“Reihan sakit, tangan kirinya terkilir, mungkin jatuh waktu main bola,” ucap Daffa menerangkan keadaan Reihan pada kawan-kawannya di sekolahan.
Saat itu jam istirahat, murid-murid SD N 1 Langsa berhamburan di lapangan upacara. Ada yang bermain bola sampai baju seragam mereka basah. Ada yang berkejaran sampai kecapaian. Ada juga yang hanya duduk-duduk sambil menikmati mie goreng atau es dalam plastik yang mereka beli dari kantin.
Daffa bersama teman-temannya duduk di dekat parkiran sepeda sambil menyatap bakwan kuah, gorengan yang disiram dengan kuah kare. Makanan itu diletakkan dalam plastik kecil dan mereka memakannya dengan potongan lidi. Mereka menusuk bakwan itu dengan lidi berulang-ulang sembari memasukkan ke mulut menandakan kalau mereka lapar. Semuanya mereka lakukan dengan cepat agar mereka tidak sial; kawan-kawan yang iseng sering menyenggol makanan mereka itu hingga tumpah di tanah.
“Jadi, tangan Reihan digendong kayak anak bayi ya?” tanya salah satu dari mereka.
“He he he. Kayak mana ya bentuknya,” jawab Daffa sambil memandang ke langit seakan-akan sedang berpikir.
“Pasti lucu, kayak mamak-mamak, gendong anak pakai kain panjang,” balas yang lain sambil tertawa.
“Woi, lihat Reihan nggak?” tiba-tiba Billy sudah ada di depan mereka.
Seperti kerupuk yang terkena air, Daffa dan kawan-kawan langsung diam. Mereka takut melihat wajah Billy. Jangankan wajah, dengar suaranya saja sudah mengerikan. Ditambah lagi, muka Billy hari ini sedikit mengerikan. Ada warna biru di sekitar matanya.
“Ditanya malah diam, lihat gak!” tanya Billy lagi.
“Reihan gak masuk, tangannya terkilir,” jawab Daffa memberanikan diri.
“Oh, gitu. Ya udah. Eh, aku lapar, siapa yang ada uang!”
Mendengar pertanyaan Billy, semuanya jadi menunduk. Mereka tak berani melihat mata Billy. Dalam hati Daffa menyesal, kenapa uangnya tidak ia jajani sekalian saja tadi.
“Daffa, mana uang kau!” ucap Billy sambil merentangkan.
Pelan Daffa merogoh sakunya, uang logam lima ratusan ia keluarkan dari sana. Dengan cepat Billy menyambarnya. Billy berbalik dan hendak menuju kantin, perutnya belum terisi dari pagi.
Tapi belum sempat dia bergerak, “Bil, mau ke mana kau!” tiba-tiba Faris muncul dengan wajah yang mengeras.
“Kantin,” jawab Billy singkat.
“Sini dulu, jangan pergi, ada yang harus kuselesaikan sama kau,” ucap Faris dengan nada mengancam.
Melihat situasi yang memanas, Daffa dan kawan-kawan langsung berhamburan pergi. Mereka tak mau terlibat masalah dua anak kelas enam itu. Ada yang langsung ke kelas dan ada yang pura-pura main bola di lapangan. Walaupun sudah tidak di dekat parkiran lagi, mata Daffa dan kawan-kawannya tetap mengarah ke sana. Mereka ingin tahu apa yang terjadi.
“Aku lapar, Ris, nanti sajalah,” elak Billy sambil berusaha pergi.