Sebagai bupati, Arif Suud Utama tidak pernah bermimpi hidup di bui. Namun, kenyataannya, sekarang ia berada di balik jeruji. Kasus korupsi dan suap yang dilakukannya telah menjeratnya, melabelinya sebagai seorang narapidana.
Lelaki berumur lima puluh lima tahun, berkopiah, bermata kucing, menempuhi hidupnya. Selama di bui, hari-harinya hanya diisi beribadah. Sebagai narapidana mantan pejabat ia mendapat sel khusus dan perlakuan istimewa. Tentu demi mendapatkan semua itu ia perlu menyogok para penguasa penjara: sipir, napi preman, hingga kepala lapas.
Uang memang bisa mengubah sikap dan perilaku orang. Lihat saja para napi kelas korve, yang mau disuruh melakukan apa pun. Mereka orang-orang melarat yang mencuri demi bisa makan. Seperti burung mereka ditempatkan pada sel penuh sesak. Mendapat jatah ransum seadanya, tidur di selembar tikar atau ubin dingin, dan disuruh ini-itu.
Setiap hari para napi congek itu harus mengikuti pelatihan kerja. Bekal mata pencaharian setelah bebas nanti. Tentu beda dengan Arif Suud Utama yang tak perlu mengikuti pelatihan apa pun. Sebagai mantan pejabat ia masih memiliki taring. Ia masih memiliki pengaruh, meskipun tak sekuat dulu. Ia masih memiliki pengikut, walaupun tak sebanyak dulu. Ia masih memiliki nyali meskipun tak sebesar dulu.
Tapi ia masih memiliki segudang uang. Uang hasil korupsi yang disimpannya pada beberapa bank atas nama rekening adik, anak, menantu, hingga besan. Setelah bebas nanti Arif Suud sudah punya beragam rencana. Ia akan membuka restoran dan hotel. Membesarkan usaha biro wisata, termasuk umrah. Bisnis yang kini digenggam anak menantu. Ia akan membesarkan sekolah dan pondok pesantrennya. Mengisi hari dengan mengajar, mengaji, dan undangan pengajian. Dia akan tausiah perihal pengalaman hidup di dalam penjara. Bagaimana bisa menerima cobaan hidup dengan ikhlas. Ia yakin para jamaah dan santrinya masih merindukan tausiah dari dirinya: Ustaz Arif Suud. Jarang-jarang ada ustaz seperti dirinya. Dari ustaz bisa menjadi orang nomor satu di kabupaten. Bupati yang merangkap sebagai ustaz. Atau ustaz merangkap bupati?
***
Di antara lima bersaudara, Arif Suud Utama paling merasa tinggi derajat, pangkat, kedudukan, dan kekayaan. Saudara-saudaranya sering datang mengemis. Ia tak segan membantu, tentu saja uang yang diberikan dalam bentuk pinjaman dan besarnya disesuaikan dengan kekuatan ekonomi sang saudara atau kerabatnya. Dia harus bisa berlaku adil. Bagaimana kalau dia memberi pinjaman dengan bunga kelewat besar dan saudaranya tak bisa mengembalikan, bahkan kerepotan menyicil bunganya? Seperti Mbak Seruti, yang ingin membuka rumah panti persinggahan. Arif Suud menolak meminjamkan dana. Ngapain membangun rumah mewah, kalau hanya untuk ditempati gembel melarat yang terkatung-katung di jalanan?
Arif Suud lebih suka menyuntikkan dana untuk kakak perempuannya, Mbak Sri yang berbisnis salon dan butik, Mbak Tami yang berkecimpung di usaha kuliner, atau Mbak Laila yang membuka usaha karaoke. Sebuah investasi menjanjikan bagi kota yang dipimpinnya. Kota industri dan tujuan jasa. Termasuk jasa wisata esek-esek. Meskipun di kotanya banyak berdiri pondok pesantren, tapi banyak pula tempat-tempat mencari kesenangan sesaat. Sebagai pucuk pimpinan di daerahnya ia berkuasa memberikan izin, berdalih menarik investor. Anggota dewan terhormat mudah diajak kongkalikong. LSM mengkritik, disumpal uang. Masyarakat protes? Kotanya termasuk aman. Masyarakatnya apatis. Mereka sibuk mencari sesuap nasi. Ketika urusan perut terpenuhi, mereka tak peduli pada urusan di luar!
Ia pun punya orang-orang yang siap memberikan solusi dan bantuan demi mengamankan kedudukan sebagai bupati yang susah payah diraihnya. Bermodal kecerdikan, doa para jamaahnya, juga lembaran-lembaran uang!
***
Malam telah melarut. Lampu-lampu di penjara dipadamkan. Sipir penjaga berkeliling. Arif Suud Utama sang koruptor masih duduk mencangkung. Meja kerja dipenuhi kertas. Selama setahun menghuni sel dan menempati kamar khusus ini, tempat tidur empuk dan berpendingin ini, ia berencana menuliskan perjalanan hidupnya Namun, tangannya sungguh susah digerakkan ketika pena sudah dalam genggaman, mengapa menulis rangkaian kata tak bisa. Sekalinya bisa, kata-kata yang disusunnya wagu, dan ia memilih meremas, menyobek-nyobek kertas. Uh, ternyata mengarang itu tidak gampang. Tapi seorang penulis yang pernah datang menemuinya itu bilang menulis itu gampang?
Arif Suud Utama teringat bertahun lalu ketika menjabat bupati pernah diundang pada acara peluncuran buku antologi puisi oleh sastrawan di kotanya. Semula ia malas berangkat datang. Ngapain datang ke acara tidak jelas? Membaca puisi, berteriak-teriak, seperti orang orang gila, orang kesurupan, atau kurang kerjaan? Namun, ia memutuskan datang manakala acara digelar di pondok pesantren milik besan. Saat di acara jagong sastra, ia usai memberi penyambutan, dan tepuk tangan masih bergema, ia duduk lesehan di antara kiai dan pejabat, ketika seorang seniman nyentrik, berambut gondrong menghampirinya, mengenalkan diri. Menyebut dirinya cerpenis. Ratusan cerpennya telah diterbitkan di media. Katanya ia ingin memajukan sastra atau dunia literasi. Membutuhkan uluran tangan bupati. Komunitas yang diketuainya membutuhkan dana menerbitkan buku.
"Mungkin bapak bupati, eh, kiai bisa membantu kami menerbitkan buku.”
"Berapa ongkosnya?"
"Delapan juta."