Sudah lebih dari tiga kali Reihan tidak latihan bola. Hari ini ia hadir di lapangan walau tidak untuk latihan. Tangannya sudah tidak digendong lagi, namun ia belum berani untuk latihan. Lebih baik menahan keinginan daripada harus menambah waktu sakitnya.
Ia tidak berani mengambil risiko untuk sakit lagi. Biarkanlah tidak latihan sekian kali asal tangan tidak bertambah parah yang mengakibatkannya tidak bisa bermain bola untuk waktu yang lama.
Reihan duduk di pinggir lapangan, di bangku bawah pohon cemara dan pohon asam yang berbaris rapi di piggir lapangan. Tadi ia sudah menyapa para pelatih dan teman-teman, ia hanya ingin menonton mereka latihan. Walaupun tidak latihan, ia menganggap dengan menonton mereka, ia latihan juga. Bedanya ia tidak memegang bola atau juga menendangnya. Ia latihan dengan menonton, memperhatikan teknik yang diajarkan pelatih dari kejauhan. Ia juga tidak menggunakan kostum.
Sebenarnya sudah sejak kemarin ia ingin menonton kawan-kawannya berlatih, namun karena tangan masih tergendong, ia jadi malu. Bagi Reihan, dengan menonton latihan, ia tidak akan tertinggal dengan kemampuan kawan-kawannya yang lain. Seperti sekolah, ia juga harus membaca dan membuat tugas yang diberikan guru. Seperti mengaji, ia juga mengejar ketinggalannya dari teman-. Ia tidak mau berhenti belajar hanya gara-gara sakit itu, ia harus terus mengejar ketinggalannya tanpa putus asa. Begitulah yang selalu ditekankan oleh ibu.
Sebagai anak yang masih kecil, Reihan memiliki sifat yang mendekati orang dewasa. Ia terpaksa untuk cepat besar karena sadar ia harus membahagiakan ibu. Ia tidak mau bermanja dan menyusahkan ibu melalui tingkahnya yang terlalu kekanak-kanakan. Ia sudah kelas lima dan sudah sunat pula, jadi tak ada kata merepotkan orangtua dalam kamusnya.
Tapi, ia juga sering kena marah oleh ibu karena sering sok jadi orang besar. Rupanya ibu tidak begitu suka kalau Reihan memiliki sifat yang jauh dari usianya. Yang ibu suka hanyalah Reihan yang tidak manja dan suka bekerja keras serta taat pada agama. Itu saja.
“Han, Billy sudah minta maaf, belum?”
Reihan terkejut, Faris tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya. Lamunan Reihan dengan segera lenyap dan dengan segera pula Reihan memperhatikan Faris yang bernapas ngos-ngosan.
“Yee, ditanya malah bengong,” tambah Faris yang masih ngos-ngosan.
“Sudah. Kau pukul dia ya, Ris?”
“Biar tahu rasa dia! Enak aja bikin orang terkilir.”
“Tapi dia kan nggak salah, Ris.”
“Nggak salah gimana? Kau itu kan gak ada masalah sama teman sekampungku tapi kok malah kena juga.”
“Aku aja yang sok perhatian, coba kalau aku cuek aja sama si Billy, pasti aku gak kena.”
“Kau kok malah bela si Billy?” tanya Faris bingung.
“Bukannya bela tapi sudahlah, aku juga nggak dendam sama dia. Aku sudah maafi dia kok sebelum dia minta maaf. Mungkin nasibku saja yang lagi sial. Namanya juga musibah.”
“Kok jadi pasrah.”
“Bukannya pasrah tapi memang sudah terjadi. Terus kita mau apa? Mau balas dendam? Balas dendam sama siapa? Balas dendam sama Billy, bukan Billy yang buat tanganku terkilir. Balas dendam sama kawan sekampungmu, mereka salah pukul. Terus mau balas dsendam sama siapa? Yang salah memang aku sendiri kok,” ucap Reihan panjang. Ia tidak mau sobatnya itu terus diselimuti dendam. Dendam adalah salah satu sifat setan jadi ia tidak mau kalau sobatnya itu punya sifat tersebut.
“Billy itu bukan anak yang nakal, Ris. Kata Ibu, Billy itu hanya haus kasih sayang jadi dia suka cari perhatian. Kalau dikerasi, ia akan keras juga. Sebaiknya kita temani saja dia, biar dia gak keterusan nakal. Kan kita bisa mencegahnya sebagai teman,” sambung Reihan lagi.
“Aku gak suka aja dengan gaya dia, Han,” ucap Faris.
“Siapa yang suka? Aku juga nggak suka kalau dia terus kaya’ gitu, tapi aku mencoba membuat dia lebih baik, ya, semampuku lah.”
“Caranya bagaimana?” tanya Faris.
“Menjadikannya teman.”
“Maksudnya?” tanya Faris lagi.
“Namanya teman kan saling berbagi jadi kita ajak dia berbagi dengan kegiatan kita hingga dia lupa untuk terus nakal. Kita ajak dia main PS, main bola di kampung, dan kalau bisa kita ajak dia mengaji di masjid.”
“Terus kalau dia gak mau?”
“Pasti mau asal kita tidak memaksanya, kita mengajaknya dengan pelan-pelan. Kemarin dia sudah berjanji sama aku untuk menjadi temanku. Jadi dia juga temanmu sekarang.”