Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #11

Chapter #11 BAB SEBELAS

 

BAB SEBELAS

Malam Jumat Legi itu Bu Nyai Maisaroh mengumpulkan seluruh santri di pendapa. Tumi Nur Aizah berada di sisi Bu Nyai. Seorang santri senior membuka pengajian dengan bacaan kitab suci, kemudian tiba acara pokok. Bu Nyai memimpin pengajian dan mengabarkan berita perihal pencalonan putrinya sebagai calon bupati.

“Alhamdulillah, pada kesempatan yang berbahagia, di bulan Safar ini, ada kabar membahagiakan untuk kalian semua. Putriku, Hajjah Tumi Nur Azizah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk memimpin kota ini. Hajjah Tumi akan mencalonkan diri sebagai calon bupati pada pilkada mendatang.

Hajjah Tumi mendapat amanah untuk memimpin umat, untuk hal yang membawa kebaikan, saya ingin kalian mendukungnya. Nanti di pondok akan digelar kegiatan-kegiatan untuk mensosialisasikan pilkada. Santri yang telah mempunyai hak pilih boleh menggunakannya untuk kemaslahatan bersama, karena satu hak suara kalian akan sangat penting demi masa depan kota ini. Hajjah Tumi telah mendapat amanat dari para kiai. Semoga keinginan mulia terwujud. Dan dikabulkan oleh Allah Swt.”

Kabar perihal Tumi Nur Azizah yang akan mencalonkan sebagai bupati pun merebak di lingkungan keluarga. Adik-adik mantan bupati pun mendapat undangan untuk syukuran malam itu. Sri, Tami, Laila, Padmi, dan Jami sangat gembira ketika mengetahui kabar perihal saudara mereka yang akan bertaruh sebagai pemimpin daerah.

Mungkin hanya Seruti yang terlihat merasa biasa saja saat dia mendengar kabar itu dari Mbak Sri. Mbak Tami juga yang mengurusi hidangan dan ubarampe yang akan digelar di sebuah hotel. Tumi Nur Azizah mengundang para pejabat yang pernah berhutang budi pada suaminya. Para pejabat yang masih bisa digunakan untuk mewujudkan impiannya.

Seruti meletakkan telepon genggamnya, ketika Pandu, si suami menatapnya dalam-dalam. “Mengapa? Ada apa, Dik?”

“Ada undangan dari Ibu, Mas. Besok pukul tujuh di Hotel Antika.”

“Siapa yang ulang tahun?”

“Bukan ulang tahun, Mas. Tapi syukuran untuk Dik Tumi yang akan mencalonkan diri sebagai bupati.”

“Jadi kakak iparmu serius mencalonkan diri?”

“Tentu saja. Mas seperti tidak tahu watak Dik Tumi saja. Dia lebih berambisi daripada Mas Arif. Aku kadang berpikir jika selama menjabat bupati Mas Arif seperti disetir....”

“Apakah kau tidak suka adik iparmu ingin menjadi orang nomor satu di kota ini.”

“Bukan perihal suka atau tidak suka, Mas. Mengapa dia sudah berpikir sejauh ini padahal suaminya masih berada di penjara dan...”

“Apakah kau berpikir kalau Dik Tumi bergerak tanpa Mas Arif tahu?”

“Entahlah. Nanti aku akan bertanya pada Ibu.”

“Terpenting kita datang, entah kau mau mendukung atau tidak, tapi bagaimana pun aku tak ingin ada suara-suara buruk tentang kita di mata keluarga besar.”

“Iya, Mas.”

“Eh, ayo kita makan. Gara-gara ada telepon dari Ibu kita lupa sedang makan. Aku tadi mencoba bikin semur tahu. Eh semur itu pakai lada kan, tidak perlu pakai ketumbar.”

“Iya, pakai merica saja boleh. Tapi kalau mau ditambah ketumbar bubuk juga tidak apa.”

“Pakai santan atau cukup air putih?”

“Pakai air putih saja sudah enak kok.”

Mereka menuju meja makan. Terhidang menu makam malam. Suti mencicipi semur buatan suaminya. Seruti memberi pujian kalau masakan sang suami enak. Si suami merasa bangga dan serasa terbang melayang.

                                                        ***

Perhelatan berjalan meriah. Untuk puncak acara, Bu Nyai Maisaroh mengumumkan tim sukses kampanye yang akan segera disusun. Beberapa pejabat yang pernah menjabat di masa bupati Arif Suud Utama berkuasa pun mengiyakan dengan suka cita ketika ditunjuk. Mereka tentu merasa pernah ditolong oleh Arif Suud Utama, dan sekarang saatnya timbal balik, menolong si mantan bupati yang hendak mencalonkan istrinya menjadi bupati.

“Saya mendapatkan amanat ini dari suami saya, Mas Arif yang sekarang tengah berada di sebuah tempat yang sebenarnya sangat tidak layak untuk beliau. Namun suami saya dengan ikhlas menerima cobaan ini. Seperti suami saya ikhlas menerima hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

Kasus yang menimpa suami saya adalah kriminalisasi politik yang dilakukan oleh seseorang, seseorang yang pernah menjadi lawan politik suami saya, yang tanpa perlu menyebutkan identitasnya kalian pasti tahu. Saya kemarin sempat menolak ketika suami meminta saya mencalonkan diri. Saya gamang, saya berpikir apakah saya layak menjadi pemimpin? Apakah saya mampu nanti menjabat, memegang amanat dari rakyat yang memilih saya.

Tetapi setelah saya berkonsultasi dengan keluarga, dengan ibu saya, dengan adik-adik saya dan keluarga besar, mereka semua sangat mendukung. Saya sampai meneteskan air mata saking terharu. Saya lebih yakin ketika berhari-hari saya salat istikharah, saya bermunajat pada Allah.

Ternyata Allah memberi petunjuk. Saya harus memenuhi amanat yang diberikan oleh suami saya, sebuah amanat sebagai rasa bersalah dan menyesal suami saya tidak bisa melanjutkan tugasnya sebagai bupati pilihan rakyat. Insya Allah kelak ketika saya menjabat sebagai bupati, saya akan bertindak amanat, semua demi kesejahteraan rakyat.”

Para hadirin, tim sukses, keluarga besar, termasuk MC dan biduan bertepuk tangan. Beberapa orang mengusung tumpeng nasi kuning dalam tampah besar. Tumi Nur Azizah si calon bupati meniup lilin dan memotong nasi kuning, potongan diberikan pada Bu Nyai Maisaroh. Kemudian Bu Nyai memberikan sambutan tentang putri kesayangannya.

“Dengan mengucapkan syukur pada Allah Swt, bahwa pada hari ini putri saya, Hajjah Tumi Nur Azizah mengumumkan pencalonannya sebagai bupati. Saya memohon dukungan adik, mbak, kakak, mas, ibu, bapak sekalian. Semoga putri saya bisa mewujudkan keinginannya yang mulia. Keinginan untuk berbakti pada masyarakat. Semoga kelak ketika putri saya diberi amanat untuk memimpin daerah ini, dia bisa menjalankannya dengan baik. Putri saya berjanji, jika kelak diberi amanat memimpin, dia akan berjuang keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Supaya masyarakat hidup lebih baik dan sejahtera atas rahmat Gusti Allah. Matur nuwun.”

Lagi-lagi para tamu bertepuk tangan meriah dan bersuka cita. Meskipun lain di bibir lain di hati. Seruti sedang berada di toilet ketika mendengar bisik-bisik sirik ibu-ibu perihal pencalonan kakaknya

“Idih, kagak tahu malu, suami di penjara malah bikin acara di hotel.”

Hush, nanti ada yang dengar.”

“Kalau bukan karena suami ogah datang ke sini.”

“Suami situ kan terpilih jadi tim sukses yang berarti dapat cuan.”

“Suami situ juga sama. Perkara cuan sih beda, kan enak siapa yang menolak. Perkara dia terpilih apa kagak utusan belakangan kan.”

Obrolan mereka terhenti ketika Seruti keluar dari kamar mandi. Titi sengaja berjalan cepat-cepat. Untung saja dua istri pejabat yang ngrasani tidak mengenal Seruti sebagai ipar dari Tumi Nur Azizah.

Lihat selengkapnya