Mei 2023.
Hampir satu minggu, malamku terasa panjang. Tidurku tidak pernah tenang. Pikiranku selalu terusik pada satu nama yang sama. Aku masih terpaku menatap layar ponsel, membuka laman profil Instagram yang selalu sama.
Kubuka laman DM (Direct Message), lalu kututup lagi. Begitu terus, berulang-ulang. Sampai kapan aku harus begini? Entahlah.
Empat tahun sudah, telah kututup sebuah lembaran kisah Hubungan Tanpa Status (HTS) yang kujalani selama kurang lebih tiga tahun lamanya dalam terang dan redup.
Akan tetapi, entah mengapa hari ini, dengan bodohnya aku berniat untuk menghubungi sosok yang selalu kusebut hantu itu lagi—sosok yang kerap menghantui pikiranku. Aku seperti roh gentayangan yang tidak pernah tenang selama empat tahun belakangan dan selalu terjebak di antara masa lalu.
Meskipun kisah itu telah lama 'usai', tapi nyatanya belum cukup untuk membuatku sadar sepenuhnya. Aku tahu ini terdengar gila, terlebih aku ini seorang wanita. Aku telah menyembunyikan fakta ini dari semua orang, termasuk dia—fakta bahwa aku masih mencintainya.
Selama empat tahun belakangan, aku masih menyimpan perasaan ini seorang diri tanpa ada satu pun orang yang tahu, aku selalu mengkhianati perasaanku kepada semua orang dengan mengatakan bahwa aku telah sangat membencinya.
Begitulah aku, selalu terjebak di dalam penjara yang kubuat sendiri. Bahkan sejak saat ketika aku masih bersamanya.
Andai sahabatku tahu perihal ini, tentu sudah habis aku, telingaku sudah terlalu kebas karena harus mendengarkan pidato panjangnya setiap hari yang selalu menyuruhku untuk melupakan pria itu.
Nahasnya, kali ini aku sudah tidak lagi memedulikan apa kata mereka, sebab hanya satu yang aku cari, yaitu sebuah akhir yang jelas tanpa ambiguitas agar aku dapat melangkah ke depan tanpa adanya bayang-bayang masa lalu.
***
Seketika sebuah tulisan muncul di layar ponselku.
'Akun siap digunakan.'
Aku menatap sebuah nama akun Instagram yang baru saja kubuat.
'Permata Nada Aretha.'
Nama yang tidak pernah kutemukan di sudut kehidupan mana pun.
Anehnya, nama ini rasanya lebih menyatu dengan diriku dibandingkan nama asliku sendiri. Sayangnya, ini hanya nama pada sebuah akun palsu yang kubuat untuk sebuah misi penyamaran sesaat.
Rasanya aku seperti penguntit, namun sepertinya sebutan cegil (cewek gila) tampaknya sangat cocok untukku saat ini—tidak, bukan begitu maksudku, aku hanya sekedar memilih langkah aman untuk mengantisipasi jika bagaimana nanti misiku gagal di awal sebelum akhirnya aku menemukan apa yang sedang kucari.
***
Sudah tiga jam sejak akun itu dibuat, pandanganku masih terpaku sama di depan layar ponsel.
Aku mulai merasakan tanganku seolah membeku akibat mesin pendingin ruangan. Perasaanku makin tak karuan. Semua perasaan tidak nyaman mengusik hati dan pikiran.
Aku masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengirimi pesan tersebut kepadanya, namun di lain sisi rasa kantuk sudah tidak dapat lagi kutahan.
"Deng... Deng... Deng..."
Suara jam dinding kuno terdengar dari ruang tengah, ternyata waktu telah menunjukkan pukul satu malam. Tanpa ingin mengulur waktu lagi, akhirnya kukirim pesan tersebut kepadanya.
[Aretha: Hai, Biru. Bagaimana keadaanmu? Semoga kamu selalu dalam kondisi baik dan selalu bahagia ya, kalau butuh teman cerita, aku selalu ada di sini buat kamu :).]
Selain pesan singkat, aku juga mengiriminya sebuah konten konyol dari salah satu unggahan reels Instagram dengan dalih agar pesanku tidak membawa kesan terlalu serius untuknya.
***
Kulemparkan badan dan ponselku di atas kasur. Hati dan pikiranku seketika menjadi lega, meski sebagian dari nyawaku seakan ikut melayang keluar raga.
Jam analog menggantung di dinding kamar, kutatap jarum jam yang terus berdetak. Perlahan mataku menutup sayu, tak kuasa menahan kantuk. Aku pun terlelap dengan pikiran riuh yang dipenuhi pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
Bloop!, suara notifikasi membangunkanku. Seketika aku bangkit, dan dengan sigap kuraih ponsel yang berada tepat di samping kepalaku.
Dia membalas pesanku!.
[Biru: Oh? Terima kasih, tapi maaf, ini siapa?]
Responsnya yang biasa seakan langsung membawaku kembali ke masa lalu. Tak kuasa kutahan rasa bahagia di hati yang tengah membuncah. Bagaimana tidak, namanya muncul kembali di layar ponselku setelah menghilang bertahun-tahun lamanya.
***
Aku mengetik, menghapus, lalu mengetik lagi.
[Aretha: Hm, siapa ya? Coba, tebak.]
Kubalas pesannya dengan harapan dia akan segera membalas pesanku. Namun, ruang obrolan itu kembali hening.
Ponsel yang kugenggam perlahan terasa dingin, seolah-olah ikut menertawakanku dalam hening dan dinginnya malam.