Agustus 2015.
Pagi hari, pukul sembilan. Hari terakhir OSPEK. Setelah satu bulan penuh kehidupanku dimulai dengan berangkat sekolah dari rumah pukul lima pagi.
Latihan baris-berbaris, berkubang di lumpur ala militer, tawaf mengelilingi lapangan sepak bola, hingga makan siang bersama di bawah teriknya sinar matahari. Rutinitas yang bagiku seperti neraka itu akhirnya berakhir juga, dan tahun ajaran baru pun resmi dimulai.
Dari atas podium upacara, terdengar suara panitia dengan lantang memanggil satu per satu nama siswa-siswi yang sedari tadi telah menunggu berbaris di lapangan.
Semua murid sedang menanti satu hal penting sebagai penentu awal baru untuk perjalanan panjang selama tiga tahun ke depan di sekolah ini, yaitu pengumuman kelas.
Di saat sebagian siswa-siswi sedang khawatir menanti namanya dipanggil dan sebagiannya lagi bersorak kegirangan karena akhirnya dapat bertemu kembali dengan sahabat lamanya, sedari tadi aku hanya sibuk menggulir daftar lagu yang ada di ponsel dengan earphone yang tersumpal di antara salah satu sisi telingaku—hiburan sederhana yang cukup bagiku untuk mengusir rasa jenuh yang menghampiri di antara keramaian.
Meski, aku seolah tak peduli, nyatanya aku ikut menyimak—aku hanya tak ingin membuang-buang waktu dan energi untuk urusan konyol semacam itu.
Lagi pula, semua murid yang hadir di sekolah ini sudah dipastikan diterima, lalu apa yang perlu dikhawatirkan? Pun, pada akhirnya akan tetap bertemu orang baru, berteman, dan akan menghabiskan waktu tiga tahun bersama mereka.
"Berikutnya, kelas X MIPA 2," lanjut panitia menyebutkan nama secara bergantian yang diawali dari absen berhuruf A lalu ke B, dan selang tidak lama setelah itu—hanya berjarak lima huruf setelahnya, kini giliran namaku dipanggil olehnya "Bintang...?", "Ya, Bintang.", "Silakan bergabung ke barisan X MIPA 2".
Setelah namaku dipanggil, aku langsung melangkahkan kaki pergi meninggalkan barisan peleton, lalu menuju ke barisan kelas.
Aku sempat bertanya kepada ibu mengenai namaku yang begitu singkat, katanya jumlah suku kata pada namaku juga memengaruhi maknanya.
Ia sebagai pengingat untukku agar aku tidak menggantungkan kebahagiaan pada siapa pun dalam menjalani hidup—seperti cahaya bintang di langit, meski hanya satu yang tersisa, sinarnya tetap mampu menerangi gelapnya malam.
Memiliki nama seperti ini, selain membuatku jadi lebih mudah diingat, aku juga kerap disalahpahami sebagai seorang pria oleh mereka yang hanya mengenalku sebatas nama—misalnya ketika aku sedang bermain game online atau aplikasi pesan anonim.
***
Dari barisan kelas, kulihat ternyata Retno sudah ada di barisan kelas X MIPA 1. Dia teman SMP-ku, namun aku jadi lebih akrab dengannya semenjak kami sibuk mengurusi berkas pendaftaran ulang di sekolah ini.
Pernah suatu kali, ibunya membantuku dengan menjadi wali disaat orang tuaku berada di luar kota untuk urusan pekerjaan.
"Eh Bintang, kamu lagi?"
Aku memalingkan wajah ke belakang. Pandanganku beralih pada sosok perempuan bertubuh mungil namun tampak proporsional, berambut lurus panjang berwarna hitam pekat, kulit tampak seputih porselen, dan bermata bulat berwarna coklat.
"Eh, Iko? Kamu di sini?" tanyaku padanya.
"Kamu dari tadi nggak dengar?"
Aku menggeleng.
"Kita bakalan satu kelas lagi, Ta!" jawabnya kegirangan sambil bertepuk tangan.
"Hah, masa? bakalan jadi enam tahun dong sekelas sama kamu."
Dia tertawa sebentar lalu berbalik pergi menghampiri temannya yang lain—teman yang mungkin lebih akrab dibanding aku.
Reiko, juga teman SMP-ku. Dia adalah anak keturunan Sunda dan Jepang. Tipe orang yang cepat akrab dengan siapa saja. Bisa dibilang dia adalah wujud extrovert asli di kehidupan nyata, tidak sulit baginya untuk memiliki teman dimana-mana.
Sebelumnya, aku sempat sekelas selama tiga tahun lamanya dan akrab dengannya selama satu semester meski hubunganku kini dengannya menjadi sedikit lebih merenggang.
Sosoknya selalu mengingatkanku pada diriku yang dulu—diriku saat masih duduk di bangku sekolah dasar hingga pertengahan sekolah menengah pertama.
Aku memiliki teman dimana-mana sama sepertinya, bahkan ketika aku tidak masuk sekolah sehari saja maka hampir satu kelas akan sibuk menanyakan keberadaanku, dan begitu aku kembali, mereka akan bersorak kegirangan seperti "Woi, Bintang datang!" atau, "Kelas sepi banget kalau nggak ada kamu, Ta!".
Aslinya, aku merupakan sosok yang ceria dan periang, namun kejadian tidak menyenangkan ketika memasuki pertengahan sekolah menengah pertama, akhirnya perlahan mengubah kehidupanku.
Entah kesalahan apa yang telah aku perbuat saat itu sehingga aku harus dirundung habis-habisan baik verbal maupun non-verbal oleh salah satu siswi yang selalu berlagak paling berkuasa di kelas.
Meski, kejadiannya telah lama berlalu, namun semua hujatannya masih terekam jelas di ingatanku dan masih menyisakan jejak digital yang masih dapat kubaca hingga saat ini.
Semenjak kejadian itu, aku mulai menjaga jarak dengan siapa saja yang pernah kuanggap teman—termasuk Reiko.
Maka, saat pertama kali aku diterima di sekolah ini, aku jadi bertekad untuk membuka semua lembaran baru di sini. Meski, aku sendiri masih tidak tahu akan seperti apa perjalananku nanti.
***
Setelah pembagian kelas selesai, panitia segera mengarahkan semua murid untuk langsung menuju ke ruang kelas sementara.
Kelasku berada di gedung B, lantai satu, paling pojok sebelah kiri jika dilihat dari arah depan gedung.