Bintang untuk Andini

Dinar sen
Chapter #18

Ungkapan Galang

Andini masih duduk di tepi ranjang, diam tanpa ekspresi. Matanya sembab, bekas tangisan belum juga hilang. Di luar kamar, terdengar langkah kaki mendekat perlahan — langkah yang berat namun tegas. Pintu kamar terbuka pelan.


Galang muncul di ambang pintu, masih mengenakan kemeja kantor yang sedikit kusut. Ia bersandar di kusen pintu beberapa saat, menatap Andini dalam diam.


“Andini…” suaranya pelan, tapi terdengar getir.


Andini menoleh sebentar, lalu kembali memalingkan wajahnya. “Apa yang kamu mau, Kak? Mau nanyain kenapa aku menangis di depan semua orang?” suaranya dingin, namun bergetar.


Galang masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. Ia menghela napas panjang sebelum duduk di kursi dekat meja rias.

“Bukan begitu, Din. Aku cuma… aku khawatir sama kamu,” katanya.


Andini tertawa kecil, hambar. “Khawatir? Kak Galang yang nyuruh aku datang ke kantor itu. Kalau bukan karena Kak Galang, aku nggak bakal dipermalukan di depan wartawan. Semua orang lihat, Kak. Aku berteriak memanggil orang yang bahkan nggak mengenaliku.”


Galang menunduk. Rasa bersalah jelas tergambar di wajahnya. “Aku cuma pengen bantu kamu, Din. Aku pikir kalau kamu lihat sendiri Ferry, kamu akan sadar kalau kakakmu sudah nggak ada. Tapi aku salah… Aku nggak nyangka kamu akan bereaksi sejauh itu.”


“Kalau Kak Galang nggak yakin, kenapa harus libatkan aku?” potong Andini, nadanya meninggi. “Aku bukan bahan percobaan untuk ngebuktiin teori Kak Galang!”


Galang terdiam. Ia menatap Andini lekat-lekat — sorot matanya campuran antara penyesalan dan sesuatu yang lebih dalam. Ia berdiri perlahan, mendekat ke arah gadis itu.


“Andini…” suaranya bergetar, “aku minta maaf. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu.”


Andini menunduk, menghapus air mata yang mulai kembali jatuh. “Kak Galang selalu bilang begitu, tapi tetap saja aku yang terluka.”


Galang mendekat, duduk di sisi ranjang, hanya berjarak beberapa jengkal. “Din, aku nggak bisa jelasin semuanya sekarang. Tapi… aku nggak tahan lihat kamu sedih begini.”


Ia meraih tangan Andini, namun gadis itu buru-buru menariknya.

“Jangan, Kak,” ujarnya pelan. “Aku lagi nggak mau dihibur.”


Namun Galang justru menatapnya semakin dalam. “Aku nggak cuma mau ngibur kamu, Din. Aku… aku sayang kamu.”


Andini menatapnya, kaget. “Sayang? Maksud Kak Galang apa?”


Galang tersenyum getir, seolah tahu kata-katanya salah tapi tak bisa menahannya. “Aku sayang kamu bukan cuma sebagai adik. Aku nggak tahu sejak kapan… tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Din. Aku nggak tahan lihat kamu deket sama Danu, atau siapa pun. Aku pengin kamu cuma lihat aku.”


Andini bergeming. Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena sedih semata — melainkan karena bingung dan takut.

“Kak… jangan bicara begitu. Aku anggap Kak Galang keluarga. Kakak angkatku. Jangan rusak itu…”


Lihat selengkapnya