“Bu, sakit” rengek Reihan sambil memegangi tangannya yang tersentuh bibir meja.
“Sudah Ibu bilang jangan macam-macam dulu! Sini Ibu lihat!” ucap ibu sambil melihat keadaan tangan Reihan. “Gak pa-pa, kok,” sambungnya.
“Iya tapi sakit.”
“Yang namanya sakit, ya, pasti sakit.”
Reihan menahan rintihannya, ia tidak mau menangis, malu sama ibu. Semenjak kepergian ayah, ibu tidak menangis, masa hanya gara-gara tangan terkilir Reihan harus menangis terus sepanjang hari. Reihan merasa harus tabah menghadapi semua cobaan ini, ia tidak mau lemah. Bukankah semua ini akibat dari perbuatannya sendiri? Ia tidak mau membuat ibu tambah susah dengan tangisnya. Kalaupun ia menangis, cukup satu kali saja yaitu saat dipijat kemarin malam.
“Bu, kalau Reihan tetap gak bisa main bola bagaimana?”
“Kamu pasti masih bisa, Sayang. Yang penting kamu jangan banyak tingkah dulu biar tanganmu cepat sembuh. Kalau tangan itu terus digerakkan, kapan dia bisa sembuh? Dan, jangan lupa berdoa agar tanganmu itu cepat sembuh ya.”
Reihan hanya mengangguk mendengar kalimat ibu.
“Bagaimana tanganmu, Han? Sudah bisa begini belum?” ucap Bang Zainal yang tiba-tiba muncul sambil mengepalkan tangannya di depan Reihan.
Reihan hanya tersenyum saja.
“Nal, bagaimana losmen?”
“Aman, Mak Cik.”
“Ya sudah, kamu jagain si Reihan dulu ya. Mak Cik mau masak,” ucap ibu sambil berjalan ke dapur.
“Beres,” jawab Bang Zainal cepat.
“Gimana, Han, perlu kita balas nggak?” sambung Bang Zainal.
“Gak usah, Bang. Mereka gak salah kok.”
“Gak salah gimana? Tanganmu sampai terkilir gitu?”
“Yang salah itu Reihan, bukan mereka.”
“Terus, sepakbolamu gimana?”
“Ya itu Bang, Reihan juga gak tahu, bisa gak ya ikut seleksi?”
“Ah, gampanglah itu. Nanti biar Abang yang bicara sama pelati kau.”
“Benar ya Bang?” ucap Reihan penuh harap.
“Santai, pokoknya kau pasti berangkat ke Banda Aceh,” balas Bang Zainal semangat.
Reihan tersenyum puas. Dalam hatinya berkata, “Semoga pelatih mau mengerti. Aku gak mau kesempatan ini hilang.”
“Kenapa kau, Han?” tanya Bang Zainal sambil memandangi Reihan yang tersenyum sendiri.
“Gak pa-pa kok,” jawab Reihan malu.
“Kirai kau mikir yang jorok-jorok.”
“Ye .…”
***
Ketika Billy datang ke rumah Reihan, Reihan sedang menonton TV. Ibu segera memanggilkan Reihan dan menyilahkan Billy duduk di ruang tamu.
“Tidak usah Tante, di sini aja,” ucap Billy.