BAB TIGA BELAS
“Saya bersedia menuliskan biografi itu.” Buldani memberi keputusan.
“Alhamdulillah.” Satrio mengucapkan rasa syukur. Tidak sia-sia ia menunggu beberapa lama waktu. Pasti Tumi akan senang bila mendengar kabar ini.
“Kapan saya bisa bertemu dengan Mbak Tumi?” pertanyaan Buldani meluncur. Semakin dia segera bertemu, mungkin semakin baik. Buldani bisa segera tahu dan mengenal sosok Tumi. Buldani bisa segera tahu konsep dan gaya tulisan setelah dia riset ke tokoh yang akan ditulisnya. Dari sekadar bertemu dan ngobrol, Buldani akan bisa membaca karakter si tokoh yang kemudian akan dikawinkan dengan gaya penulisan yang paling pas.
“Saya akan membuat janji terlebih dulu, Mas. Nanti saya kabari,” janji Satrio. Buldani sepakat.
“Oya, sebelum saya mengerjakan kita membicarakan tentang kontrak berisi kesepakatan kerja sama, " Buldani menyatakan beberapa hal yang harus dilakukannya, seperti wawancara dengan, dan mengikuti kegiatan tokoh yang akan ditulisnya.
“Nanti saya sampaikan pesan Mas dan juga perihal honor, biar Mas nanti yang ngomong langsung saja pada Mbak Tumi Nur Azizah, " ujar Satrio. "Saya hanya utusan beliau, Mas."
Buldani setuju, menyalami Satrio yang kemudian pamit dan berlalu, menuruni tangga menuju tempat parkir kendaraan, sementara Buldan belok menuju bangunan di belakang Perpusda. Pukul 14.00 siang, jadwal Buldani mengajar kelas menulis.
***
Buldani menguak pintu aula, memasukinya, dan mengucap salam. Delapan orang peserta Kelas Menulis membalas salam. Mereka duduk lesehan di karpet. Di dalam aula sebenarnya tersedia kursi, tapi untuk pelatihan menulis, Buldani dan anak didiknya memilih lesehan, dengan duduk di karpet mereka lebih santai ketika belajar, entah membaca buku bersama, berlatih menulis, atau membedah naskah, atau diskusi.
Siang itu sebelum memulai mengajar, Buldani menyapu pandang delapan kepala yang berada di depannya, mereka duduk melingkar. Sebagian besar adalah peserta lama, dalam arti mereka mengikuti kelas menulis lebih dari dua bulan, berarti sekitar delapan kali pertemuan.
“Kawan-kawan sebelum saya melanjutkan mengajar, ada beberapa hal yang ingin saya katakan lagi perihal Kelas Menulis bersama komunitas AMJ yang saya ketuai. Ini berhubungan dengan kasus atau peristiwa yang kurang mengenakkan ketika tempo hari saya dan Adinda sempat war di WA karena perkara sepele sebenarnya. Si Adinda ---hari ini dia tidak masuk kelas—mungkin masih marah pada saya. Saya tekankan lagi, kalau saya tidak marah padanya, saya hanya menegurnya, karena dia tidak beretika. Bagaimana dia bisa mengundang narasumber tamu, seorang penyair, di jadwal saya mengajar, tanpa izin pada saya. Padahal saat itu, jelas-jelas di FB saya membuat pengumuman kalau hari Sabtu itu, saya akan mengisi kelas menulis, bahkan saya sudah menuliskan judul materi apa yang hendak saya sampaikan di kelas, eh tiba-tiba si Adinda nongol di status saya, dan koar-koar telah mengundang penyair Kelana Kata untuk menggantikan jadwal saya. Bagaimana saya kemudian tidak menegur kelancangannya?
Satu hal lagi yang kalian perlu ketahui bahwa kelas menulis yang diadakan di aula ini adalah mitra. Komunitas yang saya ketua bermitra dengan Perpusda untuk menyelenggarakan kelas menulis gratis. Jadi, kalau di luaran di Adinda menyebar gosip, dia bilang kalau si kepala Perpusda sudah ngizinin, atau dia bilang wong si kepala Perpusda saja tidak galak, tapi si Mas Buldani galak, halo di sini perlu saya tekankan lagi, camkan di kepala kalian, bahwa, saya sebagai ketua komunitas punya hak untuk membuat aturan di dalam komunitas.
Saya sebagai ketua komunitas bukan bawahan, bukan pegawai Perpusda, bukan karyawan, yang tunduk pada kepala Perpusda. Kami bermitra, dan kedudukan saya dan kepala Perpusda setara. Saya bukan bawahan apalagi gedibal. Saya seorang penulis lepas dan merdeka....”
***
“Apakah kau tidak salah dengar, Sat?”
“Sepertinya tidak, Mbak. Dia menyebutnya beberapa kali, bukan hanya sekali.”
“Ternyata mahal, ya. Kupikir hanya jutaan.”
“Dia bilang kalau kelasnya penulis nasional, bukan penulis lokal, Mbak.”
“Maksudnya bagaimana?”
“Seperti halnya penyanyi dangdut lokalan ternyata dunia penulis juga begitu. Mas Buldani cerita kalau karyanya sudah ratusan dimuat di media cetak nasional di Jakarta. Buldani juga kerap menjadi juara lomba menulis tingkat nasional. Jadi ya dia pasang tarif segitu, puluhan juta, untuk menulis biografi. Menurutnya tarif itu tarif lumrah seorang penulis nasional bila mendapat job menuliskan biografi seorang tokoh. Semakin besar atau semakin tersohor nama si tokoh, maka semakin besar nilainya.”
“Coba kamu cari info di internet berapa honor menulis biografi.”
“Baik, Mbak.”
***
“Saya Tumi Nur Azizah. Tempo hari ajudan saya sudah menemui Anda untuk membahas rencana penerbitan biografi, eh maksud saya, rencana untuk menulis biografi saya yang akan dilakukan oleh Anda...”
“Panggil saja saya Buldani, atau Bang Dani juga boleh.”
“Begini Bang Dani, saya datang ke sini untuk membicarakan rencana penulisan biografi. Ajudan saya kemarin sudah mengabarkan perihal beaya penulisan. Saya ingin bertanya, apakah beaya itu tidak bisa dikompromikan, maksud saya ditawar begitu?”
“Tidak, “ jawab Buldani yakin. “Itu harga normal untuk menuliskan biografi tokoh tingkat lokal atau daerah.”
“Jadi?”
“Jika Ibu setuju saya akan segera menuliskannya.”
“Baiklah, saya setuju, “ Tumi Nur Azizah mengiyakan. Sepertinya tidak ada gunanya aku menawar, toh aku yang menawari, bukan dia yang mengajak. Tumi kemudian menanyakan proses pembayaran dan juga proses penulisan biografi.
“Ibu silakan mentransfer 50% dari nilai bea penulisan, setelah kita sepakat dan membuat perjanjian hitam di atas putih.”