Senyap. Hanya suara click-click dari game di ponsel Ferry yang memecah keheningan lokasi syuting.
Rasa bosan menunggu, membuatnya memilih memainkan game. Wanita cantik berambut panjang lurus terurai mendekat duduk di sampingnya lantas bersandar.
Ferry hanya melirik, ia tahu Senalia datang dengan maksud yang sama, namun membuatnya pusing.
"Sayang, sudahin dong gamenya." Pintanya.
"Tidak suka, kamu bisa tinggalkan aku," jawab Ferry.
Senalia tetap bersandar, rambutnya yang harum semerbak lavender menyentuh pipinya. Ia mengulurkan tangan, jari-jarinya yang lentik menyentuh layar ponsel Ferry, menghentikan permainan.
Ferry mendengus, namun tak menepis tangan Senalia.
“Ferry,” suara Senalia lirih, “Aku serius. Aku benar-benar menyesal. Aku tahu permintaan maafku tak cukup, tapi…” Ia terisak pelan, bahunya bergetar. Air mata membasahi pipinya, mengotori riasannya yang sempurna.
Ferry menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya, lalu dengan hati-hati mengusap air mata Senalia.
Sentuhannya lembut, namun ada jarak di antara mereka. Jarak yang ditimbulkan oleh rasa asing yang masih membayangi hubungan mereka.
“Aku sudah memaafkanmu, Lia,” kata Ferry, suaranya datar. “Kecelakaan itu sudah berlalu. Yang penting kau sudah baikan sekarang, dan seperti yang kamu lihat ini.”
Senalia mengangguk, masih terisak. “Aku janji, Ferry. Aku benar-benar janji. Aku akan selalu fokus sama kamu, hanya sama kamu.” Ia menatap Ferry dengan mata berkaca-kaca, penuh penyesalan dan juga… harapan?
Ferry menatap Senalia, wajahnya tak menunjukkan emosi yang jelas. Ia melihat wanita cantik di sampingnya, wanita yang mengaku mencintainya, namun tetap saja ada jurang yang memisahkan mereka.
Janji Senalia terasa hampa, seperti tak ada rasa sebelumnya, tetap asing dan membingungkan.
Bayangan Dini, nama yang tiba-tiba muncul di benaknya tadi, masih menghantui. Siapakah Dini? Nama serasa asing namun' serasa dekat di hatinya, berbeda, apakah ia benar-benar bisa menerima Senalia sepenuhnya? Sementara yang terasa dekat di hati bukan nama Senalia, melainkan nama Dini yang justru belum lama ia ingat.
“Lia,” Ferry memulai lagi, suaranya berat, “Aku butuh waktu.”
Senalia terdiam, matanya menatap Ferry dengan penuh harap dan kecemasan. Jawaban Ferry, singkat namun menusuk, menggantung di udara, menjadi pertanda ketidakpastian masa depan hubungan mereka. Suara ‘Action!’ dari sutradara memecah keheningan, menarik Ferry kembali ke peran yang harus ia mainkan, sementara Senalia terpaku, menunggu jawaban yang lebih pasti dari Ferry.
"Ferry, benar-benar asing denganku... Namun ucapannya lebih lembut yang sekarang, tak seperti saat dulu yang cenderung keras dan sangat pecemburu. Bahkan, sekarang aku serasa tidak tega untuk mendua. Berbeda, dulu aku lebih memilih menduakannya karena sifatnya yang berlebihan dan keras." Batinnya, sembari memandang Ferry yang tengah syuting.
°°°°
Pagi' di perusahaan tempat Galang bekerja.
Galang meneguk kopi hitamnya, rasa semangat masih membuncah. Ide untuk menggandeng Ferry, artis yang tengah naik daun pasca kecelakaan yang sempat membuatnya menghilang dari sorotan media, terasa begitu tepat. Bukan hanya karena popularitas Ferry yang sedang tinggi, tetapi juga karena citra positifnya yang terbangun setelah kejadian tersebut.
Publik mengagumi ketabahan dan semangatnya untuk pulih. Hal ini, pikir Galang, akan sangat selaras dengan citra produk baru mereka yang mengusung tema “ketahanan dan inovasi”.
“Pak Direktur,” Galang memulai pembicaraan setelah beberapa saat hening, “Saya sudah menghubungi manajemen Ferry. Mereka tertarik dengan proposal kita, dan bersedia mengirimkan jadwal ketersediaan Ferry untuk bertemu dan membahas detail kerjasama.”
Direktur pemasaran, Pak Budi, menaikkan sebelah alisnya. “Benarkah? Cepat sekali. Saya kira akan butuh waktu berminggu-minggu untuk negosiasi.”
Galang tersenyum tipis. “Saya menekankan pentingnya kolaborasi ini bagi kedua belah pihak. Manajemen Ferry juga melihat potensi besar dari kampanye ini, terutama mengingat citra Ferry yang sekarang sangat positif dan sesuai dengan target pasar kita.”
Pak Budi mengangguk, puas. “Bagus, Galang. Ini perkembangan yang sangat menggembirakan. Jadwal pertemuannya kapan?”
“Mereka mengusulkan pertemuan minggu depan, di kantor mereka. Saya sudah menyiapkan draft kontrak dan proposal revisi yang lebih detail, mempertimbangkan masukan dari tim kreatif kita.” Galang menyerahkan berkas rapi kepada Pak Budi.
Pak Budi menerima berkas tersebut, matanya berbinar. “Kerja bagus, Galang. Saya yakin kerjasama ini akan sukses besar. Ini bisa menjadi terobosan baru bagi divisi pemasaran kita.” Ia menepuk bahu Galang, sebuah isyarat penghargaan yang jarang ia berikan. Galang merasakan kepuasan yang mendalam. Bukan hanya karena kesuksesan negosiasi, tetapi juga karena kesempatan untuk bertemu Ferry, artis yang selama ini hanya ia lihat di layar televisi. Ia penasaran, bagaimana sosok Ferry di balik sorotan kamera. Apakah yang ia lihat, benar Ferry atau Bintang yang di katakan telah meninggal. Pasalnya bagi Galang' Ferry lebih mirip dan seperti tidak ada yang di kurangi dari sosok Bintang.
"Kesempatan ini, yang aku tunggu.... Aku harus tahu, kebenaran tentang Ferry." Batinnya sembari menikmati hangatnya secangkir kopi hitam yang manis.
Galang tak sabar melihat sosok Ferry yang selama ini ia lihat di media. "Kamu Bintang atau benar Ferry?" Pertanyaan itu menggelitik pikirannya hingga ia kembali fokus pada pekerjaannya, menyiapkan presentasi untuk pertemuan dengan manajemen Ferry minggu depan.