Paramedis melakukan CPR pada Raya sepanjang perjalanan. Saat tiba di rumah sakit, detak jantung Raya tak menunjukkan reaksi apapun bahkan setelah dilakukan defibrilasi. Hingga akhirnya pada hari minggu tanggal sepuluh mei dua ribu lima belas pukul tiga sore Raya serta mimpi dan rencananya tak lagi bisa melanjutkan perjalanan.
Shae melihat semua proses Raya meninggalkan Bumi. Mulai saat Raya kesakitan, tak sadarkan diri, dilakukan pertolongan darurat, mendengar dan melihat seseorang menyatakan Raya meninggal dunia, melihat tubuh Raya terbujur kaku di rumahnya, hingga Raya yang terbenam di perut Bumi. Shae masih belum bisa mencerna apa yang terjadi dalam waktu singkat itu. Bukankan kemarin ia dan Raya masih bermain di sungai? Bukankah hari ini seharusnya ia dan Raya pergi ke pet shop untuk membeli kucing dan menamainya? Bukankah Raya harus masuk universitas dan menjadi dokter hewan? Lalu bagaimana dengan tempat tidur, makanan, mainan, serta hal lain yang sudah Raya siapkan untuk hewan peliharaan pertamanya?
***
Itulah pertemuan pertamanya dengan kematian. Shae. Ya, itu aku, nama panggilanku saat kecil. Panggilan yang tak lagi inginku dengar. Cerita pertemuan pertamaku dengan kematian yang membuatku jatuh menyelami kehidupan. Dua hari setelah kepergian Raya, aku berada di rumah sendirian, orang tuaku sedang bekerja. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana secara tiba-tiba rasa takut akan kematian mengambil alih diriku. Di sofa coklat ruang keluarga, aku teringat maut yang mendatangi Raya secara tiba-tiba. Pikiran Shae remaja berkeliaran, bagaimana jika maut datang saat ini? Ia masih ingin bermain. Ia takut berada di perut Bumi sendirian, di sana gelap dan engap. Ia takut.
Shae remaja benar-benar ketakutan. Ia menangis seharian, tidak bisa tidur hingga terbangun setiap beberapa jam, juga dengan keringat dingin. Itu adalah saat terburuk dalam hidupku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku tidak bisa berpikir rasional, dan aku sangat percaya pada pikiranku bahwa maut akan datang hari itu. Pukul tiga sore esok harinya aku baru bisa tenang. Mengenai orang tuaku, mereka tak tahu mengenai apa yang kualami hari itu bahkan hingga saat aku menuliskannya sekarang. Hari yang mengubah dunia luas si periang menjadi terowongan gelap tanpa ujung. Seakan hidup kehilangan seluruh sinarnya.
Saat-saat buruk lainnya saat itu adalah setelah lulus SMP hingga sebelum masuk SMA. Aku tidak ada kegiatan dan tidak ada orang lain di sekitarku. Pada saat-saat tertentu, aku selalu cemas. Aku menjadi takut pada hal-hal yang entah bagaimana dapat menyebabkan rasa takut itu muncul kembali. Salah satunya adalah 'perubahan'. Ketika aku menyadari ada sesuatu dalam karakterku atau pikiranku yang berubah secara alami, aku menjadi takut. Kata orang, seseorang akan berubah ketika maut akan datang. Karena itu, setiap kali aku merasa karakterku telah berubah, aku selalu kembali ke diriku yang sebelumnya, sehingga aku tak perlu takut kematian datang. Karena aku masih sama, dan tidak berubah sedikit pun.
Tahun pertama di SMA semuanya membaik lagi, rasa takut itu perlahan menghilang dan tidak pernah muncul lagi. Saat itu aku hanya fokus dengan kehidupan sekolahku. Namun setelah itu, di tahun kedua SMA aku mulai merasakan hal lain, aku sering overthinking, kurang percaya diri, rendah diri, dan terkadang aku berpura-pura, seperti memainkan peran untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang salah denganku. Di tahun ketiga, rasa takut itu datang lagi. Hari itu datang lagi. Hari di mana aku merasa takut pada hari-hari tertentu, tidak seperti saat pertama kali, saat kedua dan ketiga kalinya aku lebih bisa mengendalikan diri, meskipun masih ada rasa khawatir.
Saat itu kalimat 'sampai jumpa besok' yang diucapkan orang lain kepadaku menjadi tameng yang melindungiku, perlindungannya menyeluruh. Saat mereka mengucapkan kalimat itu, aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja. Karena besok aku akan bertemu mereka, kematian tak akan datang karena aku akan bertemu mereka.