Sejak inspeksi mendadak atau sidak bulan lalu, sejak Juna bilang bahwa hari itu terakhir kalinya membahas Andre, sejak itu juga terakhir kalinya Juna ketemu atau bicara pada Naya.
Naya sebenarnya sudah merasakan keanehan ini sejak lama, tapi ia pikir mereka sedang dalam persiapan Try Out, ia juga pasti lebih utamakan belajar dibanding mencari tahu keberadaan Juna. Lagipula jika sedang ujian, Juna memang menghilang jadi Naya abaikan saja dan fokus belajar. Namun, sampai ujian sudah selesai pun, Juna tetap tidak ada kabar dan tidak ada dipandangannya. Beberapa kali Naya buka handphone lagi hanya untuk memastikan bahwa memang tidak ada pesan atau panggilan telepon dari Juna, pesan terakhir benar-benar bulan lalu saat Juna tanya soal sidak. Naya menghela nafas karena baru memikirkan ini, apa ia kirim pesan saja yah ke Juna tapi untuk apa?
Maksud Naya, memang, tidak ada hal yang bisa mereka obrolin lagi apa?! Naya juga tidak enak jika asal kirim pesan tidak jelas tapi Juna juga tidak kirim pesan apapun. Juna juga sudah tidak pernah ajak pulang bareng atau jemput ke rumah lagi atau bahkan mereka kaya tidak pernah ketemu di sekolah atau Naya yang tidak sadar? atau Naya yang lebih milih menyendiri yah? Ah, entahlah, Naya hanya ingin lihat Juna, ia hanya perlu tahu kalau Juna memang baik-baik saja.
Tapi bagaimana kalau ternyata sejak hari sidak bulan lalu, sejak Juna dan Naya mengurus kasus Andre dan bertemu dengan si pengedar obat itu, sejak saat itulah Juna baru sadar kalau Naya memikirkan segala hal tentangnya. Sejak saat itu Juna baru menyadari dan merasa kalau dirinya tidak cukup baik untuk Naya. Saat Naya bilang takut Juna kenapa-kenapa jika tawuran terjadi, Juna langsung merasa degdegan dan itu bukan karena tersanjung tapi karena merasa dirinya akan bawa pengaruh tidak baik untuk Naya. Entahlah, sejak saat itu seakan seluruh kepercayaan diri Juna runtuh untuk berhadapan dengan Naya. Juna jadi sadar betapa menyebalkan dan menyulitkannya ia sebagai laki-laki. Untuk itu, ia segan untuk ketemu atau ngobrol dengan Naya lagi. Apalagi sudah masuk bulan ujian, Juna yakin Naya sedang fokus belajar dan tidak bisa diganggu dan Juna merasa itu lebih baik. Setiap bel pulang sekolah bunyi, Juna langsung buru-buru keluar kelas menuju parkiran walaupun matanya melihat ke segala arah yang salah satunya ke arah kelas 3A tapi segera Juna abaikan dan percepat jalannya. Juna juga sudah tidak jemput Naya lagi walaupun ingin, ia lebih memilih datang terlambat saja. Bahkan saat dihukum karena terlambat pun, ia berharap Naya ada disatu titik sekolah dan sedang melihatnya. Saat ujian, Juna berusaha untuk kerjakan semampunya dan tidak terlalu memaksakan diri jika sudah tidak tahu, ia langsung lewati soal, itu kenapa Juna selalu cepat mengerjakannya. Teman-temannya sampai protes Juna yang selalu selesai duluan tanpa menunggu mereka atau setidaknya berikan mereka jawaban juga. Juna ketawa karena ia tidak yakin jawabannya benar atau tidak, Billy protes kalau tidak benar juga tidak masalah, mereka bisa lulus tahun depan bareng-bareng. Semua kembali ketawa. Juna menyudahi obrolan dan pamit pergi ke toko, semua paham itu. Juna melintasi sekolah dengan pandangannya masih terus ke halte, ke gedung sekolah lalu kembali ke jalan, ia menyadari kalau memang hampir tidak bertemu Naya lagi, tapi ia yakin pasti Naya di perpustakaan dan ia tidak perlu temui, dunianya di kantin dan warung emak, tempat berisik yang tidak cocok untuk orang seperti Naya. Juna tidak sedang marah dengan Naya, hanya aja ia sedang merasa tidak pantas. Juna semakin lajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Suatu hari, di perpustakaan.
Naya kaget begitu Mira datang-datang langsung duduk taruh buku.
"Naya!" ucap Mira kesal.
Naya terdiam dan menebak pasti mau bahas Juna lagi nih.
"Gue mau belajar bareng Nay!"
"Ha?" bingung Naya.
"Nilai try out gue jelek banget!" ucap Mira mau nangis "Terus Ayah gue marah, bilang gue gak akan bisa masuk kuliah dimanapun."
"Selagi punya uang, bodoh pintar bisa kuliah Mir."
"Iya! Setuju! Ayah gue aja yang lebay!" Mira menghela nafas "Kesejahterahan keluarga gue dibeli sama ilmu pengetahuan tahu gak karena kakak gue resmi jadi dokter, terus dibandingin sama gue yang padahal kita UN aja belum! Bilang gue malas belajar lah, ya walaupun iya sih, tapi maksud gue, kemampuan orang kan beda-beda, gak bisa disamain dong walaupun sekeluarga."
Naya terdiam merasa lucu karena sudah lama banget ia tidak dengar cerita keluarga Mira kaya gini.
"Am, lu mau masuk kuliah dimana Nay?" tanya Mira.
"Hmm, kayanya UI."
"Udah gue duga pasti sama kaya Juna."
"Maksudnya?"
Mira menghela nafas, "Alasan gue mau belajar sama lu, pertama, gue minta Juna ajarin tapi dia gak mau padahal dia kan sering belajar sama lu."
"Dia gak ngerti pelajaran Mir."
"Lebih tepatnya dia cuman mau belajar sama lu."
Naya diam saja, karena tidak tahu juga soal itu.
Lanjut Mira, "Kedua, gue tanya dia mau kuliah dimana, dia bilang UI. Gue protes, lu mau masuk UI tapi gak mau belajar bareng. Terus dia bilang, takut nanti malah gue yang masuk."
"HA HA HA!" tawa Naya tetiba.
Mira tersenyum, "Padahal kita sama-sama begok."
"Ha ha ha, tapi gue mau ke UI bukan karena Juna Mir. Alumni kita banyak yang masuk sana, gua rasa kuota sekolah kita bisa lebih banyak jadi akan lebih mudah."
"Ah, udahlah Nay. Gue udah ikhlasin Juna buat lu kok, santai aja."
Naya terdiam.
"Gue cuma mau belajar bareng lu," ucap Mira "Gue gak peduli hubungan lu sama siapa kek. Mulut Ayah gue lebih nyakitin ketimbang Juna, jadi kalaupun gue harus buktiin gue bisa dapetin sesuatu, itu dapet nilai bagus, bukan Juna!"
Naya langsung ketawa lagi. Entahlah, ekspresi Mira cerita tuh lucu banget.
"Gue serius Nay."
"Iya Mir, yaudah ayo belajar."
Mira langsung tersenyum dan membuka bukunya, "Eh, tapi kayanya gue harus bilang ini deh supaya lu semangat ngajarin gue. Juna itu nolak gue karena dia suka sama lu."
Naya terkekeh, "Bukan gue, tapi cewek lain."
"Cewek lain? siapa?"
"Gak tahu, dia cuma bilang lagi suka sama cewek lain dan itu bukan gue."
"Lu udah cari tahu siapa?"
Naya geleng, "Udahlah Mir, bahas soal aja yuk."
"Nanti dulu!" tahan Mira "Ini lebih penting."
"Apanya sih yang penting? Gue gak tahu apa-apa soal Juna."
"Lu beneran gak tahu atau lu gak mau tahu?"
Naya terdiam.
“Gue gak terlalu tahu lu gimana orangnya Nay, tapi kadang apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan apa yang akan terjadi. Kadang karena terlalu yakin dengan perasaan dan pemikiran diri sendiri bisa membuat kita gak mau tahu dengan perasaan dan pemikiran orang lain. Kayanya dalam hal ini, lu milih untuk gak mau tahu deh sama perasaan Juna.”
“Gue harus tahunya gimana Mir disaat dia aja udah gak pernah temuin atau ngobrol sama gue lagi,” keluh Naya.
Mira terdiam, batinnya sangat yakin Naya pasti juga menyukai Juna.
Lanjut Naya lagi, “Gue emang terlalu naif untuk suka sama dia tapi itu karena gue gak mau menyakiti diri sendiri untuk taruh harapan pada sesuatu yang gak jelas, itu kenapa gue selalu anggap Juna gak suka sama gue.”
Mira hanya mengangguk paham, paham banget.
Naya menghela nafas, “Sekalipun memang gue suka, tapi bukan berarti gue mau memiliki. Perasaan gue hanya berlaku untuk gue aja tanpa ada balasan atau enggak. Perasaan Juna, itu untuk Juna, dan gue gak perlu cari tahu arahnya kemana dan untuk siapa.”
“Tapi bukannya lebih baik jawab salah daripada gak jawab sama sekali yah?”
Naya bingung.
Lanjut Mira lagi, “Setiap soal pasti punya satu jawaban yang benar kan Nay. Makanya jawaban benar atau salah tetap ada nilai daripada gak jawab sama sekali. Untuk menemukan jawaban yang benar itu gimana? harus pakai cara, gak bisa kita asal nebak aja. Maksud gue, kalau lu suka kenapa lu gak cari tahu aja? gimana caranya? mulai duluan! tanya kabar dia, kasih hadiah, kasih makanan atau ajak jalan, ajak nonton. Kalau dia gak mau tanpa alasan yang jelas maka jawaban adalah tidak. Kalau dia mau, makanya jawabannya adalah iya, dan kedua jawaban itu tetap ada nilainya yang mungkin akan lu rasakan suatu hari nanti. Tapi kalau lu ragu dan memilih gak mau jawab alias melewatkan soal itu, ya selamanya lu gak ada tahu jawabannya.”
Naya terkesima dengan penjelasan Mira yang sangat masuk akal.
“Semua tergantung gimana cara lu menjawab soal Nay."
"Ah, Mir, lu kalo cinta-cintaan aja pinter--"
"HA HA HA!" sontak Mira ketawa banget. Iya lagi!
Naya juga ketawa sambil membuka buku dan mereka mulai belajar.
Jam istirahat selesai, Mira langsung keluar duluan karena pusing. Naya jalan sendiri kembali ke kelas sambil teringat ucapan Mira tentang cara menjawab soal. Ah, Naya bukan tipe yang melewatkan satu soal pun, ia akan jawab semua soal dengan cara yang ia tahu dan beruntungnya selalu benar. Naya mengeluh karena selama ini, ia memang tidak pernah mau cari tahu jawaban dari perasaanya pada Juna tapi ia juga setuju dengan kalimat lebih baik jawaban salah daripada tidak terjawab sama sekali. Naya kesal harus memikirkan ini, maksudnya ia mau cari tahu bagaimana? sekarang aja Juna sudah menjauh, menjauh tanpa sebab. Terus ia harus cari tahu kenapa Juna menjauh? Ah, kayanya Naya juga sudah terlalu banyak berusaha selama ini, ia selalu berusaha baik-baik saja saat Juna selalu memperlakukannya tidak baik, mungkin Juna yang memang tidak menyukainya, Ah, tapi kan itu mungkin, belum tentu juga begitu tapi bukannya kalau Juna mau pasti akan sama-sama berusaha yah? Kalau Naya saja yang berusaha berarti--
Tetiba suasana kelas yang tadinya ramai menjadi sunyi saat Naya duduk menaruh buku.
"Naya?"
"Iya Git," ucap Naya noleh dan langsung kaget saat ternyata bukan Gita, lebih tepatnya ia langsung sangat kaget begitu melihat ke sekelilingnya, ternyata KELAS TIGA D!!!!
Juna menghampiri, "Ngapain Nay?"
Teman-teman Juna juga langsung datang dan ramai meledek Naya yang pasti mau ketemu Juna. Juna kesal menghentikan bercandaan itu.
Naya beranjak bangun, "Am, gu, gue kira ini kelas gue, dah!!"
Naya langsung lari pergi.
"Eh, Nay!!" panggil Juna karena buku Naya ketinggalan tapi Naya tidak respon makanya Juna langsung bawa buku itu dan pergi mengejar.
Teman-teman Juna mulai ramai lagi sambil nyanyi, "kisah kasih disekolah dengan si dia tiada masa paling indah--"
Tomi langsung sambung, "Tepung beras rosebrand."
Sementara Naya semakin kesal pada dirinya sendiri karena semakin tidak jelas, bukannya ke kelas, malah lari turun tangga. Tapi mungkin itu karena ia sedang degdegan dan gugup pada Juna yang memanggil dan mengejarnya. Maksud Naya, mau ngapain sih, ia sedang malu banget.