Ayah dan Ibu Juna sangat kaget dan terkejut saat dikabarkan pihak sekolah kalau Juna masuk rumah sakit karena terlibat tawuran. Mereka langsung pergi ke rumah sakit yang sampai sana langsung menuju IGD dimana Juna sudah terbaring dengan banyak selang di tubuhnya yang penuh luka dan kepala yang masih penuh darah. Banyak dokter terlihat menangani karena Juna mengalami pendarahan berat, bahkan layar monitor menunjukan radar kesadaran Juna yang semakin menurun.
Sementara di luar, Ibu Juna masih terus menangis dan Ayah Juna menenangkan sambil ia terdiam memandangi Juna, anak kandung semata wayangnya itu dari pintu. Anak yang ia ajarkan banyak hal dari kecil termasuk bela diri dan berantem, anak yang ia didik dengan sabar karena keras kepalanya Juna mirip dengannya, anak yang selalu menemaninya nonton bola apalagi piala dunia, anak yang mau kena marah atau kena pukul darinya bukannya mengalah tapi malah tambah marah, tapi bagaimanapun Juna juga anak yang sangat peduli sesepele umpatin semua kopi hanya karena ia tidak boleh minum kopi, anak yang selalu bertanya jika ia sedang melamun, anak yang jarang sakit karena memang sekuat itu. Ayahnya meneteskan airmata namun langsung dihapus karena ia yakin Juna adalah anaknya yang selalu kuat dalam kondisi apapun. Sampai dokter keluar dan Ayah Ibu Juna langsung hampiri, dokter katakan kalau pendarahan Juna sudah berhenti tapi kondisinya sedang koma. Ibunya semakin menangis mendengar itu. Ayah Juna minta dokter usahakan yang terbaik untuk Juna, ia mohon, selamatkan Juna. Dokter terdiam.
Di rumah, Naya hanya bisa menangis saat dengar amarah Mamanya di telepon setelah dapat panggilan dari sekolah kalau Naya terlibat tawuran. Naya berusaha jelaskan kalau ia tidak terlibat tapi Mamanya yang tidak mau mendengar dan memahami. Beberapa hari setelahnya, Mamanya tiba di rumah dan langsung masuk menuju kamar Naya dengan sangat emosi. Bi Imah berusaha menenangkan tapi percuma, Mamanya Naya bukan yang bisa dilerai jika sudah emosi.
"NAYA!!" panggil Mamanya "BUKA PINTUNYA!!"
Naya menghela nafas dengan sangat degdegan, panik dan takut tapi buru-buru buka pintu kamar dan Mamanya langsung menampar, "ANAK KURANG AJAR KAMU!!"
Bi Imah langsung menahan Mama Naya dan Naya hanya menangis karena sakit, "Ma, aku minta maaf Ma--"
"Kenapa kamu begini sih Nay!!!" teriak Mamanya emosi "Mama capek besarin kamu sendirian, kamu malah buat masalah kaya gini!!!"
Naya hanya menangis minta maaf. Bi Imah juga nangis menenangkan keduanya.
"Selama ini, Mama kerja keras untuk sekolah kamu!" bentak Mamanya lagi yang mengeluarkan airmata "Mama mau kamu jadi anak yang baik, tapi kamu malah jadi begini, Mama kecewa sama kamu!!!"
Naya hanya menangis karena mau bela diri tapi ia juga sadar kalau dirinya memang salah. Sampai seharian, Naya hanya berdiam diri di kamar sambil memikirkan semua yang sudah terjadi yang setelah ia ingat lagi sepertinya dengan semua yang sudah terjadi dan apa yang sudah ia lakukan, ia adalah orang yang paling bersalah, pada Mamanya bahkan pada Juna. Dulu Naya bingung kenapa semua orang membencinya, tapi akhirnya ia sadar bahwa dirinya memang layak untuk dibenci. Naya menghapus airmatanya lagi.
Suatu waktu pagi hari, di ruang kepala.
Naya dan Mamanya datang sesuai panggilan sekolah, bertemu dengan Pak Guntur, wali kelas dan kepala sekolah. Pak Guntur jelaskan kronologinya yang memang menyatakan bahwa Naya tidak terlibat tawuran tapi Naya mengalami penuruan karakter yang mungkin bisa mempengaruhi ujian nasional nanti. Bahkan Pak Guntur menyebutkan hukuman yang pernah Naya terima dan itu membuat Mamanya semakin terdiam. Naya juga hanya menunduk saja. Sekolah berharap setiap orangtua bisa lebih mengetahui dan mengarahkan untuk kebaikan masa depan sang anak.
Mama Naya mengangguk paham, "Sekali lagi saya minta maaf yah Pak atas perilaku Naya yang sangat tidak baik, saya pastikan hal ini tidak akan terulang lagi."
"Tidak apa-apa Bu Siska," ucap kepala sekolah "Setiap anak pasti punya masanya untuk belajar dan bertumbuh dan hal itu wajar, hanya saja orangtua tetap harus mengetahui hal ini."
"Saya mengerti Pak," Mama Naya langsung mengeluarkan sebuah kertas dari tasnya "Untuk itu, kedatangan saya kesini juga dalam hal mengajukan pengunduran diri Naya dari sekolah."
Kepala sekolah, Pak Guntur dan wali kelas Naya saling memandang bingung.
"Oh, maksudnya gimana Bu?" tanya Kepala Sekolah.
"Saya ingin Naya pindah sekolah ke kota tempat saya bekerja karena selama ini saya memang ada di luar kota."
Kepala Sekolah mengangguk paham. Pak Guntur menghela nafas melihat Naya yang hanya terdiam saja. Sampai melalui diskusi panjang mengingat 3 bulan lagi sudah UN, maka Naya dinyatakan resmi keluar dari sekolah.
Di lapangan, Naya jalan mengikuti Mamanya menuju mobil sambil memandangi sekelilingnya dan teringatlah ia dengan banyak kejadian disetiap titiknya. Pintu parkir dimana ia sering berdiri disana untuk menunggu Juna, koridor yang sering jadi tempat ia ketemu dan ngobrol dengan Juna, bahkan lapangan ini pernah jadi tempat ia dihukum bareng Juna. Naya menghela nafas melihat kelas Juna dan airmatanya langsung keluar yang saat masuk mobil, Naya langsung hapus karena Mamanya melihat, untung tidak nanya. Naya memandangi sekolahnya, dalam hati ia sangat berterimakasih untuk semua orang yang ia temui disana, orang-orang yang akhirnya ia sebut teman.
Naya menyesal tidak bisa berpamitan tapi ia juga tidak cukup berani untuk bicara langsung dan minta maaf atas semua kesalahannya. Ia hanya berharap kepergiannya bisa membuat keadaan bisa lebih baik untuk teman-temannya termasuk untuk Juna yang selalu mengajarkannya bagaimana hidup saling membantu dan membutuhkan. Bagi Naya, Juna adalah sosok yang tidak akan ia lupakan sampai kapanpun. Naya tidak lagi berharap Juna membalas perasaanya tapi Naya berharap Juna bisa baik-baik saja ada atau tidak ada dirinya. Naya tidak tahu bagaimana keadaan Juna, tapi kalaupun ada doa yang selalu ia sampaikan yaitu kalau Tuhan tidak bisa berikan Juna untuknya, tolong berikan Juna kesembuhan aja. Terimakasih Juna, terimakasih karena sudah selalu pernah ada.
Sampai jumpa, Juna!
Keesokan paginya di kelas 3A.
Bu Alia, wali kelas 3A berdiri dan semua siswa siswi hening memperhatikan termasuk Gita.
“Sebelumnya saya minta maaf ke Bu Irma karena memotong jam pelajaran,” ucap Bu Alia “Saya mau memberitahukan kabar yang cukup mengejutkan tapi ini sudah melalui diskusi panjang yah. Jadi, per hari ini, teman kita semua, Naya, sudah resmi keluar dari sekolah yah.”
Semua langsung kaget.
Gita langsung berdiri, “NAYA KELUAR BU?!!”
“Tenang, tenang semuanya tenang,” ucap Bu Irma.
Gita duduk dengan tidak percaya dan lemas. Dadanya sesak langsung buru-buru buka handphone dan kirim banyak pesan ke Naya di personal chat dan di grup yang membuat semua orang juga kaget termasuk Mira. Jujur, semua guru pun termasuk Pak Guntur sangat kaget dan menyanyangkan dengan keputusan keluarga Naya mengingat ujian nasional hanya tinggal tiga bulan lagi.
Satu sekolah langsung ramai oleh kabar Naya keluar dari sekolah. Terlebih Gita yang saat jam istirahat hanya menangis kesal oleh semua orang termasuk Mama Naya. Mira juga sedih tapi memilih untuk menenangkan tapi Gita tidak bisa tenang karena Naya pergi tiba-tiba. Bahkan chat mereka tidak dibalas satupun, telepon juga tidak diangkat. Mira menenangkan dan mengajak pulang sekolah nanti mereka ke rumah Naya. Mengetahui itu, teman-teman Juna ingin ikut ke rumah Naya juga tapi Mira melarang karena Naya aja keluar karena kasus tawuran kemarin, Mamanya pasti tidak akan bukain pintu untuk mereka. Semua paham akan hal itu dan jadi sangat sedih.
Di kamar inap rumah sakit.
Juna yang masih terbaring tidak sadarkan diri selama hampir seminggu, akhirnya membuka matanya perlahan. Melihat itu, Ayah dan Ibunya terkejut dan langsung memanggil dokter yang saat datang memeriksa Juna, ia langsung tersenyum lega karena kondisi Juna jadi pulih dan membaik. Ibunya menangis langsung memeluk Juna.
"Bu, Bu, sakit Bu," ucap Juna karena Ibu memeluknya terlalu erat.
"Ini alasanku melarangmu bertengkar Juna!" ucap Ayahnya sedih "Lihat kepalamu berapa jahitan!"
Dokter tersenyum dan memberikan hasil pemeriksaan Juna yang memang sudah pulih tapi tetap harus terapi beberapa hari ke depan lalu setelah itu bisa pulang. Ayah dan Ibu paham dan minta Juna istirahat saja, sementara mereka keluar urus administrasi. Juna tahan untuk minta handphone. Ibunya langsung berikan asalkan Juna istirahat.
Juna langsung buka handphonenya lalu banyak pesan yang masuk apalagi di grup tongkrongannya. Bagaimanapun Juna tidak amnesia, ia masih ingat bagaimana dirinya bisa masuk rumah sakit, untuk itu ia langsung selfie dan kirim ke grup tongkrongan. Semua langsung kaget dan senang melihat Juna ternyata masih hidup. Bahkan Jaya kirim pesan personal dengan emoticon menangis berterima kasih karena kalau Juna tidak maju, mungkin parang itu nempel ke kepalanya bukan kepala Juna. Juna membalas kalau hal itu otomatis dalam tawuran. Lalu banyak pesan kesembuhan yang masuk tapi pesan yang Juna harapkan muncul tidak ada, pesan dari Naya.
Di kamar, sedang merapikan barang.
Naya langsung bernafas lega dan bersyukur saat dapat kabar dari Gita dan Mira kalau Juna sudah sadar. Naya hanya perlu dapat kabar kalau Juna baik-baik saja, baginya itu sudah cukup daripada ia harus menghubungi. Naya langsung matikan handphonenya karena tetiba ia sangat degdegan, khawatir dan takut.
Naya kembali memasukan barang-barangnya ke kardus, lusa ia sudah harus ke Semarang, pindah sekolah disana dekat kantor Mamanya. Lalu Naya terdiam lihat tumpukan buku catatan kelas dua, buku catatan belajarnya dengan Juna yang saat ia buka, isinya bukan hanya coret-coretan pelajaran tapi gambar-gambaran mereka, Naya tersenyum dan langsung masukin ke kardus. Bungkus kardus ice cream, obat ruam yang pernah Juna belikan, gantungan kunci dan foto mereka berdua saat terakhir kali pergi ke Mall.
Saat itu, sepulang dari gramedia, Juna dan Naya memutuskan pulang karena Naya beneran tidak enak pada Juna yang mau loading barang tokonya. Tapi langkah Juna terhenti saat melewati playzone.
“Nay, main itu yuk!” ajak Juna.
“Ayo, banyak-banyakan tiket!”
“Ayo!” semangat Juna, Naya juga.
Mereka beli koin dan memainkan beberapa permainan yang penuh dengan ketawa dimana jiwa persaingan Juna dan jiwa kecurangan Naya beradu. Naya kesal karena sudah curang pun tetap kalah dari Juna yang memang anak olahraga jadi lebih energik darinya seperti main basket, tembak-tembakan, pinball, dan permainan lainnya. Juna dapat banyak bonus tiket, Naya hanya dapat hikmahnya saja, ia capek banget tapi seru. Sampai tersisa satu koin terakhir.
“Lu pilih deh Nay permainan yang lu bisa,” ucap Juna.
“Ah, nanti tetep aja lu gak mau kalah.”
“Ya iyalah! Ha ha ha!”
“Ha ha ha! foto aja yuk.”
“Ha?” bingung Juna.
“Mau photobox aja, ayok!” Naya pergi, Juna mengikuti sampai mereka masuk di photobox dan Juna jadi canggung.
Naya masukin koinnya dan fotonya dimulai. Naya tersenyum tapi Juna kaget karena timer yang cepat dan dirinya yang bengong jadi begitulah hasil fotonya yang Juna minta ulang tapi Naya langsung tekan oke untuk print. Juna protes karena ia belum siap tapi Naya tersenyum tidak peduli bahkan ketawa saat lihat ekspresi Juna di foto. Juna protes minta fotonya tapi Naya tidak mau kasih. Juna ketawa berusaha ambil tapi Naya langsung masukin ke saku seragamnya. Juna langsung ketawa, ia kalah. KALAHHH!!!!
Mereka tukarkan tiket permainan yang Naya tebak pasti dapat buku. Juna tidak terima karena jumlahnya lumayan banyak, pasti dapat tas. Naya terkekeh tanya buat apa tas, Juna aja jarang bawa buku. Juna ketawa benar juga dan bilang ke mbak kasir kalau bisa helm. Naya ketawa, masih aja bahas helm. Juna katakan selama belum dapet akan terus ia bahas. Naya semakin ketawa dan ajak beli helm pulangnya. Juna nolak, siapa tahu dapet disini. Naya doa semoga dapat helm. Mbak kasirnya memberikan Juna gantungan kunci seukuran jari kelingking. Naya dan Juna terdiam dan saling memandang lalu ketawa lagi.
“Ah, untung gue gak terlalu berusaha, dapetnya cuma gantungan kunci ha ha ha,” seru Naya saat mereka pulang.
Juna tersenyum, “Gapapa, yang penting gua menang.”
“Iya tau deh yang jago.”
“Tapi ini buat lu aja lah—“