Jam istirahat tiba, Reihan dan Daffa duduk dekat parkiran sambil memakan bakwan kuah. Makan mereka begitu cepat takut kalau ada kawan iseng yang membuat makanan mereka berhamburan ke tanah.
“Sudah ngerti kan, Han?” tanya Daffa setelah selesai memberitahukan rumus tugas yang diberikan guru matematika tadi.
“Sip, ternyata gampang juga ya,” jawab Reihan malu.
“Memang gampang asal kita tahu caranya. Kau harus menyukai pelajarannya dulu, biar cepat mengerti. Kaya’ main bola, kalau kau gak suka mana mungkin kau mau main bola kan?”
“Iya juga ya. Tapi kau ajarkan aku terus ya?” pinta Reihan.
“Gampang, asal ada bakwan kuah.”
“Dasar rakus!” jawab Reihan tertawa.
Billy dan Faris muncul bersamaan. Daffa dengan segera mau pergi, namun Reihan menahannya. Daffa masih takut sama Billy, ia tidak mau uang yang bisa ia tabung harus berpindah tangan ke Billy.
“Santai saja,” ucap Reihan menenangkan Daffa.
“Woii, tadi malam aku mimpi,” ucap Billy begitu duduk.
“Mimpi apa?” tanya Reihan, Daffa tetap diam.
“Ya itu masalahnya aku lupa, tapi benar-benar mengerikan.”
“Aku juga mimpi” kata Faris.
“Mimpi apa?” tanya Reihan, ia bingung kenapa kawan-kawannya juga bermimpi. “Mungkinkah mereka ngompol juga?” tanya Reihan dalam hati.
“Aku mimpi terombang-ambing di laut. Aku hanya berpegang sama kelapa tua tapi aku gak tenggelam,” cetus Faris.
“Kau mimpi juga, Daf?” tanya Reihan penasaran.
“Iya,” jawab Daffa singkat.
“Mimpi apa?”
“Aku mimpi jadi pelaut andal.”
“Berarti mimpi kita hampir sama semua, semuanya mengenai air. Kau juga kan Bil?”
“Seingatku gitu juga.”
“He he, ayo ngaku, kalian ngompol semua kan?” tanya Reihan cengengesan.
“Nggak!” jawab semuanya bersamaan.
“Kau mimpi apa, Han?” tanya Faris sadar karena Reihan belum menceritakan mimpinya.
“Aku mimpi naik pesawat ke Jakarta karena dipanggil sekolah bola Ragunan tapi pesawatnya banjir.”
“Berarti tentang air juga, he he, kau ngompol ya?” tanya Faris lagi.
“Nggak!” jawab Reihan sempat.
“Ngaku aja, Han” balas Billy. “Mukamu gak bisa bohong tuh” sambungnya lagi.
Reihan diam saja.