Hari ini hari Minggu. Pertandingan dengan sekolah sepakbola yang ada di Kuala Simpang akan dilangsungkan. Dengan penuh semangat tim sekolah sepakbola Reihan berangkat.
Tengah hari rombongan sekolah sepakbola Reihan memasuki Kota Kuala Simpang. Bus yang mereka kendarai langsung parkir di dekat lapangan. Dengan semangat yang menggebu, Reihan dan kawan-kawan langsung berhamburan. Pertandingan akan dilangsungkan nanti sore. Kini mereka hanya beristirahat, makan siang dan salat.
Mereka berkumpul di podium, tempat duduk yang beratap. Lapangan ini adalah lapangan terbuka jadi siapa saja bisa menonton tanpa harus membayar tiket. Hanya ada satu tempat duduk yang beratap, podium itu, yang terdiri dari beberapa baris kursi berundak-undak seperti bioskop. Yang lain hanya tempat duduk yang terbuat dari kayu panjang, itu pun tidak mengelilingi lapangan. Kursi-kursi itu hanya ada di beberapa sudut saja. Jika penontonnya banyak, maka harus duduk di rumput pinggir lapangan.
Nasi bungkus terbuka, Reihan langsung semangat memakan. Ia sangat suka masakan Padang dengan lauk ayam goreng. Masakan ibu memang enak, namun ia juga sangat suka nasi Padang. Dulu, ayah sering membelikan nasi Padang dengan lauk ayam goreng. Kata ayah, ibu juga perlu libur masak.
Dengan cepat keringat keluar dari tubuh Reihan, selain pedas, udara sangat panas hingga peluh membanjiri baju. Faris tertawa melihat Reihan yang makan sangat lahap.
Sayang Billy tidak bisa ikutc-- ia bukan anggota sepakbola. Seandainya Billy ikut, mungkin keadaan akan sedikit berbeda karena Billy pasti bisa menemani Reihan yang hari ini dipastikan tidak akan bermain. Pelatih belum memperbolehkan Reihan main. Kata pelatih masih terlalu berisiko jika Reihan main juga. Nah, Reihan hanya nonton saja. Lumayan kan bagi Reihan, jalan-jalan ke Kuala Simpang gratis dan bisa makan nasi Padang lauk ayam goreng.
“Kalau ada Billy, enak juga nih, Ris. Kan aku sama dia bisa semangati kau. Apalagi Billy itu suaranya kan besar,” ucap Reihan sambil menggigit paha ayam gorengnya.
“Siapa suruh dia gak mau jadi anggota,” balas Faris yang gak mau kalah dalam menggigit ayam goreng.
“Ya, mungkin dia malu sama kita. Dia kan gak bisa main bola, bisanya cuma berkelahi.”
“Kita suruh dia masuk tinju aja.”
“Ha ha, boleh juga tuh. Biar pukulannya gak salah mendarat ke sembarang orang,” jawab Reihan tertawa. Ia membayangkan Billy yang jadi petinju, pasti lucu.
“Sayang kau belum boleh main,” ujar Faris pelan.
“Santai saja. Kata Bang Min, ini kan untuk kebaikanku juga. He he, yang penting kau harus bikin gol yang banyak, Ris!”
“Beres!” jawab Faris semangat.
Jam empat sore pertandingan baru dimulai. Reihan hanya duduk di samping pelatih. Ia tidak menggunakan kostum karena memang pasti tidak bermain. Pelatih hanya mewajibkan Reihan hadir agar Reihan bisa melihat bertandingan tersebut. Pelatih ingin Reihan tidak tertinggal terlalu jauh, ditambah lagi ini kan pertandingan jadi suasananya pasti berbeda dengan latihan.
Dalam pertandingan, tak henti-hentinya Reihan merasa gatal untuk turun bertanding. Ia tak sabar untuk memegang bola. Apalagi ia melihat, penjaga gawang yang menggantikannya sering membuat kesalahan. Rasanya ia ingin langsung meloncat ke dalam lapangan saja.
Babak pertama usai, mereka tertinggal dua gol. Pelatih tampak marah, Reihan hanya diam. Ia tidak bisa berkata apapun. Ia merasa menyesal, seandainya saja ia tidak sakit dan bisa bermain, pasti keadaannya akan berubah. Dua gol yang diciptakan lawan itu merupakan kesalahan penjaga gawang. Reihan yakin, jika ia yang berada di posisi itu, kesalahan itu pasti tidak akan terjadi. Bukannya ingin sombong, tapi bagi Reihan, kesalahan itu sangat fatal. Seharusnya ketika ada lawan yang menyerang dari sudut, penjaga gawang menutup ruang itu dengan berdiri di dekat gawang. Dengan begitu, peluang lawan untuk menendang bola ke gawang akan sempit. Yang dilakukan penjaga gawang pengganti Reihan malah sebaliknya, ia tetap di tengah gawang sedang serangan dari samping.