Pulang sekolah, Reihan mencuci Jabrik di halaman. Ia begitu serius hingga kehadiran Faris, teman satu sekolah dan sekolah sepakbolanya itu tidak terasa. Faris senyum-senyum sendiri melihat Reihan mencuci sepeda sambil bernyanyi-nyanyi, berjoget pula.
Dengan pelan, bergaya seperti detektif yang sedang mengincar musuh, Faris duduk di bangku yang ada di halaman rumah Reihan. Ia sengaja melakukan itu agar kehadirannya tidak diketahui sekaligus agar Reihan terkejut ketika mengetahui kalau ia sudah ada disitu.
“Woi! Ris, sejak kapan kau di situ,” kaget Reihan ketika tanpa sengaja ia melihat Faris yang sedang santai sambil memperhatikannya mencuci si Jabrik.
“He he he, sudah lama. Mau diapai tuh sepeda?”
“Sudah lama dia nggak mandi, he he, sudah bau. Ada apa?” balas Reihan sambil mendekati Faris.
“Nggak, cuma main saja. Hm, aku bingung nih.”
“Bingung kenapa?”
“Aku takut nggak diterima jadi pemain inti.”
“Santai aja, kau kan ujung tombak andalan jadi gak mungkin gak terpilih. Yang penting kita harus sungguh-sungguh latihan dan waktu uji coba nanti kita harus tunjukan segala kemampuan kita,” ucap Reihan.
“Kalau nggak diterima juga, gimana?” tanya Faris lagi.
“Yang penting usaha dulu masalah diterima atau gak itu bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Ya udah, santai, kita main aja yuk?”
“Main apa?”
“Main PS”
“Nggak kena marah sama ibumu?” jawab Faris.
“Santai saja, aku kan gak ada PR dan tugas rumah juga sudah selesai.”
“Ayolah, tapi jangan lama-lama ya?”