BAB EMPAT
Kabar penggerebekan kantor bupati dan penangkapan Bupati Arif Suud Utama, dan berakhir dengan diberhentikan dari jabatan sehingga masuk bui tersiar ke seantero, ke mana angin bertiup, dan menjadi obrolan panas di kota di mana Bupati Arif Suud menjabat. Bupati yang sekaligus kiai melakukan korupsi, dan ini menjadi isu panas dan bahan gosip, dari rumah ke rumah warga, pada bilik kantor pemerintahan, di warung, di pasar, di toko, di lapak tukang jahit, di lokalisasi, pada ruang sekolah, juga di area pondok pesantren, tidak terkecuali dalam Pondok Pesantren Al-Kar milik leluhur Bu Nyai Maisaroh Ulfa, mertua Arif Suud Utama.
Penghuni berbisik-bisik mengabarkan, ada yang percaya, ada yang menganggap hanya angin lalu, ada yang peduli, ada yang menyebarkan berita itu sehingga seluruh lingkungan pondok tahu, dan kabar itu pun sampai ke Bu Nyai Maisaroh. Arif Suud Utama seorang bupati sekaligus kiai yang koruptor!
Bu Nyai memanggil Santi Prihatini, salah satu pengurus pondok, yang juga seorang guru di sekolah dalam lingkungan pondok. Santi yang ditengarai si penyebar gosip. Pagi jelang siang itu, Santi dipanggil olah Bu Nyai ke ruangannya.
Bu Nyai duduk di kursi, sementara Santi duduk bersimpuh. Santi tidak tahu, entah berapa lama dia berada di ruangan luas itu, tapi sejak dia datang, Bu Nyai sudah mendongenginya ngalor ngidul.
”Kowe ki yen wis weruh ya uwis, rasah diadulake ning sapa wae. Kowe reti ora yen kelakuanmu kuwi dosa.” (Kamu itu kalau sudah tahu ya sudah, tidak usah bilang ke siapa-siapa.)
“Inggih.” (Iya.)
“Berita durung jelas wis kok sebarake. Ngisin-ngisini wae.” (Berita belum pasti sudah disebarkan. Malu-maluin saja.)
“Kawula nyuwun pangapunten." (Saya minta maaf.)
“Kowe ki ngenger ning kene, semesthine kowe reti apa-apa sing kudu koklakokna ning pesantren iki. Jujur wae aku kuciwa karo kowe.” (Kamu itu mengabdi di sini, seharusnya kamu tahu apa saja yang harus dilakukan di pesantren ini. Jujur saja aku kecewa denganmu.)
“Kawula lepat, kawula nyuwun pangapunten.” (Saya salah, saya minta maaf.)
“Sing wenehi pangapura kuwi Gusti Allah. Wis kono mbalika.” (Yang memberi maaf itu Gusti Allah. Sudah sana kembali.)
Santi Prihatini keluar dari ruang Bu Nyai. Seharian itu Santi merasa pikirannya tidak menentu. Mengapa Bu Nyai sampai terlihat sangat marah. Bukankah berita itu benar bahwa menantu kesayangan Bu Nyai, yaitu sang Bupati Arif Suud Utama melakukan korupsi?
Santi sedang merenung di kamarnya saat Waluh yang baru pulang dari kampung, memasuki kamar dan mengabarkan sesuatu yang membuat Santi terhenyak.
“Mbak Ti apa sudah dengar kabar kalau Bupati ...”
Santi langsung membungkam mulut Waluh. Waluh gelagapan dan berusaha dengan tangannya melepas telapak tangan Santi yang membekap mulutnya.
“Ada apa, Mbak?”
“Jangan bicarakan itu lagi, Luh. Bicara yang lain saja. Apa kabar nenekmu di kampung? Sedang musim apa di kampungmu, bagaimana ayam peliharaanmu?”
Tanpa tersadar Santi meneteskan air mata. Santi teringat peristiwa beberapa silam, ketika Bu Nyai memarahinya, bahkan mengungkit-ungkit soal ngenger. Santi teringat peristiwa sepuluh tahun lalu, saat dia datang ke pesantren ini untuk mondok, tapi tidak memiliki uang, kemudian atas kebaikan Bu Nyai dia diizinkan untuk mondok. Mondok sembari sekolah, sehingga lulus ujian kesetaraan SMA. Santi kemudian mendapatkan beasiswa dan kuliah sehingga meraih gelar sarjana pendidikan. Kemudian mengabdi di pondok ini sebagai guru. Guru di pesantren yang gajinya sedikit, nilai nominalnya di bawah UMR. Santi menjalaninya dengan tanpa beban, karena baginya mengajar bukan hanya digaji dengan uang, tapi juga pahala. Inilah yang diajarkan di pesantren, bahwa ketika kita rida mengajarkan ilmu, maka Allah akan memberi rezeki pada kita.
“Mbak Santi sakit?” Waluh memegang dahi Santi. Santi menggelengkan kepala dan lembut menyingkirkan tangan Waluh.
“Aku baik-baik saja, Luh. Maaf, kau tadi terbawa emosi. Maksudku aku sedang punya sedikit masalah. Tapi bukan denganmu. Aku, entahlah, kepala pusing Luh, aku mau tidur dulu.”
Waluh bingung tapi menganggukkan kepala. Santi merebahkan diri di dipan, memejamkan mata. Waluh mendekat, menyentuh tangan Santi, meraba keningnya.
“Kening Mbak tidak panas.”
“Aku, eh, aku tidak pusing kepala itu, Luh. Aku pusing karena memikirkan sesuatu.”
“O, “ Waluh mencoba mengira-ngira masalah apa yang sedang menimpa sahabatnya. Sepertinya Santi enggan menceritakannya, atau mungkin menunggu waktu yang tepat? Waluh bangkit dari ambin, ketika terdengar suara ketukan pintu. Waluh membuka pintu dan seorang perempuan berbadan gemuk, berparas teduh, dan bersuara cempreng muncul membawa setumpuk baju bersih kering.
“Wal, kamu sudah balik?”
“Iya, Kak Tika. Barusan. Ada apa?”
“Bisa bantu Kakak tidak? Si Umi sedang datang bulan. Dari tadi merintih perutnya sakit, ngejogrok enggak bisa nyetrika, Kamu bantuian kakak, ya? Mau, ya? Ntar Kakak masakin mi paling enak.”
“Beres, Kak.”