Ketujuh anak itu langsung memukuli Billy, Reihan yang berada di sana juga tidak ketinggalan. Reihan mencoba melawan tapi kekuatan tujuh orang itu sangat hebat.
Reihan tidak bisa apa-apa, ia menerima sekian pukulan dan tendangan. Dia coba menangkis dengan tangannya atau mengelak, tapi sia-sia. Reihan hanya bisa teriak minta tolong ketika tangannya dipijak oleh salah satu musuhnya Billy saat ia terjatuh. Beberapa orang dari mereka langsung menginjak-injak Reihan, Ia hanya bisa menangis. Tangis tambah parah ketika melihat Billy berhasil melarikan diri.
Setelah melihat Billy berhasil pergi, ketujuh orang itu bertambah marah pada Reihan. Siksaan yang diterima bertambah lagi. Jika tadi ia melawan dua sampai empat orang, kini ia harus melawan tujuh orang sekaligus. Reihan pasrah, ia hanya bisa berdoa semoga ada orang yang menolong. Tangannya terasa begitu sakit, jari-jarinya seperti kaku.
“Woii!”
Reihan mendengar ada orang yang teriak, ia hapal kalau itu suara Faris.
“Lepaskan, woi! Dia itu kawanku!” teriak Faris lagi yang membuat tujuh orang itu berhenti memukul dan menendang.
“Dia kawan kau, Ris?” tanya salah satu dari tujuh orang itu.
“Ada masalah apa?” tanya Faris tanpa menjawab pertanyaan mereka.
“Dia ini berdua sama Billy. Tadi si Billy buat ulah sama kita jadi kami kejar. Kawanmu ini berdua dengannya jadi kami anggap dia komplotannya si Billy.”
“Gak, dia bukan kawan si Billy, dia ini kawanku main bola. Kurang ajar si Billy, kenapa Reihan juga kena!” jawab Faris dengan emosi.
“Maaf, Ris, kami nggak tahu,” jawab mereka sambil pergi.
Reihan hanya meringis, sisa air matanya masih menempel di pipi.
“Maaf, Han, mereka nggak tahu kalau kau kawanku,” ucap Faris sambil menunjuk tujuh orang yang mengeroyok Reihan tadi.
Ternyata mereka adalah anak kampung Faris. Di kampung, Faris adalah anak yang lumayan disegani. Kemampuannya bermain sepakbola telah membuat nama kampungnya menjadi harum, jadi seluruh anak kampung selalu menjaga Faris. Selain itu, Faris juga dikenal jago berkelahi. Tapi, dia jarang terlibat masalah. Satu-satunya yang dikenang kawan sekampungnya adalah ketika dia berhasil mengalahkan anak kelas dua SMP dari kampung sebelah, Sungai Pauh, yang jagoan.
“Gak apa-apa,” jawab Reihan sambil memegangi tangan kirinya yang tetap terasa sangat sakit.
“Seandainya kau sering main ke rumahku, pasti mereka kenal sama kau dan kejadian ini gak akan terjadi,” Faris menyesali keadaan.
Reihan hanya berusaha tersenyum. Sejak berkawan dengan Faris, dia memang jarang main ke rumah Faris. Paling hanya satu-dua kali. Pertemuan mereka lebih banyak di sekolah atau saat latihan bola.
“Tanganmu gak apa-apa kan, Han?” sambung Faris.