BAB DUA BELAS
Hari jelang malam ketika mobil mewah memasuki halaman rumah dinas bupati. Tri Sugriwo pulang, dan Jeng Atik menyambut kepulangan suaminya di depan pintu. Jeng Atik berpakaian rapi dan wangi. Tri Sugriwo mengulurkan tangan, Jeng Atik mencium mesra tangan suaminya, kemudian mereka melangkah memasuki rumah.
“Dua hari saya tunggu kepulangan, Kangmas. Baru hari ini Kangmas benar-benar pulang.”
“Aku sekarang sudah jadi bupati, Jeng. Kesibukanku luar biasa padat. Aku membenahi PR yang ditinggalkan oleh si Bupati Tua, bupati yang tidak becus mengurus pembangunan kota ini. Beberapa hari aku mengadakan rapat dengan perencana pembangunan, kami akan berupaya menarik investor sebanyak-banyaknya agar pembangunan kota ini semakin maju.”
“Aku salut pada pemikiran Kangmas. Pada sisi lainnya aku khawatir kalau Kangmas tidak pulang, aku kepikiran bagaimana Kangmas makan dan juga minum obat.”
“Jangan terlalu mengkhawatirkanku, Jeng. Aku punya ajudan yang sudah mengatur jadwalku, termasuk kapan aku harus minum obat agar asam lambungku tidak kumat, atau kolesterolku stabil.”
“Itu yang selalu kupikirkan. Meskipun Kangmas punya ajudan dan orang kepercayaan, tapi tugas mengatur pola makan dan urusan minum obat itu tanggung jawabku, Kangmas. Aku tidak ingin hal buruk terjadi pada Kangmas.”
“Haha, tidak akan. Aku sudah punya dokter pribadi, selama aku menuruti nasihatnya aku bisa hidup seratus tahun lagi.”
“Aku suka pada semangat dan optimis yang dimiliki Kangmas. Mumpung sudah pulang ayo kita makan bersama, saya sudah memasak sup buntut sapi kesukaan Kangmas.”
Mereka menikmati santap malam seraya ngobrol. Bupati Tri Sugriwo menceritakan perkembangan politik di kota yang dijabatnya. Tentang warga yang mengeluh banyak jalan raya yang rusak, juga rencana revitalisasi stadion.
“Ada juga berita yang lucu, Jeng. Perihal Bupati Tua.”
“Jangan katakan kalau Kangmas baru saja menengoknya di penjara.”
“Cuih, siapa yang sudi menengoknya. Ini tentang istri Bupati Tua yang kabarnya akan mencalonkan diri sebagai bupati di pilkada mendatang. Aku kaget, Jeng, ternyata Bupati Tua masih memiliki ambisi untuk menjabat bupati meskipun lewat tangan istrinya. Aku yakin, dialah yang ada dibalik rencana si emak-emak itu hendak mencalonkan diri. Dan aku akan berupaya mencegah hal itu terjadi, karena jabatan bupati tahun depan telah kukunci!”
“Kangmas juga berencana mencalonkan diri lagi di pilkada mendatang?”
“Jelaslah, Jeng. Sekarang aku menjabat bupati kan meneruskan periode jabatan si Bupati Tua. Aku ingin menjadi bupati lagi di periode depan nanti. Agar modal kita balik dan dapat untung besar.”
“Aku sangat setuju, Kangmas. Aku akan mendukung sekuat tenaga dan upaya, agar Kangmas nanti terpilih lagi. Oya, apakah Kangmas sudah punya cara untuk menyingkirkan istri Bupati Tua agar tidak terpilih.”
“Tidak perlu khawatir. Aku sudah punya tim sukses yang punya akal seribu cara untuk menebas ambisi si emak-emak itu. Ngimpinya terlalu ketinggian, tidurnya terlalu miring si istri Bupati Tua. Juga yang paling penting kita masih punya banyak uang untuk memuluskan rencanaku ke depan. Bagaimana, Jeng? Bangga kan dirimu memiliki suami yang cerdas seperti aku?”
“Tentu saja, Kangmas.”
***
Buldani sedang mengetik naskah cerpen, ketika Ilham nyelonong memasuki kamarnya, sebuah kamar kos yang merangkap ruang kerja juga tempat tidurnya.
“Ada yang mencari Mas!” lapor Ilham, bocah ceking yang sedang getol ingin bisa menulis cerpen. Sudah sebulan dia nyantrik di kosan Buldani.
“Siapa, Ham?”
“Belum pernah lihat orangnya, Mas.”
Buldani buru-buru meraih celana panjang, memakainya tergesa-gesa, menyambar kaus lalu tanpa menyisir rambutnya dia menemui seseorang yang mencarinya. Di ruang tamu sudah ada seorang pemuda perlente duduk tegak dan menunggunya. Begitu melihat Buldani si pemuda bangkit dan menyalaminya, dan berkata, "Mas Buldani?"
“Mas mencari saya?” tanya Buldani to the point.
“Iya, Mas. Nama saya Satrio Wibawa. Saya tahu Mas Buldani dari Ubed.”
“Ubed EC.”
“Benar, Mas. Ubed bilang Mas Buldani jago tulis, dan saya datang ke sini ada hubungannya dengan tulis menulis.”
Buldani duduk di kursi dan mendengarkan omongan tamunya yang pada intinya menawarkan sebuah pekerjaan atau proyek menulis untuk Buldani.
“Kami sedang mencari seorang penulis untuk menuliskan biografi tokoh. Apakah Mas Bul bisa menulis biografi?”
“Ya”
“Pilihan saya datang ke sini semoga tidak salah.”
“Siapa yang hendak dituliskan biografinya?”
“Begini, Mas. Saya salah satu tim sukses calon bupati. Kami membutuhkan penulis untuk menuliskan biografi calon bupati yang kami usung.”
“Ya.”
“Apakah Mas Buldani bersedia menuliskan?”
“Siapa nama tokoh tersebut?”
“Tumi Nur Azizah.”
“Saya belum pernah mendengarnya. Apakah politikus baru?”
“Beliau istri bupati Arif Suud Utama. Mbak Tumi mencalonkan diri sebagai bupati di pilkada mendatang.”
“Oh istrinya mantan bupati yang dipenjara kasus koruptor itu?”
“Maaf, sebenarnya beliau tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan, Mas.”
“Oya?”
“Begitu yang saya dengar dari Mbak Tumi.”
“Tapi buktinya di pengadilan dia dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman di penjara.”
“Entah kalau hal itu, Mas. Zaman sekarang hukum pun bisa dibeli.”
“Ya, ya, ya. Kau datang ke sini bukan untuk berdebat, kan?”
“Maaf, kalau ngelantur ke mana-mana, Mas. Kembali ke pokok maksud kedatangan saya ke sini. Saya menawarkan Mas Buldani menuliskan biografi Mbak Tumi Nur Azizah. Apakah Mas bersedia?”