BAB SEMBILAN
“Abah, ada kabar baik. Si Tumi akan jadi bupati.”
“Baru calon, Mi.”
“Abah tahu dari mana, perasaan Umi belum cerita.”
“Tumi kemarin menemuiku, Mi. Aku memberi wejangan agar dia berpikir lagi. Mengapa sih harus ikut-ikutan suaminya?”
“Mengapa Abah sepertinya tidak suka mendengar Tumi mau nyalon bupati?”
“Pertanyaan belum dijawab malah balik bertanya. Aneh.”
“Abah yang aneh. Di mana-mana ini kalau ada anak mau nyalon, orang tua senang dan mendukung. Nyalon kepala desa saja senang dan bangga, apalagi mau nyalon bupati.”
“Mengapa Umi terlihat sangat gembira mendengar kabar tentang Tumi?”
“Karena aku mengangankan punya anak punya jabatan tinggi. Apa Abah tidak bangga memiliki mantu bupati, kemudian sebentar lagi anak kita malah yang menjadi bupati?”
“Umi kok yakin sekali kalau Tumi bakal terpilih?”
“Karena itu sebagai suami mesti mendukungku, Abah. Aku telah menyanggupi akan menjadi tim sukses untuk Tumi. Sementara tugas Abah adalah mendoakan agar keinginan Tumi terwujud. Selain doa orang tua, Tumi juga butuh palilah dari Kiai Sepuh. Untuk urusan ini Bapak yang harus membawa Tumi sowan ke Kiai Sepuh.”
“Mengapa kita harus melibatkan Kiai Sepuh, Mi?”
“Ya harus. Orang-orang datang dari jauh untuk meminta karomah Kiai Sepuh, agar keinginan mereka nyalon DPR atau bupati, gubernur, bahkan presiden, mereka datang ke pesantren Kiai Sepuh. Apalagi kali ini anak kita, anak kandung kita yang akan nyalon, Abah. Kalau Tumi terpilih menjaid bupati, bukankah nama kita akan harum dicatat dalam sejarah. Punya menantu bupati dan sekaligus punya anak seorang bupati.”
***
Kabar bahwa Kiai Sepuh sakti telah terdengar semenjak Tumi masih kecil. Konon Kiai sepuh bisa membaca pikiran orang, bahkan meramal nasib dan masa depan orang. Kiai Sepuh bisa mengobati segala penyakit, penyakit wajar ataupun penyakit kiriman, yang dibikin para dukun, seperti teluh, gendam, pelet, ataupun santet.
Abah Tumi ketika masih bujang pernah mondok di pesantren milik Kiai Sepuh. Abah bercerita, suatu hari ia dan kawan-kawan-kawannya sedang menggarap kebun di belakang pesantren. Sundul, seorang teman Abah, kakinya terkena cangkul dan lukanya menganga, darah mengucur, bisa sembuh hanya karena diusap oleh ludah Kiai Sepuh dan mantra doa-doanya. Luka yang mengucurkan darah itu tiba-tiba rapat dan sembuh, tanpa meninggalkan bekas terkena sabetan cangkul.
Sementara suatu hari Abah melihat dengan kepala sendiri seorang pasien yang datang kesakitan karena perutnya melendung, konon diguna-guna. Kiai Sepuh berhasil mengeluarkan benda tajam, silet dan beberapa beling kaca dari perut si pasien. Si pasien sembuh dan memberi Kyai Sepuh segenggam perhiasan emas tanda terima kasih. Kiai Sepuh memberikan emas-emas itu pada para santri ketika mereka menikah, meninggalkan pondok, dan membutuhkan modal usaha.
Konon doa Kiai Sepuh sangat mustajab. Tersebutlah seorang teman Abah yang sudah puluhan tahun menikah tapi belum dikarunia anak. Beragam ikhtiar dilakukan, berobat ke dokter, tabib, dan paranormal.
Abah mengajaknya sowan di hadapan Kiai Sepuh. Kiai Sepuh memberinya doa-doa, sebotol air putih, dan buah mengkudu yang ada di halaman belakang pesantren. “Buah mengkudu matang ini dibikin rujak dan dimakan pagi hari oleh kalian berdua sebelum sarapan. Sementara air putihnya diminum setelah bakda sembahyang. Jangan lupa kalian berdoa pada Allah agar kalian dikaruniai keturunan. Insya Allah.”
“Aamiin.”
“Jangan lupa memberi santunan pada anak-anak yatim piatu dan orang-orang yang hidup kekurangan. Undang mereka ke rumah kalian, jamu mereka dengan makanan terbaik, pakaian terbaik, dan beri uang secukupnya. Bersedekahlah dengan ikhlas seperti apabila kalian ngising, jangan diingat-ingat.”
“Baiklah, Kiai.”
Enam bulan kemudian dia sowan ke Kiai Sepuh dan mengabarkan istrinya telah hamil. Sebagai nazar ia memotong seekor kerbau jantan dan diberikan pada pesantren Kiai Sepuh.
Sementara Abah mendapatkan sejumlah uang dari sahabatnya tersebut, yang kemudian dibelikan beberapa kambing. Teman Abah ini memang seorang pengusaha makanan yang sukses. Sejak ia memiliki anak rezekinya berlipat. Restoran miliknya membuka cabang di beberapa kota bahkan lintas benua. “Ia mendapat karomah dari Kiai Sepuh, “ kata Abah.
Berkat menjadi santri pondok Kiai Sepuh, hidup Abah sukses dan makmur. Sebagai petani Abah memiliki sawah, kebun, tanah luas dan menghasilkan pundi-pundi uang. Keempat anak Abah disekolahkan hingga jenjang sarjana. Setelah lulus, semua anak Abah mendapat jodoh sepadan, dan berkarier cemerlang. Termasuk Tumi Nur Azizah.
Tumi yang sarjana hukum bekerja sebagai HRD di perusahaan furniture ketika ia dilamar pemuda anak pejabat yang sekaligus pengusaha. Suami Tumi pun terpilih menjadi bupati. Muda, tampan, cerdas, berkedudukan, dan berdarah biru. Mereka dikarunia sepasang putra kembar.
Arif Suud Utama baru tiga tahun menjabat bupati untuk jabatan bupati kedua kalinya, saat siang terik di bulan Mei itu dia ditangkap KPK, ditengarai melakukan korupsi dan suap. Setelah melalui proses, dinyatakan bersalah, kemudian dicopot dari jabatan bupati dan harus mendekam di bui.
“Kau percaya padaku, kan, Dik?”
“Tentu, Bi. Kita suami-istri harus saling percaya.”
“Hanya keluargaku yang bisa membantuku. Beberapa tahun setelah menjalani masa tahanan, aku bisa mendapatkan remisi, dan kemudian segera keluar dari tempat busuk ini. Kau mau membantuku, kan, Dik?”
“Apa yang bisa kulakukan, Bi?”
“Aku ingin kau mencalonkan diri sebagai bupati, Dik Tumi. Aku masih memiliki orang-orang kuat yang bisa menolong kita.”
***
Tumi manut. Tumi mencalonkan diri sebagai bupati. Selain mengandalkan tim sukses, Tumi juga meminta izin dan restu orang tua. Bu Nyai sangat antusias dan mendukung Tumi. Sementara Abah terlihat setengah hati saat Tumi menemui dan memohon doa restu.
Abah terlihat setengah hati melihat kegigihan putrinya mencalonkan diri sebagai bupati. “Apakah kau yakin dengan pilihanmu, Tum? Apakah kau sanggup mengemban amanah sebagai pemimpin, Tum?”
"Insya Allah, Abah.”
“Menjadi pemimpin itu bukan hal yang mudah. Jadi kepala desa saja banyak sekali urusan yang ditangani. Kewajiban dan pertanggungjawaban pada warga masyarakat, keluarga, juga pada Allah. Apakah dirimu benar-benar telah siap menerima amanah besar nanti?”
“Mengapa Abah meragukan kemampuanku. Selama ini aku banyak ikut organisasi. Aku juga pernah menjadi istri seorang bupati. Ini salah satu pengalaman berhargaku untuk menjalankan tugas sebagai bupati kelak. Aku yakin akan mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai pemimpin tanpa meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu. Malah Abi Arif yang mendorongku mencalonkan diri sebagai bupati. Apakah Abah tidak suka aku meneruskan keinginan suami?”
“Jujur Abah kecewa dengan suamimu. Mengapa dirinya tidak bisa mengemban amanah? Mengapa dia melakukan perilaku tercela yang mencemari nama keluarga? Abah tidak habis pikir.”
“Abi Arif dijahati oleh Sugriwo, Abah. Sugriwo yang mengusik kasus korupsi dulu sehingga Abi Arif terpaksa menyuap hakim. Tapi Kang malah terjebak. Abi Arif dijebak oleh skenario si Sugriwo. Berulang kali aku menceritakan pada Abah. Abah mengapa sih tidak percaya?”