Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #10

Chapter #10 BAB SEPULUH

 BAB SEPULUH

“Kau kenakan pakaian hijabmu yang paling mahal dan indah. Kau juga dandan secantik-cantiknya, Ndhuk. Besok lusa abahmu akan mengantarmu sowan ke Kiai Sepuh.” Bada asar itu Bu Nyai menelepon Tumi, memberi berita baik.

“Umi berhasil merayu Abah?” suara Tumi tidak bisa menyembunyikan rasa riang. Matur nuwun, Umi.

“Abahmu hanya manut pada umimu ini, " suara dari seberang itu menyiratkan rasa bangga dan kasih seorang istri yang sekaligus sebagai ibu yang sarat sayang. "Nanti kalau kau bertemu abahmu, jangan melawan. Kalau abahmu ngomong tentang suamimu, iya-iya kan saja, Ndhuk. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anaknya.”

“Iya, Mi. Besok aku bawain apa ke pondok Kiai Sepuh?”

“Bawakan bahan makanan dan hasil kebun, nanti Umi semua yang urus. Bisa gunakan mobil abahmu, biar si Mukidi yang nyetir. Perjalanan sepuluh jam pulang pergi lumayan capai, Tum.”

“Umi ikut, kan?”

“Tentu. Umi kan tim suksesmu, Ndhuk.”

“Aku tenang kalau Umi ikut, karena nanti kalau aku disalahin Abah, Umi bisa membelaku.”

                                                             ***

Pagi itu mereka berangkat naik mobil menuju pondok pesantren Kiai Sepuh. Sepanjang perjalanan Abah berkisah tentang pengalamannya mondok di pesantren milik Kiai Sepuh. Belasan tahun Abah mondok di sana, belasan tahun menuntut ilmu dan agama, sehingga ketika lulus Abah memilih pulang kampung. Suatu hari Abah sebagai sudah menjelma seorang ustaz muda nan tampan sedang bermain ke rumah temannya, mereka pergi membeli minuman, ketika Abah melihat Umi. Umi yang anak seorang kiai tapi perilakunya tomboi. Entah daya pikat apa yang dimiliki Umi, sehingga pertama kali melihatnya, Abah jatuh cinta dan kemudian melamarnya. Abah tahu kalau Umi anak pemilik pondok pesantren di kota kelahirannya, tapi Abah tidak pernah membayangkan akan menjadi menantu pemilik pondok tersebut. Abah kemudian tinggal di pondok pesantren dan membantu keberadaan pondok tersebut. Abah melanjutkan kuliah pendidikan keguruan, kemudian Abah menjadi guru sekaligus kepala sekolah di pondok pesantren Alkar. Sementara Umi yang anak pemilik pondok sekarang bergelar Bu Nyai. Bu Nyai yang 'memiliki' otoritas dan kebijakan segala hal yang terjadi di pondok pesantren. Bu Nyai yang memiliki power di atas Abah, tapi Abah nrima dan tidak mempersoalkannya. Abah memang lebih suka dan condong sebagai seorang pendidik, daripada seorang pemimpin pondok pesantren. Bu Nyai pun menghargai keberadaan sang suami.

“Sepertinya baru kemarin aku pergi ke pesantren ini. Padahal kenyataannya, sudah berpuluh tahun terlewati. Dulu aku masih bujang, sekarang sudah beristri, beranak pinak, bahkan bercucu. Oh, betapa waktu terasa cepat sekali berputar.”

“Iya, Abah. Sepertinya baru kemarin, aku melahirkan Tumi, dua tahun kemudian menyusul Padmi, lalu Jami. Sekarang Tumi anak sulung kita sudah memberi tiga cucu. Bahkan Dion, cucu terbesar kita sebentar lagi akan menikah. Jika Dion nanti memiliki anak, berarti kita sudah punya cicit.”

“Semuanya harus disyukuri. Tidak ada yang lebih membahagiakan kita memiliki keturunan yang saleh dan salehah.”

Tumi mendengarkan cerita Abah dan Umi, meskipun kisah tersebut diulang-ulang, tapi bukankah kebiasaan orang tua memang begitu. Apa salahnya membuat hati orang tua senang, karena ini merupakan pahala. Dalam perjalanan, beberapa kali Arif Suud menelepon Tumi. Tentu saja Tumi menceritakan kalau hari ini dia dan kedua ornag tuanya berniat sowan ke Kiai Sepuh.

Si suami berpesan beberapa hal yang harus dilakukan Tumi di hadapan Kiai Sepuh. Tumi mengiyakan. Pesan Arif Suud hampir sama dengan pesan Abah dan Umi. Tumi tidak boleh mengeluh atau bersungut-sungut di depan Kiai Sepuh. Kiai Sepuh konon bisa membaca isi hati seseorang. Tumi merasa berdebar-debar, karena seumur-umur dirinya hanya mendengar kisah tentang Kiai Sepuh dari Abah, Umi, dan sang suami.

“Nanti kalau bertemu Kiai Sepuh, kau bersikap tawadu,” pesan Abah.

“Iya, Abah.”

“Jangan berani memandangi wajah Kiai Sepuh.”

“Iya, Abah.”

“Jangan gerundel kalau nanti antre karena saking banyaknya tamu di sana.”

“Iya, Abah.”

“Apakah Abah tidak bisa mendapatkan dispensasi, atau keistimewaan, Abah kan santri kinasihnya?” Bu Nyai tiba-tiba menyela. Sontak terlihat Abah yang menghela napas panjang berulang-ulang. Abah setelah selesai mengeluarkan beban, berkata dengan suara lirih tapi pasti.

“Aku tidak ingin menggunakannya jika pun aku diberi kelonggaran itu. Hari ini kita datang, seperti dulu saat kita datang dan mengantar Arif untuk mohon restu Kiai Sepuh. Tidak ada bedanya antara Arif menantuku, atau Tumi anak kandungku. “

“Iya, Abah.” Tumi mengiyakan.

“Umi juga mengerti Abah. Maafkan kalau Umi tadi seperti memaksa Abah.” Bu Nyai merasa menyesal. Sesaat suasana terlihat hening, hingga Abah kemudian berkata, ditujukan untuk si istri.

“Tidak mengapa. Meskipun sudah puluhan tahun kita hidup bersama tapi memang bukan berarti kita bisa memahami semua sifat diri kita masing-masing.”

Mobil masih melaju. Supir mengendarai mobil dengan tenang dan hati-hati. Abah mendudukkan punggungnya pada kursi, sejenak melepas rasa pegal. Abah melirik arloji di pergelangan tangan.

“Mas Mukidi tolong nanti kalau di depan ada masjid, kita berhenti dulu, Salat Asar sekalian beristirahat.”

Supir mengiyakan. Tidak lama kemudian, sekitar sepuluh menit, mobil memasuki halaman luas sebuah masjid yang teduh. Abah, Umi, Tumi, dan sang supir turun, salat kemudian sejenak beristirahat.     

                                                                  ***

Abah, Umi, dan Tumi selesai salat. Abah pamit hendak ke toilet, ketika Abah melewati halaman belakang masjid dan di sana ramai orang melihat atraksi yang menyedihkan, seorang pemuda belia, berkaus buluk di didudukkan di lantai, tubuhnya diikat, di bawah tiang kotak amal dan sedang dilihat dan jadi tontonan orang.

Astagfirullaah, ada apa ini, Mas?!”

“Dia pencuri, Pak, " ujar seorang pemuda, seorang jamaah masjid. "Tertangkap basah nyuri ciki-ciki di toko samping masjid. Tadi siang kami menangkapnya dan pengurus masjid menghukumnya dijemur di sini, biar kapok tak mencuri lagi!”

“Bikin rusuh masjid dia, Pak. Seperti anak punk suka bikin rusuh,” ujar seorang pemuda berpeci, berkulit gelap, bertahi lalat di bibir.

"Astagfirullah, mengapa kalian tega seperti ini. Di mana rumah pengurus masjid ini?”

“Belakang masjid ini, Pak,” jelas seorang lelaki setengah umur yang baru tiba di lokasi di mana si pemuda dihukum. Si pemuda berkaus buluk terlihat lemah, mungkin kelaparan?

“Kalian lepaskan dia, lepaskan, jangan berperilaku kejam pada orang,” ujar Abah usai bertemu si pengurus masjid, yang juga tukang azan di masjid.

“Dia bikin susah, Pak. Sering mencuri. Ketika ada nasi gratis Jumat berkah dia sering mengambil lebi dari satu dan memasukkannya ke dalam tasnya,” jelas si pengurus masjid, yang ternyata seorang marbut.

“Mungkin dia lapar. Tak ada alasan kalau dia mencuri. Jika pun dia mengambil, hitung-hitung buat ladang kita amal,” Abah memberi tausiah.

"Dia juga kalau ke masjid tidak pernah salat. Hanya numpang tidur dan kencing. Bikin masjid kotor,” si marbut masih ngedumel.

“Kalau salat atau tidak urusan kita pada Allah, bukan hak kita berlaku zalim. Jangan berlaku zalim pada sesama muslim,” nasihat Abah.

“Apakah saya harus melepaskan dia? Apakah bapak bisa menjamin dia tidak maling lagi?” sinis suara si marbut. Orang-orang semakin tambah berdatangan.

“Insyaalah. Lepaskan dia. Kalau saya harus menebus dia agar bisa bebas, saya siap memberikan uang tebusan. Ini kartu saya,” Abah memberikan nama dan si marbut membaca sekilas, kemudian buru-buru mencium tangan Abah sembari meminta maaf.

“Maaf saya tidak tahu kalau bapak kiai pemilik pondok pesantren,” suarannya berubah lembut dan berhias rasa sesal. Abah hanya tersenyum lembut dan menepuk si marbut. "Perlakukanlah saudaramu yang sesama muslim dengan baik, Nak."

Si pengurus masjid melepaskan. Si bocah yang ditali di tiang dibebaskan. Abah menyalami, memeluknya, dan memberikan segenggam uang.” Kau belilah makanan kalau lapar. Kau gunakan uang untuk usaha, Janganlah mencuri kalau lapar. Kalau lapar kau lebih bagus minta di rumah makan atau di pasar-pasar.”

“Terima kasih, Pak, “ si bocah berkaus buluk berlalu. Orang-orang berlalu. Diam-diam Bu Nyai dan Tumi ikut menyaksikan ketika si Abah berdebat dengan si pengurus masjid. Setelah mobil keluar dari masjid dan kembali berjalan, Abah mengeluh. “Mengapa orang membangun masjid, berlomba bermegah-megahan, tapi membiarkan orang di sekitar mereka masih ada yang kelaparan. Masjid bukan tempat salat saja, masjid juga bisa dijadikan tempat untuk berkegiatan sosial, seperti memberikan bantuan untuk warga miskin sekitar. Untuk apa mengumpulkan dana yang ditabung bermilyar tapi tidak beramal

“Aku dan Umi tadi melihat yang dilakukan Abah.”

“Aku paling tidak bisa melihat kenistaan di sekitar kita. Aku pernah mengalami masa-masa sulit, sebagai anak orang miskin. Aku pernah kelaparan. Beruntung aku kemudian dititipkan di pondok, meskipun saban hari makan dengan tahu, tempe, dan terong, tapi lebih kami tidak pernah kelaparan. Tetapi ketika kecil sebelum mondok aku pernah merasakan kelaparan karena tidak memiliki orang tua. Aku sangat kisah bocah dulu, mungkin saja dia anak yatim, atau anak terlantar. Mungkin dia mencuri karena kelaparan. Mengapa pengurus menjadi tidak punya pikiran untuk memberinya makan barang sepiring dua piring, hitung-hitung sebagai amal.

Lihat selengkapnya