BAB EMPAT BELAS
Arif Suud Utama merasa tersanjung ketika sang istri memujanya. Sehingga tiba saat hari si istri datang ke lapas bersama seorang sastrawan, lelaki tinggi kurus berambut gondrong yang mengaku bernama Buldani Sastrabuana.
“Sepertinya kita pernah bertemu, di mana, ya?” gumam Arif Suud Utama seraya mengingat-ingat. Tapi ingatannya seperti potlot yang tumpul dan...
“Sepertinya bapak salah orang. Orang gondrong seperti saya banyak, Pak.”
“Mungkin, tapi wajahmu seperti aku pernah melihatnya, tapi entah di mana?”
“Mungkin Abah pernah melihatnya di sebuah kegiatan, tapi tidak ingat, wajar Abi kan sering hadir di pertemuan atau rapat, tidak mungkin Abah mengenali rupa semua orang, atau Abi pernah melihat seseorang yang mirip sama Bang Buldani.”
“Iya, mungkin saja. Ayo silakan duduk Bang Buldani. Jujur aku terpesona saat membaca tulisan karyamu tentang kisah istriku.”
“Terima kasih, Bapak.”
“Apakah sudah lama kau menulis, eh menjadi seorang sastrawan?”
“Sekitar dua puluh satu tahun, Bapak.”
“Pantas saja tulisanmu bagus. Jam terbang di bidang apa pun pasti berpengaruh ya.”
“Begitulah semesta berjalan.”
“Semesta berjalan dan Allah yang menakdirkan. Seperti keadaanku saat ini. Kau tahu, sebagai pejabat, aku sekarang terpasung di sini. Tempat yang sering dianggap hina.
Seumur hidup, aku tidak pernah membayangkan jika suatu saat aku akan berada di ini. Tapi begitulah suratan tangan, begitulah nasib, begitulah cobaan. Aku tinggal menjalaninya saja.”
Si bupati mantan koruptor mengisahkan kehebatannya di masa lalu, ketika dirinya masih berpangkat dan orang-orang menghormatinya karena jabatan, bahkan ada juga orang-orang yang menjilatnya karena dia pejabat. Alangkah menyenangkan mengenang kejayaan masa lalu, pikir si koruptor.
“Apa hal yang paling diingat oleh bapak ketika menjabat sebagai bupati?” Buldani mengajak Arif Suud mengemabara ke masa-masa silam.
“Sebuah pengalaman yang tak akan saya lupakan sampai mati, " tutur Arif Suud mengingat pengamalan paling berkesan pada fase kehidupannya. "Ketika sebagai bupati dan saya diundang gubernur kemudian rapat bersamanya. Ketika berjabat tangan dengan gubernur dan dia memberi selamat pada saya.
'Saya akhirnya jadi bupati!' Saya masih mengingatnya dan tak kan pernah lupa, ketik tempo waktu saya masih hanya wakil bupati dan saya dibuat malu oleh si gubernur pensiunan jenderal itu.
Ceritanya saya disuruh oleh bupati saya untuk mewakili beliau, tapi saat rapat di gubernur, yang mantan jenderal ini marah dan menyuruh saya keluarga gara-gara saya bukan bupati. Saya masih ingat apa katanya, ‘hei kamu, yang saya undang ikut rapat itu bupati, bukan wakil bupati. Sekarang juga kau wakil bupati, silakan tinggalkan tempat ini!
Saya malu, malu sekali. Saya berpikir bahwa bagaimana pun caranya saya harus bisa mewujudkan keinginan. 'Saya harus jadi bupati. Bupati. Bukan wakil bupati!' Ternyata Allah Swt mengabulkan doa saya. Nasib baik ketika bupati petahana wafat saat rapat, dan saya kemudian dilantik menjadi bupati.”
“Saya baru mendengar kisah seperti ini dari bapak.” Buldani merasa trenyuh.
“Sebuah kisah nyata. Bukan saya cerita mengada-ada, " ungkap Arif Suud penuh perasaan emosi. "Inilah pengalaman hidup saya, pengalaman sebagai pejabat atau bupati. Sangat banyak pengalaman yang tidak akan saya dapatkan kalau saya bukan seorang pejabat.”
“Oya?”
“Menjadi pejabat apalagi sebagai kepala daerah adalah impian yang didamba banyak orang, berpangkat dan mendapat fasilitas dari negara. Bukankah sangat enak? Ketika melakukan kunjungan dinas, dari pesawat sampai oleh-oleh dibiayai oleh negara, bagaimana tidak enak? Makanya si Sugriwo wakil saya berusaha menjegal saya untuk nyalon lagi sebagai bupati. Semula saya mengalah lebih tepatnya pura-pura mengalah. Saya bilang kalau saya tidak akan mencalonkan diri.
Tetapi secara diam-diam saya tetap mencalonkan diri. Alhasil, meskipun saya hanya didukung dua partai, tapi saya toh lolos sebagai bupati. Si Sugriwo yang menyebar uangnya tidak terpilih. Segebung uangnya ditilep sama tim suksesnya. Hahaha.”
“Jadi rumor bahwa ada money politik dalam pilkada itu benar?”
“Semua calon kontestan money politik, bagi-bagi amplop. Ada yang nilainya kecil, ada yang besar, “ ujar Arif Suud Utama, membuka satu sisi pengalamannya ketika mencalonkan diri dalam pilkada. Ketika dirinya bertanding dengan calon lain demi mendapatkan suara. “Meskipun Sugriwo memberi amplop lebih besar, tapi konon disunat oleh si tim sukses, katakan semisal Si A memberi 100 ribu, tapi ketika sampai ke pemilih hanya 50 ribu, bahkan 20 ribu, toh masyarakat ternyata masih memilih saya. Isu bahwa putra daerah akan lebih layak ketika menjadi pemimpin ternyata jos. Juga kedudukan saya sebagai kiai juga membuat orang-orang fanatik memilih saya, daripada si A yang pendatang dan bukan kiai.
Meskipun si A seorang haji, mana ada orang pesantren yang mengenalnya, beda dengan saya, ketika masuk pesantren para santri mengelu-elukan. Sebagai kiai saya juga memiliki jaringan antara kiai dan pondok pesantren semisal alumnus santri yang tidak dipunyai si A. Saya juga lebih populer di banding si A.
Selama menjabat bupati saya sering turba ke pelosok desa membagikan sarung, mukena, membantu pembangunan masjid dan musala, penduduk mengenal bahkan banyak yang minta bersalaman menciumi tangan saya, sebagai kiai sebagai bupati.” Arif Suud menceritakan masa-masa jaya ketika dia mencalonkan diri sebagai bupati dan ternyata terpilih!
“Apa peran istri atau seberapa besar peran istri dalam kehidupan bapak sebagai bupati dan juga sebagai kiai?” Buldani pun bertanya, ingin menggali lebih dalam sosok yang tengah ditulis kisah hidupnya.
Maka, Arif Suud Utama pun mengisahkan perihal sosok Tumi Nur Azizah di matanya. “Istri saya orang yang sangat bisa diandalkan. Sebagai perempuan dia bukan hanya istri yang cakap di dapur, kasur dan sumur, Isti juga memilik kecerdasan dan power ketika saya membutuhkan bantuan, ketika saya sedang mengalami masalah, istri saya adalah orang yang pertama saya beritahu.
Istri saya adalah orang yang sangat mendukung semua kegiatan saya yang padat, dia bisa mengikuti langkah saya. Tugas saya sebagai bupati terasa lebih ringan ketika ada istri yang mendampingi. Istri saya juga istri seorang kiai, dibesarkan dalam lingkup pesantren, jadi dia bisa mengimbangi pemikiran dan gaya hidup saya sebagai seorang kiai.
Istri saya tidak pernah mengeluh ketika sebagai pejabat saya juga sering kiai. Istri saya benar-benar perempuan yang kuat dan hebat.” Arif Suud memuji sang istri. Buldani tersenyum dan mengajukan sebuah pertanyaan yang menurutnya sangat krusial.
"Apakah karena Ibu bermodal cerdas, hebat, dan kuat ini kemudian Bapak berpikir untuk beliau agar mencalonkan diri sebagai bupati?”
“Dia juga memiliki aura sebagai pemimpin, “ puji Arif Suud lagi tentang Tumi. “Istri saya adalah anak sulung dan memiliki jiwa kepemimpinan sejak dalam pondok dia juga di lingkup kampus ketika dia menempuh pendidikan sebagai ahli hukum. Dia sosok yang cerdas, berilmu, berpendidikan tinggi, dan berbasis pesantren yang saya pikir ini menjadi modal untuk seorang pemimpin?”
“Apakah keinginan menjadi bupati adalah keinginan murni beliau?” tandas Buldani.
Buldani menatap lekat wajah Arif Suud. Arif Suud memilih tidak membalas memandangi wajah Buldani, meskipun dia menjawab pertanyaan itu seperti menghapal sebuah teks pidato. “Ya, tentu saja. Sebagai istri bupati yang mendampingi saya selama satu kali jabatan dan beberapa tahun setelah saya dilantik, istri saya sudah memiliki banyak pengalaman, bermodal pengalaman dan juga kegiatannya berorganisasi dia layak untuk mengemban tugas sebagai pemimpin. Masih banyak agenda saya yang belum terlaksana gara-gara saya dijegal si Sugriwo.”
“Apa maksudnya dijegal?” kejar Buldani penasaran.
“Ibarat saya sedang membangun, si Sugriwo tidak turut membantu mengawasi mandor atau pekerja, si Sugriwo malah menjegal saya yang sedang memberikan pengarahan kepada para pekerja.
Sugriwo orang licik, demi menjadi bupati, dia dibantu oleh kakaknya yang pejabat tinggi di Jakarta. Mengungkit kasus saya, mengada-ngadakan kasus saya, saya dikriminalisasi politik.
Nanti saja kalau kamu sudah fix menulis biografi saya, saya akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Konspirasi apa yang dibuat si Sugriwo dan antek-anteknya sampai saya bisa dipenjarakan.” Arif Suud Utama terlihat begitu dendam pada Tri Sugriwo.
Entah perbuatan apa yang telah dilakukan, selain merebut kekuasaan, adakah Tri Sugriwo melakukan hal lain yang membuat seseorang sangat membencinya? Mungkin suatu hari aku perlu menemui Tri Sugriwo, batin Buldani. Untuk saat sekarang aku harus fokus mengerjakan agenda menulis satu per satu.
“Jadi Bapak serius ingin saya menuliskan biografi bapak?” Buldani mengajukan pertanyaan untuk menentukan langkah berikut. Si lelaki di depannya mengiyakan tanpa ragu.
“Tentu saja.”
“Untuk menuliskan tokoh sekelas bapak yang mantan pejabat dan juga kiai, tentu nilainya berbeda ketika saat ini saya menuliskan biografi Ibu Tumi.”
“Ya. Saya paham alasannya. Saya akan membayarnya. Tak perlu takut.” Janji itu terucap. Tentu nanti ada perjanjian di atas hitam putih.
“Walau saya memberi harga dua atau tiga kali lipat?” negoisasi melaju lagi.
“Uang bagi saya tidak masalah, “ sesaat lelaki itu bangkit, menghela napas panjang, mungkin untuk membuang beban yang memberatinya. Dia kemudian menatap Buldani, dan berkata, “Aku ingin kau menulis biografiku. Aku ingin meninggalkan arisan tertulis pada anak dan cucuku.