Seruti menghela napas panjang. Suparni bangkit dari duduknya dan menuju ruang tengah. Seruti mengikuti langkahnya ibunya “Kamu di rumah sudah makan belum, Ti? Ayo temani Ibu, mumpung kamu datang ke sini.”
“Inggih, Bu.”
Yu Paijem, pembantu yang sudah bekerja puluhan tahun menata meja makan. Titi menemani Suparni bersantap siang. Sambil menikmati hidangan, ibunya bertanya perihal keadaan keluarganya.
“Bagaimana rencana sekolah anakmu si Kuin. Setelah lulus SMA mau kuliah di mana?”
“Insya Allah Kuin ingin menjadi guru, Bu. Mungkin nanti kuliah di kota ini saja.”
“Mengapa tidak di Semarang? Apa tidak malu, keponakan bupati kok kuliah di universitas yang tidak terkenal.”
“InsyaAllah, di mana pun Kuin kuliah yang penting ilmunya, Bu.”
Suparni mengundang pembantunya. “Mbok masih ada sambalnya di dapur?”
“Masih, Bu.”
“Bawa ke sini sekalian.”
Mbok Paijem sedang melangkah ke dapur ketika ponsel Seruti berdering. Titi segera mengangkatnya. Terdengar suara perempuan dari seberang. Suaranya keras, seperti suara Ibu.
“Aku sedang di rumah Ibu, Mbak,” suaraTiti pelan tapi jelas.
“Siapa?” tanya Suparni sesaat menghentikan gerakkan sendoknya yang tengah tertuang sambal bajak.
“Mbak Sri, Bu,” jelas Titi.
“Iya, Mbak. Nanti setelah dari rumah Ibu,” kembali Titi berbicara dengan perempuan di seberang. Mbak Sri, kakak sulungnya. Mbak Sri Wahyuni, pemilik butik kelas atas di kota ini, pelanggannya kebanyakan pejabat dan orang-orang kaya.
Seruti meletakkan telepon dan kembali melanjutkan makan. Sayur lodeh lengkap dengan sambal terasi, empal gepuk, ayam goreng bumbu lengkuas, telur asin, dan tahu-tempe bacem. Masakan yang cita rasanya makyus. Masakan olahan tangan Ibu dengan dibantu Mbok Paijem.
“Ada kabar apa dari Mbakyumu?”
“Mbak nyuruh aku datang ke butiknya, Bu. Katanya dia kangen lama tidak bertemu, Bu.”
“Ya datanglah. Kalian bersaudara, tetap jalin silaturahmi dengan baik. Hubungan sesama saudara lebih penting daripada orang di luar. Apa pun baik dan buruk, mereka tetap saudaramu, yang akan menolongmu ketika kita membutuhkan. Ibu pesan, bilang pada Mbakyumu agar jaga kesehatan.”
“Inggih, Bu.”
***
“Bagaimana perkembangan usaha Mbakyu?”
“Ya lancar saja, Ti. Cuma beberapa waktu ini ada pelanggan yang tiba-tiba membatalkan order. Pelanggan baru sih. Tidak berpengaruh bagiku.”
“Kalau boleh tahu mengapa tiba-tiba batalin, Mbak.”
“Mungkin terpengaruh omongan bego di luar tentang si Suud. Katanya si Suud korupsilah, katanya ginilah, gitulah.”
“Apakah Mbak tidak percaya berita di luaran?”
“Tentu saja tidak. Aku lebih percaya yang dikatakan Suud. Suud itu kiai dan panutan banyak orang. Tidak mungkin dia berbuat buruk yang bisa menghancurkan karirnya.”
“Tapi berita di luaran, Mbak. Penggeledahan di kantor Dik Tama.”