Keesokannya sekolah diliburkan. Suasana begitu mencekam. Di Langsa tidak ada bangunan yang rusak, namun semuanya tidak ada yang keluar rumah. Semuanya sibuk memperhatikan TV. Abang-abang becak mengumpul di warung kopi untuk nonton TV. Mencari kabar tentang keadaan sebagian besar Aceh yang terkena musibah.
Reihan baru tahu setelah mendapat penjelasan dari Bang Zainal bahwa gempa itu membuat air laut pasang dan membuat kota-kota hancur.
Reihan sedih melihat ibu yang terus diam. Ibu hanya salat dan mengaji serta berzikir saja. Ibu terlihat begitu letih. Bolak-balik ibu menelepon namun dengan cepat pula wajah Ibu tegang. Telepon ke Banda Aceh belum menyambung juga.
“Bu, istirahat lah. Nanti Ibu sakit,” ucap Reihan.
“Gak pa-pa, Han. Ibu sehat kok. Kamu tabah ya? Ini cobaan,” jawab ibu menahan tangis.
“Pak Cik belum bisa ditelepon juga ya, Bu?” tanya Reihan pelan.
“Belum nyambung, Han. Telepon di sana mungkin rusak.”
“Reihan mau ke rumah Billy dulu ya, Bu.”
“Ya, tapi cepat pulang.”
Reihan pergi ke garasi mengeluarkan Jabrik dan langsung mengendarainya. Dalam perjalanan ia lihat kota begitu sepi. Kendaraan yang hilir mudik hanya sedikit. Ketika melewati rumah sakit, ia melihat kesibukan yang berbeda. Dengan perlahan ia terus mengayuh Jabrik.
Ia ingin mengunjungi Billy. Reihan tahu kalau sebagian besar keluarga Billy berada di Banda Aceh.
Setiba di rumah Billy, keadaan begitu sepi. Perlahan Reihan masuk. Ia lihat Billy dan ibunya menghadapi Al Quran, keduanya terlihat menangis. Reihan mengurungi niatnya untuk bergabung, ia pun kembali.
Dengan cepat ia kayuh Jabrik menuju rumah Faris.
Setiba di rumah Faris, ia lihat Faris sedang duduk di depan rumah.
“Kau, Han. Dari mana?” sambut Faris.
“Dari rumah Billy. Aku gak jadi masuk, kulihat Billy dan ibunya mengaji sambil menangis.”
“Kabarnya keluarga Billy hilang semua,” jawab Faris pelan.
“Kok bisa?” tanya Reihan bingung.
“Seluruh keluarga Billy tinggal di dekat pantai.”
Reihan terdiam mendengar penjelasan Faris. Ia menjadi merinding. Ia tidak bisa bayangkan jika ia kehilangan sebagian besar keluarganya dalam waktu yang bersamaan.
“Kasihan, Billy. Setelah ayahnya hilang ketika masih kecil, kini ia harus kehilangan abang dan kakaknya. Belum lagi pak cik, mak cik, sepupu, dan neneknya. Semuanya hilang dalam waktu yang bersamaan.”