Bintang untuk Andini

Dinar sen
Chapter #13

Kebohongan Galang

Ferry mengerutkan dahi, keraguan masih tergambar jelas di wajahnya. Rumah ini memang megah, jauh melebihi apa yang pernah ia bayangkan. Furnitur antik, lukisan-lukisan yang tampak mahal, dan aroma parfum yang lembut memenuhi ruangan. Semua terasa asing, namun ada juga sedikit sesuatu yang samar-samar terasa familiar, seperti bayangan mimpi yang sulit dijangkau.

Mereka tiba di ruang tamu yang luas. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi dan kacamata berbingkai emas sedang duduk di sofa, membaca sebuah naskah. Ia tampak tenang dan ramah, tersenyum ketika Anita dan Ferry mendekat.

“Selamat malam, Bu Anita,” sapa pria itu, bangkit dari duduknya. “Ini Ferry, ya? Senang sekali akhirnya bisa bertemu.”

Anita memperkenalkan Ferry, “Pak Budi, ini Ferry. Seperti yang sudah saya jelaskan, ia masih dalam masa pemulihan ingatan.”

Pak Budi mengangguk mengerti. “Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah siap untuk berdiskusi santai. Ferry, saya produser film, dan saya sangat tertarik dengan kisah hidupmu. Saya yakin kisahmu akan menjadi film yang sangat menginspirasi.”

Ferry tertegun. Kisah hidupnya? Ia sendiri belum sepenuhnya memahami kisah hidupnya sendiri. Ia melirik Anita, mencari petunjuk, namun ibunya hanya tersenyum mendukung. Pak Budi melanjutkan,


“Tentu saja, kita akan bicarakan detailnya nanti. Yang terpenting sekarang, bagaimana perasaanmu, Ferry?”


Ferry ragu-ragu. Ia ingin bertanya, ingin memahami, namun kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya. Ia hanya mampu mengangguk pelan, mencoba untuk mencerna semua yang terjadi.

Malam itu, di tengah kegelisahan dan kebingungannya,

Ferry memulai perjalanan baru, sebuah perjalanan untuk menemukan kembali dirinya dan kisah hidupnya yang akan diangkat ke layar lebar.


.......


Hari-hari berlalu. Ferry, dengan bantuan tim manajemen Pak Budi, menjalani syuting film yang menceritakan kisah hidupnya. Anehnya, ia mampu memerankan dirinya sendiri dengan sangat meyakinkan. Emosi, mimik wajah, bahkan intonasi suaranya terasa begitu natural, seolah ia benar-benar sedang mengalami kembali momen-momen tersebut.

Para kru memujinya, menyebutnya sebagai aktor berbakat yang luar biasa. Film itu sukses besar, namanya melambung tinggi. Ferry menjadi aktor ternama, wajahnya terpampang di berbagai media, penggemarnya membludak.


Namun, di balik gemerlapnya dunia hiburan, Ferry tetap merasa asing. Ia seperti menonton hidupnya sendiri dari balik layar. Penghargaan, pujian, dan kekayaan yang berlimpah terasa hampa. Ia tak pernah merasa pernah bekerja sebagai artis. Foto-foto masa lalunya yang ditampilkan dalam film, seolah milik orang lain. Senyumnya, tawanya, bahkan air matanya di layar lebar, terasa seperti milik seseorang yang ia tidak kenal.


Suatu malam, setelah menghadiri sebuah acara penghargaan bergengsi, Ferry berbaring di kamar hotel mewahnya.


Ferry bangun dari berbaringnya berjalan menuju balkon, menatap Kota di bawah sana bermandikan cahaya, namun hatinya terasa gelap gulita. Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela, seorang aktor terkenal, namun matanya kosong, tanpa cahaya.


“Mah,” gumamnya lirih, “aku… aku masih bingung. Semua ini… siapa aku sebenarnya?”


Ia meraih ponselnya, ingin menghubungi ibunya, namun ragu. Ia takut pertanyaan-pertanyaan yang sama akan kembali dijawab dengan senyum misterius Anita. Ia butuh jawaban, bukan hanya dukungan. Ia butuh untuk menemukan dirinya, bukan hanya peran yang dimainkannya. Perjalanan untuk menemukan jati dirinya, jauh lebih sulit daripada menjadi aktor terkenal.

Lihat selengkapnya