Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #6

Chapter #6 BAB ENAM

Pada sebuah lapak tukang jahit di jalan protokol sebuah kota. Dua orang penjahit sedang ngobrol dengan seorang pemuda berambut gondrong yang sedang membaca berita pada koran edisi hari itu. Pada halaman muka tertulis berita besar perihal seorang bupati yang juga kiai tersangka korupsi.

“Berita hari ini, Kang, bupatimu terlibat korupsi,” cerocos si pemuda gondrong yang bernama Buldani. Buldani seorang penulis, bisa menulis karya sastra, paling suka menulis cerpen dan puisi, tetapi tidak menolak ketika mendapat proyek menulis buku jenis apa saja. Selama Buldani mampu menuliskannya dan harga cocok, dia tak akan menolaknya.

“Belum tentu berita benar itu. Fitnah,” tepis seorang penjahit muda berwajah mirip seorang ustaz gaul yang sering muncul di TV.

“Bagaimana fitnah, bukan hanya koran ini yang memuat Kang. Kemarin koran lain juga memuat kasusnya, Kang,” suara Buldani meninggi.

“Alah kerjaan wartawan gosip.”

“Gosip gimana sih, Kang. Di TV juga muncul beritanya.”

Belum lagi lima menit, si Cecep memutar televisi dan di sana tertayang kasus korupsi. Seorang bupati terlibat korupsi.

“Itu Kang beritanya masuk di TV.”

“Alaah tidak semua berita di TV benar. Aku pernah ke Karimunjawa melihat syuting seorang yang terdampar di pulau terpencil. Dan ternyata ditipu, si orang tersebut pura-pura terdampar seorang diri, padahal di lokasi banyak orang yang menemani.”

“Kalau ini berita Kang, beda, bukan syuting film.”

“Apalagi berita. Tidak mungkin bupatiku korupsi. Bupati Arif Suud seorang kiai. Pinter ngaji Al Quran, tidak mungkin dia korupsi. Bupati Arif Suud juga sudah kaya raya dari bisnisnya dan mendapat warisan dari mertuanya yang pemilik pondok pesantren besar. Untuk apa dia korupsi?”

“Korupsi ya korupsi Kang!”

“Hush jangan keras-keras kalau ada yang dengar kau bisa ditangkap polisi!”

Si Cecep memberi isyarat agar Buldani memilih mengalah, tidak melanjutkan debat kusir.

“Terserah kau, Kang. Tetapi kiai itu juga doyan duit, Kang, karena kiai juga manusia.”

“Eh aja ngelek-elek kiai kowe, nanti uripmu bisa cilaka, bisa kualat kowe.” (Eh, jangan menjelek-jelekan kiai kamu, nanti hidupmu bisa celaka, bisa kualat kamu.)

Kualat kakekamu!” semprot Buldani kemudian meninggalkan lapak penjahit dan mengikuti Cecep ke pekarangan belakang. Di sana ada area untuk nongkrong, gubuk di dekat kali kecil. Buldani ngobrol dengan Cecep yang mengaku baru saja mengantarkan orang mencari pesugihan di sebuah gunung angker. Buldani merasa senang berkawan dengan Cecep yang memiliki banyak pengalaman perihal dunia gaib. Beberapa pengalaman hidup Cecep memantik inspirasi Buldani untuk menulis kisah-kisah horor atau misteri.

                                                          ***

Pada sebuah rumah joglo yang pintunya berhias ukiran Jepara nan indah. Pada beranda rumah, pada meja kayu jati berbentuk oval terhidang teh panas dan sepiring jajanan, berupa kue klepon, putu, dan lapis. Angin sore bertiup lirih, bukan membawa kantuk, tetapi malah membawa rinai kesedihan di hati seorang laki-laki berumur senja bernama Suparno. Seharusnya di usia sekarang aku tidak perlu cemas memikirkan anak, toh anakku sudah berkeluarga, bahkan telah memberiku tiga cucu. Tetapi bagiku, bagi orang tua, setua apa pun usia anak, di matanya si anak tetap seorang bocah. Bocah yang sekarang tersandung masalah, dan mau tidak mau membuat aku memikirkannya.

“Kopinya sampai dingin kok belum diminum, Pak?” suara lembut dan sentuhan kecil di tangannya yang keriput, menggulirkan lamunan Suparno. Suparno sekilas memandang Suparni, istrinya, yang usianya terpaut delapan tahun, tetapi sepertinya mereka unda-undi, kakak beradik yang hanya berjarak dua tahun. Seperti jarak umur Arif dan Seruti. Ah, mengapa aku memikirkannya lagi?

“Aku masih memikirkan si Arif, Bu,” suara Suparno lirih, tetapi menyiratkan luka.

“Jangan terlalu dipikir nanti bapak bisa sakit,” Suparni menasihati dan menepuk lengan sang suami.

“Bagaimana aku tidak mikir, Arif, anak kita, Bu, " suara Suparno mengalun menguarkan kenelangsaan. "Seingatku sejak kecil kita sudah mendidiknya dengan benar. Kita menyekolahkannya di sekolah yang mutunya bagus. Selulus SD kita sepakat memondokkannya ke pesantren yang kiainya top dan bayar biaya mondoknya mahal. Selepas mondok kita berusaha menguliahkannya. Mengapa sekarang dia bisa melakukan hal yang sangat memalukan.”

“Arif anakku, Pak. Bukan semua kesalahan harus ditimpakan pada Arif,” bela Suparni, tiada rela anak kesayangan disalahkan, apalagi dihujat.

"Hampir setiap hari kasusnya diberitakan," Suparno mengeluh, menyuarakan keprihatinan. "Di radio, di koran, di televisi. Bahkan juga di obrolan warung. Bahkan ketika jamaah di masjid pun orang-orang membicarakan. Mengapa seorang bupati korupsi? Mengapa bupati yang juga kyai melakukan suap? Aku ingin menutup telingaku kalau mendengar berita-berita tentang Arif. Aku ingin menutup mata kalau ada kasus pemimpin korupsi, dan salah satunya anakku sendiri. Bu, aku dulu benci kalau mendengar berita ada pemimpin, bahkan menteri yang melakukan korupsi, dan ditangkap KPK. Apakah aku harus membenci Arif, Bu?"

“Kalau aku tidak bisa membenci anakku, Pak,” Suparni menggelengkan kepala berulang-ulang, terbayang sosok Arif Suud Utama.

Lihat selengkapnya