Kesedihan Suparno belum beranjak dari hatinya ketika perkara Arif Suud Utama selesai disidangkan dan dia harus menghuni bui. Suparno menolak ajakan sang istri untuk turut mengantar Arif Suud. Untuk apa diriku bertemu muka dengan si anak nakal itu kalau hanya akan menambah kesedihan?
“Bapak tidak berubah pikiran untuk ikut?” kembali Suparni bertanya, malam itu ketika dia tengah mematut diri di depan cermin, mencoba beberapa perhiasan mahalnya, yang besok akan dikenakan.
“Aku tetap tidak ikut, Bu. Ibu saja dan anak-anak,”
“Tentu, Pak. Aku sudah mengabari Sri, Tami, Laila, dan Titi untuk ikut mengantar Arif. Anak-anak mereka juga akan ikut. Kami nanti akan menyewa bus.”
“Iya. Ibu saja yang ngatur. Untuk ongkos sewa bus bisa kita yang bayar.”
“Sudah dibayar si Tumi, Pak.”
“Kalau begitu, Ibu bawain bahan makanan dan pakaian, juga kebutuhan untuk Arif Meskipun istrinya sudah menyiapkan, kita tetap membawakan untuk Arif. Bagi kita, di mata kita Airf tetap anak kecil yang butuh bantuan kita. Semoga dia bisa menyesuaikan tempat yang akan dihuninya nanti."
“Arif tempo bulan pernah ke sini, dan Bapak tidak mau menemuinya, padahal saat itu masih jadi tersangka, tapi Bapak sudah menutup pintu hati.”
“Apakah dia terlihat kecewa, Bu?"
“Aku tahu dia kecewa, tapi tidak memperlihatkan ke padaku. Tapi sempat bertanya pada kakaknya, mengapa Bapak tidak mau menemuinya? Apakah bapak membencinya? Si Sri bilang, bapak masih kaget dan belum sanggup bertemu dia. Bapak sedih kalau melihatmu. Hanya itu, kemudian Arif tidak bertanya apa-apa lagi.”
“Sampai hari ini aku masih belum bisa sanggup bertemu Arif, Bu. Aku takut kalau melihatnya aku diujung sedihku bisa-bisa memarahinya. Mungkin lebih baik seperti ini, sementara waktu aku tidak bertemu dulu.”
“Bapak tidak sungguh-sungguh membenci Arif, kan?” pertanyaan terlontar lirih berpadan tatapan mata yang membuat Suparno menghela napas panjang beberapa kali.
“Bagaimana aku bisa membenci darah dagingku sendiri, Bu?” sepasang mata tua itu mbrambang.
***
Arif Suud Utama tidak pernah bermimpi akan menjalani hidup di penjara. Pada kenyataannya, di usia lima puluh tahunan dia resmi menyandang gelar narapidana. Setelah sidang yang melelahkan dan menjemukan, dan hakim memutuskan Arif Suud Utama bersalah dan harus menjalani hukuman selama tiga tahun di potong masa tahanan.
Arif Suud Utama menjalani masa hukuman di sebuah lapas pada ibukota provinsi. Hari itu, sanak keluarga, istri, anak, dan adik-adiknya mengantarnya. Mereka mencarter bus. Selain keluarga, ada juga jamaahnya yang turut mengantarnya.
Selama dalam perjalanan, Arif Suud Utama terlihat gelisah, membayangkan kehidupan dalam penjara yang akan dijalaninya. Tiga tahun dirinya akan terkungkung tembok penjara. Oh, Arif Suud tiba-tiba teringat lagu dangdut yang pernah didengarnya: Pak hakim dan pak jaksa kapan saya akan disidang, sudah mendekam belum juga ada panggilan. Saya sudah tidak tahan setiap malam kedinginan, tidur di ubin tak bertikar, nyamuk-nyamuk menjengkelkan. Arif Suud juga teringat lagu Dloyd yang ketika remaja pernah didengarnya: Hidup di bui bagaikan mimpi. Pagi-pagi kita sudah bangun, makan nasi jagung.
Arif Suud Utama mengeluh. Bus yang dinaiki ber-AC, tapi terasa gerah. Tumi Nur Azizah yang berada di sisinya, mengetahui kegelisahan suaminya, dan digenggam jemari Arif. Arif merasakan kegelisahannya agak susut.
“Bagaimana nanti aku di sana, ya, Dik?”
“Insya Allah semua baik-baik saja, Bi. Aku sudah mengurusnya.”
“Aku seorang bupati, seorang kiai dan harus hidup di penjara.”
“Istigfar. Ini cobaan buat Abi.”
“Tiga tahun aku akan di sana, dan terpisah dari keluarga.”
“Aku dan anak-anak akan menjengukmu, Bi. Kalau kangen Abi bisa menelepon.”
“Iya.”
Bus melaju, Arif Suud dan Tumi Nur Azizah kemudian terdiam dalam pikiran masing-masing. Sementara adik-adiknya yang berada di barisan duduk belakang masing-masing sibuk dengan ponselnya. Sementara tiga anak Arif Suud Utama terlihat sedih dan muram. Tentu saja, bagaimanapun keadaan Arif Suud Utama akan berpengaruh pada kehidupan mereka kelak.
***
Malam pertama Arif Suud Utama hidup di penjara. Ternyata keadaan penjara tidak seseram yang dibayangkan olehnya. Kepala penjara menyambutnya dan mengantarkannya ke sel, sebuah ruangan yang mirip kamar hotel mewah dan ber-AC. Ada tempat tidur empuk, lemari pakaian, meja-kursi kerja, juga kamar mandi di dalam ruangan. Arif Suud mengucapkan terima kasih ketika kepala penjara dan seorang stafnya berpamitan. Sebelum berpamitan si kepala penjara masih beramah tamah
“Saya mengucapkan selamat beristirahat, Bapak. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan Bapak nanti bisa menghubungi saya langsung atau bisa lewat anak buah saya.”
“Insya Allah.”
Si kepala lapas dan sipir berlalu. Arif Suud duduk di ranjang dan merasa lelah sehingga dia tertidur, dan terbangun ketika suara azan berkumandang. Arif meraih guling di sisinya. Tak ada lagi istri yang menemani. Arif Suud wudu dan salat di dalam kamarnya. Seusai salat dia merasa lapar baru menyadari di atas meja kerja ada ransum makanan. Tadi istrinya dan keluarga membawakannya banyak makanan dan masakan untuk Arif selama di penjara. Arif Suud menikmati makanan dengan rasa kelu. Masih terbayang-bayang saat dia makan bersama keluarga. Tapi, sudahlah, bukankah ini bukan pertama kali dia makan di dalam sel? Sebelum dijatuhi hukuman, dan masih mendekam di bui, menunggu sidang dia sudah menikmati ransum bui. Ransum yang sama seperti penghuni lainnya, sehingga dia murus-murus.
“Nanti di penjara Abi akan mendapat ransum khusus. Jika Abi tidak selera dengan ransum di sana, bisa pesan makanan di luar. Nanti ada orang yang akan membantu Abi.”
“Iya.”
“Aku juga nanti kalau besuk akan membawakan pepes ikan mas kesukaan Abi.”