Bintang di Hari Selasa

Penulis N
Chapter #25

25

Pagi itu, langit cerah dengan sedikit awan putih yang menggantung di atas, memberi kesan segar dan penuh harapan. Elina dan Aira sudah siap untuk memulai hari, sementara aku masih menghabiskan waktu sebentar di dapur, menyiapkan sarapan. Kehangatan pagi yang nyaman membuatku berpikir betapa banyak perubahan yang telah terjadi dalam hidup kami, terutama dalam hubungan kami bertiga.

Hari-hari kami sudah lebih terasa ringan. Meskipun ada kalanya kami menghadapi masalah atau tantangan, kami selalu bisa berbicara satu sama lain dan mencari solusi. Terkadang, masalah datang bukan untuk menguji, tetapi untuk menguatkan hubungan kami.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Elina, masuk ke dapur dengan senyum cerahnya. Dia sudah mengenakan pakaian olahraga, siap untuk beraktivitas di luar rumah.

"Aku pikir kita bisa pergi bersepeda ke taman kota. Bagaimana kalau kita bawa Aira juga? Mungkin dia butuh waktu untuk bersantai juga," jawabku sambil mengaduk adonan pancake.

"Ah, itu ide bagus. Aira pasti senang," kata Elina. "Aku akan siapkan beberapa bekal, ya?"

Aku mengangguk. "Tentu saja, aku akan menyelesaikan ini dulu."

Setelah sarapan, kami pergi bersepeda ke taman kota. Aira tampak lebih ceria hari itu, meskipun matanya masih menunjukkan sedikit kelelahan. Kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah bangku taman yang rindang, di bawah pohon besar yang memberikan keteduhan.

"Aku benar-benar tidak percaya kita sudah sampai di sini," kata Aira, melihat sekeliling taman yang penuh dengan bunga-bunga warna-warni. "Aku merasa seperti aku sudah lebih jauh, lebih kuat sekarang."

Elina tersenyum lembut, menepuk pundak Aira. "Kami senang mendengar itu. Perjalananmu masih panjang, tapi kami akan selalu ada di sini."

Kami menghabiskan waktu di taman, berbicara tentang banyak hal, mulai dari kenangan masa lalu hingga rencana masa depan. Momen seperti itu terasa begitu berharga. Kehidupan kami yang penuh warna kini terasa lebih damai, dan setiap langkah ke depan terasa lebih ringan.

Setelah beberapa jam bersantai, kami kembali ke rumah. Aira tampak kelelahan tetapi juga merasa lebih segar. Di rumah, kami duduk bersama di ruang tamu, menikmati teh hangat sambil berbicara tentang apa yang kami inginkan untuk masa depan.

"Aku ingin melanjutkan studiku," kata Aira suatu malam setelah makan malam. "Aku ingin mencoba hal-hal baru, mencari passion-ku sendiri."

Aku tersenyum mendengar itu. "Kamu sudah menunjukkan banyak keberanian, Aira. Apapun yang kamu pilih, kami akan mendukungmu."

Elina menambahkan, "Jangan takut untuk mengejar impianmu, Aira. Kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa."

Aira terlihat tersenyum, matanya berbinar. "Aku akan mulai mencari informasi tentang beasiswa, dan mungkin aku juga bisa melanjutkan studi di luar negeri."

Aku dan Elina saling berpandangan, merasa bangga. Aira telah menjadi sosok yang lebih kuat, lebih mandiri. Kami tahu perjalanan itu akan penuh tantangan, tetapi kami juga tahu bahwa Aira bisa melewatinya.

Malam itu, kami tidur dengan perasaan yang ringan. Kami tahu bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi selama kami saling mendukung dan menjaga satu sama lain, kami akan selalu bisa melewati apapun yang datang. Kami sudah menghadapinya bersama, dan itu adalah kekuatan yang tak tergoyahkan.

Pagi yang cerah datang, dengan sinar matahari yang menembus tirai jendela dan membuat ruangan terasa hangat. Hari-hari di rumah kami kini terasa semakin harmonis, meskipun terkadang kami tetap dihadapkan dengan perasaan cemas tentang masa depan. Namun, kami sudah belajar untuk tidak terlalu memikirkannya. Kami lebih memilih untuk fokus pada apa yang bisa kami lakukan hari ini.

Aira sedang duduk di meja makan, menghadap laptopnya yang terbuka lebar. Matanya fokus, mencari informasi tentang beasiswa di luar negeri, seperti yang dia rencanakan beberapa hari lalu. Aku dan Elina sedang menikmati sarapan sambil mengobrol ringan.

"Bagaimana, Aira? Sudah menemukan sesuatu yang menarik?" tanya Elina, menyuapkan roti ke mulutnya.

"Ada beberapa program yang menarik, tapi aku harus mempersiapkan banyak hal. Aku harus menulis esai, mengurus dokumen, dan tentu saja, mencari rekomendasi dari profesor," jawab Aira, suaranya terdengar sedikit lelah tetapi juga penuh semangat. "Tapi, aku merasa ini peluang besar untuk masa depanku."

Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu sudah mengambil langkah yang besar, Aira. Kami bangga padamu. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memberitahu kami."

Aira tersenyum tipis, mata coklatnya bersinar cerah. "Terima kasih, kalian berdua selalu mendukungku. Aku merasa lebih percaya diri setelah berbicara dengan kalian."

Matahari semakin tinggi, dan kami melanjutkan aktivitas sehari-hari. Elina berencana pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa barang kebutuhan, sementara aku memutuskan untuk merapikan taman belakang yang sudah mulai berantakan. Aira, meskipun sibuk dengan persiapannya, selalu menyempatkan diri untuk membantu sedikit-sedikit.

Saat makan siang, kami duduk bersama di meja makan, berbincang ringan tentang berbagai hal. Aira bercerita tentang rencananya untuk mengunjungi kampus-kampus yang dia tuju, sementara Elina menambahkan cerita tentang teman-temannya yang berhasil melanjutkan studi di luar negeri.

Malam harinya, setelah makan malam, kami kembali duduk bersama. Suasana menjadi lebih serius saat Aira membuka pembicaraan tentang sebuah keputusan besar yang ingin dia ambil.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," katanya, menarik perhatian kami. "Aku berpikir untuk mengambil kesempatan ini, untuk benar-benar fokus pada studiku dan menjalani hidup yang lebih mandiri. Aku tahu ini keputusan besar, dan mungkin akan membuat kalian merasa cemas, tapi aku merasa ini adalah waktu yang tepat."

Aku dan Elina saling pandang, dan aku bisa melihat kekhawatiran di mata Elina. Namun, aku tahu bahwa Aira sudah cukup matang untuk membuat keputusan ini sendiri.

Lihat selengkapnya