Aku bisa mendengar pintu kamar yang terhempas dengan keras. Ada rasa sesak di dada yang tiba-tiba muncul.

Aku menatap Elina, yang tampaknya juga merasa terpukul. "Dia merasa disisihkan, Elina. Dia butuh waktu untuk menerima ini, sama seperti kita."

Elina terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Aku tahu. Aku hanya tidak ingin Aira merasa seperti ini. Aku ingin dia tahu bahwa kami tetap peduli padanya."

Aku mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut. "Dia akan mengerti. Kita semua membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan perubahan. Jangan khawatir, kita akan membantu Aira melalui ini."

Setelah beberapa saat, Elina berdiri dan berjalan menuju kamar Aira. Aku mengikuti di belakang, meskipun tahu bahwa percakapan ini bisa jadi sulit. Elina mengetuk pintu kamar Aira perlahan, berharap agar Aira mau membuka dan mendengarkan.

Pintu terbuka dengan sedikit ragu, dan Aira berdiri di baliknya, matanya sembab. Elina memandangnya dengan penuh kasih sayang. "Aira, kamu tahu kan kami tidak pernah berniat untuk membuatmu merasa terasingkan. Kami hanya ingin kamu tahu bahwa kami tetap ada untukmu, dan kami akan selalu mendukungmu."

Aira menunduk, terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara lirih, dia berkata, "Aku merasa seperti semuanya berubah begitu cepat. Aku takut kehilangan kalian berdua."

Elina duduk di samping Aira, memeluknya dengan lembut. "Kami tidak akan pergi ke mana-mana, Aira. Kami akan tetap bersama, kita hanya sedang berusaha mencari cara agar kita semua bisa merasa lebih baik."

Aku berdiri di pintu, mengamati mereka berdua. Ada perasaan haru yang tiba-tiba datang, melihat betapa dalam ikatan kami satu sama lain. Terkadang, perasaan takut dan cemburu itu datang bukan karena kita ingin memisahkan diri, tetapi karena kita ingin menjaga hubungan tersebut tetap utuh.

Aira akhirnya menangis di pelukan Elina, dan aku bisa merasakan beban yang sedikit berkurang dari pundak mereka. Mungkin inilah yang diperlukan—kesabaran, saling memahami, dan memberi ruang bagi masing-masing untuk tumbuh.

Kami bertiga duduk di kamar itu, saling berbicara dengan hati yang terbuka. Kami tahu ini tidak akan mudah, tetapi kami siap menjalani perjalanan ini bersama.

Pagi itu, langit tampak cerah, dan udara terasa lebih segar dari biasanya. Aku bangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Setelah semalam berbicara dengan Aira dan Elina, ada harapan baru yang mulai tumbuh dalam hatiku. Meskipun kami masih harus melalui banyak hal, aku merasa bahwa kami bisa melaluinya bersama.

Aira keluar dari kamarnya lebih pagi dari biasanya, dan senyum kecil muncul di wajahnya saat melihat aku dan Elina duduk di meja makan, menikmati sarapan. Ada sesuatu yang berbeda hari ini—sesuatu yang penuh dengan ketulusan dan kebersamaan.

"Aku minta maaf kalau kemarin aku sedikit berlebihan," kata Aira sambil duduk di kursi sebelahku. "Aku hanya merasa takut, takut semuanya berubah begitu cepat, dan aku tidak tahu bagaimana menyesuaikan diri."

Lihat selengkapnya