Arif Suud Utama memberikan pelajaran mengaji kepada para narapidana. Seorang sipir mengumumkan adanya kegiatan mengaji di lapas, dan para napi yang beragam muslim diimbau untuk turut. Kurdi wara-wara tentang program belajar ngaji pada seorang kiai yang mantan bupati. Ternyata banyak yang berminat dan mengikuti kegiatan belajar ngaji yang dilakukan setelah waktu bada isya.
Beberapa napi ada yang tidak bisa atau belum lancar membaca kitab. Arif Suud lalu memberikan pelajaran membaca kitab. Setiap seminggu sekali Arif Suud memberikan pelajaran mengaji. Kurdi yang menemani. Kurdi yang belum lancar mengaji pun ikut belajar.
Seorang napi bernama Firman pun membantu Arif Suud. Firman yang pernah mondok pun merasa senang karena kehadiran Arif Suud yang seorang kyai. Firman berharap mendapat ilmu dari Arif Suud. Sekarang selain Kurdi yang mengunjungi selnya, ada Firman yang datang malam itu. Firman seorang pemuda bertubuh kecil tapi berparas tampan.
Malam itu kebetulan Arif Suud sedang tidak enak badan sehingga pelajaran mengaji tidak diadakan dan Firman mendatangi selnya.
“Saya menjenguk Bapak Yai. Kata Kurdi Bapak Yai sedang tidak enak badan.”
“Saya sedang sakit gigi. Jadi tidak enak saja mulut saat mengajar ngaji.”
“Gigi Bapak bengkak atau gusinya bagaimana?”
“Sepertinya ada gigi yang goyang. Ah, sudahlah nanti saya akan izin periksa ke dokter gigi.”
“Semoga segera sembuh Pak Yai.”
“Kami jamaah menunggu kehadiran Yai.”
Ada yang berdesir ketika Kurdi dan Firman mengatakan hal itu. Ternyata benar kata istrinya, bahwa keberadaan sebagai kia masih memiliki kekuatan di sini. Sepengalamannya selama menghuni, dirinya tidak pernah dimusuhi oleh napi. Sepertinya para napi menyukainya. Tentu saja, bukankah dirinya mantan bupati dan juga seorang kia.
“Saya ke sini ingin pinjam kitab. Apakah Pak Yai memiliki kitab itu?”
“Kitab apa yang kau cari?”
Firman menyebutkan nama kitab.
“Kebetulan saya ada. Tapi kamu cari sendiri saja,” ujar si Kiai.
Firman mencari kitab di rak buku dekat meja. Setelah menemukan kitab dia pamit kembali ke selnya. Sepeninggal Firman, Arif Suud merasakan giginya kembali kumat. Sialan tadi sudah agak enakan, menapa sekarang kambuh lagi?
Arif Suud mengambil obat yang dibelikan Kurdi di apotek. Meminumnya. Ternyata khasiat obat itu cespleng, sakit giginya agak berkurang.
***
“Enggak ikut ngaji, Jun?” Malam itu, bada isya, Firman mengajak Juned mengaji bersama. Pak Yai alias Arif Suud Utama sudah sembuh dari sakit giginya, dan kembali mengajar ngaji.
Juned tempat satu sel dengan Firman. Juned di penjara karena terlibat kasus pencurian dengan kekerasan. Semoga dengan ikut mengaji Juned akan diampuni dosa-dosa fan tidak berkelakuan buruk lagi, pikir Firman. Juned cuek, tidak menanggapi ajakan Firman. Firman kembali mengajak Juned untuk pergi mengaji, hal ini membuat Juned marah. Juned memandang Firman dengan sinis dan mengolok-olok.
“Ngaji? Ngapain ngaji sama mantan koruptor,” ejek Juned.
“Eh dia bukan sembarang mantan koruptor. Dia juga kiai,” bela Firman.
“Justru itu, kiai kok malah korupsi. Dosanya dobel itu. Umara juga ulama yang korupsi. Apa dia kagak mikir karena perbuatannya banyak rakyat yang susah. Orang miskin itu mendapat bantuan sudah sengat senang. He, malah ditilep. Kamu pikir kalau satu paket ditilep harga 10 ribu, berapa duit yang ngalir ke kantong dia.”
“Pak Yai sudah insyaf dan merasa bersalah."
“Allah jangan percaya pada kapok lombok.”
“Sudahlah kalau enggak mau ngaji enggak usah ngomong ke mana-mana, ngelantur.”
“Kamu pasti belain dia kan karena mantan pejabat. Walaupun aku kere tapi aku kagak sudi jadi penjilat. Cuih!”
“Siapa yang penjilat?!”
“Mana ada maling ngaku, kalau ngaku penjara sudah penuh dong?”
“Banyak bacot!” Firman membawa marah meninggalkan sel, meninggalkan Juned, salah satu teman satu sel yang dibencinya. Firman melangkah, menyusuri lorong menuju masjid penjara, tempat Arif Suud Utama mengajar mengaji.
***
“Bagaimana kondisi si Arif?” Pertanyaan lirih dari bibir Suparno ketika melihat Suparni, si istri terlihat muram sepulang membesuk anak mereka. Suparno memegang bahu si istri, dibimbingnya lembut untuk duduk di kursi. Suparno juga mengambilkan segelas air putih hangat dan diberikan pada istri terkasih. Suparni mereguk dengan perlahan, hanya benar-benar seteguk, kemudian gelas diletakkan di atas meja teras. Angin malam berembus, menebarkan wangi bunga kemuning yang sedang berbunga. Serumpun bunga kemuning dalam pot terlihat segar, namun tidak dengan diriku, Suparno mengeluh. Oh, seandainya saja wangi bunga kemuning bisa menghapus aroma busuk yang kadung menghuni sudut hatinya, gara-gara ulah seseorang yang ketika kecil dulu di timang, tapi ketika si kecil telah dewasa, malah menorehkan luka. Oh.
"Bagaimana kondisi anak kita, Bu? Dia baik-baik saja?" suaranya menggetar, betapa dia tak bisa membenci. Bagaimananapun, dia anakku, tetap anakku, meskipun dia telah berbuat keliru.
“Arif sehat. Tapi terlihat kurus, Pak, " suara itu juga gemetar, mengalirkan aroma duka. "Aku jadi sedih, Pak.“
“Apakah dia menanyakanku, Bu?”
“Tentu saja. Aku bilang bapak tidak bisa datang karena ada urusan.”
“Mengapa kau tidak bilang sejujurnya, Bu?”
“Kadang kita berbohong untuk kebaikan, Pak. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa dia semakin stres. Aku kasihan melihatnya yang harus tinggal sementara waktu di tempat yang tidak bebas. Meskipun dia mendapatkan sel khusus dan fasilitas istimewa tapi tetap saja namanya hidup di bui.”
“Berapa bayar kamar khusus dan perlakuan istimewa?”
“Si Tum yang mengurusnya, Pak. Semua demi kebaikan Arif. Tak mungkin kan dia tinggal dengan napi kelas comberan. Anak kita mantan pejabat.”
“Mengapa Ibu kemarin tidak menasihati Tumi dan Arif agar tidak melakukan kebodohan lagi?”
“Kebodohan apa sih, Pak?”
“Dengan menyuap atau membayar kepala lapas untuk mendapatkan fasilitas, bukankah itu sebuah kebodohan, mengulang lagi kesalahan yang sama.”
“Bapak, zaman sekarang, mana mungkin kita dapat sel dan perlakuan istimewa kalau kita tidak keluar uang? Bapak pura-pura tidak tahu mental pejabat sekarang. Punya jabatan dimanfaatkan cari uang meskipun melanggar hukum.”
“Dan salah satu pejabat itu adalah anakku.”
“Serba salah, Pak. Lagi-lagi obrolan kita sampai ke Arif.”
“Memang kenyataannya begitu, Bu.”
“Arif anak kita tersayang, Pak. Arif layak mendapatkan keistimewaan, aku tidak mau melihat dia sakit.”