Bintang untuk Andini

Dinar sen
Chapter #17

Kegelisahan Seno

Bayangan wajah Ferry—senyumnya, suaranya yang lembut—masih begitu jelas di benak Andini.

Hatinya berdesir setiap kali mengingat tatapan itu. Dalam hati kecilnya, Andini yakin… laki-laki itu bukan Ferry. Ia adalah Bintang, kakaknya.


“Nu…” suara Andini lirih memecah keheningan di antara suara gemericik air mancur. “Kenapa kakakku lupa sama aku? Aku tahu itu kak Bintang, Nu… aku tahu.”


Danu yang duduk di sebelahnya menoleh, menatap wajah Andini yang tampak lelah dan penuh air mata.

“Din, kenapa kamu yakin banget kalau dia kakak kamu? Apa yang bikin kamu begitu percaya?” tanyanya pelan.


Andini menatap ke arah pancuran air, matanya kosong. “Tanda luka di dagunya, Nu… bekas luka kecil waktu dia jatuh dari pagar besi dulu. Aku nggak mungkin salah. Itu tanda khas yang cuma dimiliki kak Bintang.”


Danu terdiam sejenak, mengangguk pelan. “Kalau kamu yakin, mungkin memang ada kebenarannya di situ. Tapi aneh ya, Din? Kalau benar dia Bintang, kenapa sekarang dia bisa jadi artis besar?”


Andini berdiri perlahan, berjalan mendekati kolam. Air mancur yang berkilau di bawah cahaya sore menyoroti wajahnya yang murung.

“Itu juga yang aku pikirkan, Nu. Kalau dia benar Bintang, lalu… siapa orang yang dimakamkan waktu itu? Aku masih ingat jelas, waktu aku melihat jenazahnya. Wajahnya mirip, tapi tidak ada tanda luka di dagu itu.”


Danu berdiri menyusul, menatap Andini serius. “Jadi kamu yakin, yang dimakamkan waktu itu bukan kakakmu?”


Andini berbalik menatap Danu, suaranya bergetar. “Entah, Nu… tapi kalau yang dimakamkan itu benar Bintang, ke mana hilangnya tanda itu? Luka itu nggak mungkin hilang.”


Danu menghela napas panjang. Ia menatap ke permukaan air yang beriak lembut tertiup angin.

“Mungkin ada orang lain yang sangat mirip. Atau… ada sesuatu yang disembunyikan, Din. Kita nggak boleh asal menilai. Kita harus cari tahu kebenarannya dengan kepala dingin.”


Ia menggenggam tangan Andini, memberi ketenangan.

“Kita bisa mulai dari bukti. Foto lama, saksi mata, bahkan catatan medis. Kalau memang ada yang salah, pasti bisa terungkap. Tapi sekarang kamu harus tenang dulu, ya. Jangan biarkan emosi kamu menutup logika.”


Andini hanya mengangguk lemah, matanya masih basah. Hening kembali menyelimuti mereka—hingga tiba-tiba ponsel Andini berdering. Suara nada dering itu memecah keheningan sore.


Andini melihat layar ponselnya. “Ayah Seno” terpampang di sana. Ia menelan ludah sebelum mengangkat.


“Halo, Ayah?” suaranya sedikit bergetar.


Suara Seno terdengar di seberang, tegas namun terdengar tergesa.

“Andini, Nak… pulanglah segera. Ada hal penting yang Ayah harus bicarakan.”


Andini mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari nada suara itu.

“Baik, Ayah. Aku segera pulang,” jawabnya pendek.


Lihat selengkapnya