Rasa takut akan kematian mengantarku pada sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan yang tak pernah kupikirkan sebelumnya juga pada luka batin masa kecil yang tak pernah kusadari adanya. Mengapa kita hidup? Untuk apa kita hidup? Untuk apa bermimpi di saat kita bahkan gak tahu apa mimpi itu bisa tercapai sebelum kematian datang? Di ujung sana, apa ada sesuatu bermakna di balik kehidupan? Katanya hal mendasar tak mempunyai jawaban. Tapi aku selalu mencoba mencari alasan di balik segala.
Rasa takut ini benar-benar mengubah diriku. Shae yang periang, yang hanya menjalani hari demi hari, berubah menjadi Shae yang penakut, Shae yang hanya menunggu. Menunggu rasa takut menghilang. Tahun-tahun berlalu dan aku masih menunggu. Entah menunggu apa, tetapi rasanya seperti menunggu sesuatu. Sembilan tahun. Waktu banyak berlalu namun aku masih seperti dulu. Jika kau mengenalku, kau tak akan melihat perubahan dalam diriku, kecuali perubahan kepribadian. Aku yang berusia dua puluh tiga tahun, masih berpenampilan seperti Shae yang berusia lima belas. Bukankah seharusnya aku bertumbuh? Bukankah seharusnya aku menjadi wanita dewasa yang peduli akan penampilan, teman, pekerjaan, cinta, dan hal yang dipedulikan orang dewasa lainnya?
Ya, aku sudah menyelesaikan kuliahku. Menjalani hidup layaknya manusia lain. Hanya saja, hatiku tak merasa hidup. Tak ada yang ingin ku capai, tak ada antusias. Sejujurnya, aku tak tahu ingin menceritakanmu apa lagi. Kehidupanku tak begitu menarik. Aku memiliki seseorang yang mendengarkan ceritaku, seseorang yang hanya padanya aku bercerita dan mengetahui segala tentangku. Langit Aksa Adhyasta. Temanku sejak sekolah dasar. Ia banyak mendengar, memarahi, menenangkan, dan yang paling penting dia adalah seseorang yang selalu menemaniku. Karena dia aku tak merasa sepi. Hidup setidaknya mempunyai tempat pelarian teraman.
Aku bercerita padanya mengenai rasa takut akan kematian yang kualami. Dan dia selalu menenangkanku dengan caranya. Suatu hari, ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah kapal.
***
“Kalau lo takut sama akhir, bayangin aja kalau hidup itu adalah lautan lepas, dan setiap manusia di dunia ini adalah kapal. Setiap kapal mempunyai daya berlayar atau waktunya masing-masing. Setiap kapal bebas memilih tujuannya. Tapi waktu terus berjalan, daya terus terkuras. Entah kapal itu berhenti atau terus melaju, waktu akan tetap berkurang.
Jadi, karena kita tahu kalau suatu saat kapal ini akan berhenti berlayar, jadi yang gue akan pikir saat hal itu terjadi adalah ‘kapal gue udah habis bensin atau daya, tapi gapapa karena gue udah pergi ke banyak sisi lautan, gapapa karena gue gak berhenti berlayar, gapapa karena gue berhasil menghabiskan semua bensin yang gue punya untuk berlayar ke semua tempat yang gue mau’. Pokoknya karena gue menjalani hidup sepenuhnya jadi gue gak punya penyesalan.
Seenggaknya gue gak berhenti berlayar cuma karena gue takut kalau gue gak sempat berhasil mencapai tempat tujuan, seenggaknya gue gak diam dan berakhir di tempat yang sama sampai bensin dan waktu gue habis.
Lo mau pilih lima puluh banding lima puluh, dengan lo berlayar sesuka hati lo dengan perasaan excited dan mempunyai kemungkinan untuk mencapai tuju. Atau mau diam di tempat dan gak akan berhasil mencapai tuju sama sekali, mungkin aja lo gak akan bahagia di sini.
Intinya kalau lo coba berlayar menuju tuju, ada kemungkinan lima puluh persen itu akan kecapai, kemungkinan sisanya ya lo gak sempat sampai tujuan. Atau lo mau diam di tempat lo sekarang dan seratus persen gak bakal mencapai tuju. Lo mau nunggu aja lihat berapa lama daya lo habis di tempat yang sama, atau mau berlayar ke seluruh lautan.
Ingat, mau lo berlayar atau enggak, waktu berakhir lo sama. Gue gak bisa maksa lo untuk ngerasa ‘gue mau berlayar’ dengan perasaan yang benar-benar excited, karena gue tahu itu susah. Gue tahu ada bagian diri lo yang ‘gue pengen mencapai tuju gue’, ‘gue gak rela untuk berakhir padahal gue udah mencurahkan segala yang gue punya ke hal yang jadi tuju gue. Itu gak adil buat gue’. Tapi apa lo tahu, mungkin hidup bukan tentang tujuan, tapi tentang perjalanannya. Siapa tahu mungkin saat kita memulai berjalan, perjalanan itu membuat kita lupa akan tujuan. Kita gak lagi peduli tentang tujuan, karena perjalanannya sendiri begitu indah dan menyenangkan, membuat kita merasakan rasa yang jauh dari yang kita bayangkan. Karena perjalanannya sudah begitu menakjubkan.”
--