Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #16

Chapter #16 BAB ENAM BELAS

BAB ENAM BELAS

Tak ada yang lebih mengasyikkan selain membincangkan perihal sesuatu yang sedang viral di masyarakat. Kasus Bupati Arif Suud yang korupsi dan ditangkap KPK sehingga menghuni penjara, menjadi santapan obrolan yang lezat. Tak terkecuali malam itu ketika Buldani bertamu di rumah sahabat masa kecil, Bu Melani, seorang penyair sekaligus guru SMP yang bersuamikan seniman, pelukis, yang bernama Mas Kacang.

“Kiai kok korupsi,” Bu Melani merutuk.

“Kebetulan saja dia terkena jebakan si Sugriwo,” ujar si Kacang

“KPK tak mungkin menangkap tanpa bukti. Tak perlu lah kau membela karena kau seiman dengan bupatimu.”

“Siapa yang membela? Kalau ikutan bela ya aku sudah seperti si Mulan itu yang kemarin ikutan demo dong, dan bawa poster Bupati Arif Suud tidak bersalah. Bupati Arif Suud Utama dikasuskan gara-gara urusan politik.”

“Aku kemarin kebetulan lewat di alun-alun dan melihat demo itu, tapi aku tak melihat Si Mulan,” ujar Buldani.

“Saban ada demo Si Mulan ikutan mah, cuma kalau demo begitu kan dia pakai masker, pakai kaca mata hitam, biar kagak ketahuan kalau dibayar lima puluh ribu,” cerocos Bu Melani. “Apakah benar kemarin pendemo itu suruhan tim sukses orang-orang bupati?”

“Iyalah, Bu, mana mau orang demo panas-panasan kagak dibayar. Kalau cuma berpanasan tidak dapat amplop mending kerja saja di brak, ada yang bayar,” sahut Buldani.

“Duh, mengapa semuanya pakai money politik?” gumam Bu Melani. "Kalau kampanye sih pada bilang tidak ada money politik. Pada praktiknya teman yang kerja di birokrasi juga mendukung bupati itu karena dikasih amplop. Teman-teman aku ini yang bersaksi dan mereka memang benar, pamerin uangnya."

Bu Melani sesaat menghentikan bicaranya, menyuruh suaminya mengambilkan minuman dan kue-kue di lemari. Si Kacang manut, mengambil minuman dan kue, lalu meletakkannya di atas meja ruang tamu. Mereka melanjutkan obrolan.

“Dari mana tadi Dan?” tanya Bu Melani.

“Kantor pos. Kirim buku. Kebetulan ada yang pesan buku kumcerku, Bu,” jelas Buldani.

“O."

"Kapan buku barumu terbit lagi, Bro?” si Kacang bertanya

“Bulan depan ada buku baruku terbit, Mas.”

"Kamu memang hebat, Dan, " puji Bu Melani.

“Kamu tadi siang enggak ikutan?” selidik si Kacang

“Ikutan apa, Mas?” Buldani menyergah setelah meneguk sebotol minuman. Segar.

“Demo membela bupatimu yang dituduh korupsi,” ujar si Kacang.

“Kagak sudi!" Buldani mengumpat "Emang berani bayar berapa?”

“Haha, apalagi saya yang guru ASN dilarang ikutan berpolitik, " celetuk Bu Melani. "Aku sebenarnya merasa gemes ketika ada teman yang ikutan mendukung calon A atau B. Menurutku siapa pun dukungan kita, kalau ASN tetaplah aman jadi ASN, apa ikutan mendukung kanan kiri demi selembar uang merah.”

“Kepala orang bedalah, " sahut Si Kacang.

"Lagian kalau Bu Melani juga sudah banyak uang, ngapain ikutan gituan,” gumam Buldani.

“Saya sih pilih calon yang nasionalis, Dan, " cetus Bu Melani. "Apalagi sebagai minoritas, saya tentu memilih calon yang tidak terlalu fanatik dalam beragama.”

Buldani memahami jalan pikiran sahabat masa kecilnya. Dulu mereka pernah bertetangga. Puluhan tahun silam, masa mereka masih berseragam merah putih, anak-anak sekolah dasar. Buldani ayahnya seorang tentara, keluarga mereka tinggal di tangsi pada kawasan pecinan. Bu Melani tinggal di rumah warisan omanya, yang keturunan Tionghoa peranakan. Keluarga Bu Melani merupakan pengusaha kerupuk tengiri. Sekarang, puluhan tahun kemudian, Bu Melani tidak melanjutkan bisnis pembuatan dan penjualan kerupuk tengiri. Usaha kerupuk tengiri keluarga mereka berhenti ketika papi dan mami Bu Melani meninggal. Bu Melani anak tengah, mempunyai seorang adik dan kakak. Ketiganya tidak ada yang meneruskan usaha kerupuk tengiri.

"Ah, sudahlah, " tukas Bu Melani ketika dia menceritakan perjuangan kedua orang tuanya merintis pembuatan kerupuk, juga penjualan yang masa tahun 1980-an masih pakai door to door. "Ketika usahanya sedang berkembang, malah papi meninggal karena sakit, kemudian papi menyusul. Koh Ahong lebih suka kerja di pabrik otomotif. Adikku membuka toko komputer. Aku jadi guru, dan tidak punya waktu luang untuk bikin kerupuk. Suamiku, si Kacang pintarnya hanya melukis di atas kanvas, ya sudahlah, namanya juga pilihan hidup, Dan."

"Bu Melani masih punya resep bikin kerupuk tengiri?" tanya Buldani.

"Masihlah, Dan. Resep rahasia keluarga tetap disimpan. Yang diberikan kepada pengusaha kerupuk yang sekarang tempatnya jadi pusat oleh-oleh itu hanya resep nomor 3 atau 4."

"Begitu, ya, Bu?"

"Begitulah, Dan."

“Omong-omong kemarin Bu Melani milih siapa?”

“Milih yang bupati ini dong, Dan, meskipun kecewa setelah tahu kenyataan pahit sekarang. Saya pikir karena dia kiai dia akan lebih baik daripada bupati yang dulu. Ternyata sama saja, terlibat kasus seperti bupati terdahulu. Oalah. Sungguh-sungguh kecewa aku, Dan. Andai papi-mamiku masih ada mereka akan menangis darah melihat kekacauan politik sekarang. Papi-mamiku hidup di zaman Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Pada masa Orla dan Orba korupsi sudah ada, tapi tidak seperti sekarang. Pejabat tidak tahu malu, berlomba korupsi, menggarong harta Ibu Pertiwi. Merampok harta rakyat. Oh, seandainya Ibu Pertiwi manusia, dia akan menangis pilu, menjerit lara, merintih kelu melihat ulah para pejabat yang keterlaluan!"

Bu Melani mengisahkan kejayaan keluarganya di masa silam. Di zaman Soekarno, mereka berbisnis gula jawa bertruk-truk dan menguasai pasar kota ini. Pada zaman Presiden Soeharto mereka berbisnis kerupuk dan juga hotel. Mami Bu Melani juga mendirikan kelenteng di daerah utara sana, di bawah kaki Gunung Puncak Pandawa.

Buldani selalu senang mendengar riwayat leluhur seseorang. Buldani teringat sang ibu yang sepotong-potong mengisahkan leluhur Buldani. "Leluhur kita adalah Tuan tanah, pemilik ratusan hektar tanah sawah yang ditanami bawang merah, " tutur sang Ibu Buldani.

"Bu Melani dan Mas Kacang, apakah kalian sudah mendengar kabar kalau istri bupati koruptor mau nyalon bupati?” Buldani mengajukan tema baru untuk obrolan mereka.

“Sudah dengar, Bro,” sahut Si Kacang.

“Sempat dengar, Dan. Tetapi benar atau tidak, entahlah," ujar Bu Melani.

“Kalau menurutmu, gimana, Bro?" selidik si Kacang.

“Menurutku berita itu benar aku dengar sendiri dari mulutnya,” aku Buldani.

“Jadi kau sekarang sudah berubah pikiran, bergerak menjadi tim sukses?" tatap Bu Melani lekat-lekat.

Buldani mengedikkan bahu, kemudian berkata, “Entahlah apa yang kulakukan ini bisa dibilang sebagai tim sukses, tapi yang ini adalah murni berhubungan dengan profesiku sebagai penulis. Aku mendapat proyek menuliskan buku biografi Tumi Nur Azizah si istri bupati koruptor. Buku dibikin untuk promosinya dalam pilkada tahun depan.”

“Wah kau menulis biografinya, Dan? Bukunya pasti keren."

"Bagaimana ceritanya kau bisa menulis biografi istri bupati?"

Bu Melani dan si Kacang berbinar, dan menguak rasa keingintahuan mereka. Maka, Buldani pun menceritakan proses mengapa dirinya mendapat proyek menulis biografi Tumi Nur Azizah.

***

Arif Suud meremas kertas folio yang telah ditulisinya dengan barisan kalimat. Gumpulan-gumpalan kertas folio berserakan di atas meja kerjanya. Oh, ternyata menulis tidak semudah yang kubayangkan. Ternyata menulis sulit? Tetapi mengapa ada orang yang memiliki kegemaran menulis, menulis buku berlembar-lembar halaman, ratusan hingga sehingga menyerupai bantal. Sekali lagi Arif Suud menulis, merangkai aksara dan kemudian dia membaca hasil tulisannya. Oh, memalukan, tulisanku terlihat wagu. Aku juga baru menulis separuh halaman tapi sudah macet? Bagaimana aku bisa menulis cerita berhalaman-halaman?

Arif Suud Utama terlihat murung ketika seminggu lalu istrinya membesuknya. Selain melepas kangen, si istri juga menceritakan perkembangan proses pencalonan pilkada. Tim suksesnya menyarankan agar Tumi menuliskan buku biografinya.

“Kisah jalan hidup Ibu Tumi sangat menarik. Kami yakin pemilih kan terinspirasi pada proses perjalanan seorang Tumi yang sehingga memiliki pasangan hidup seorang bupati. Tidak semua perempuan ditakdirkan sebagai istri bupati.”

“Aku akan memikirkannya.”

Setelah beberapa waktu berpikir, Tumi akhirnya menyetujui usul tim suksesnya. Maka, selang beberapa hari kemudian, ketika Tumi hari itu membesuk suaminya dia mengutarakan keinginannya membuat buku. Mendengar keinginan istrinya, Arif Suud menyanggupi. Bahkan dia menawari untuk membuatkan buku biografi itu.

“Bagaimana kalau aku yang menuliskan kisah hidupmu, Dik?”

“Apakah Abi bisa membuat buku?”

“Bisa. Dulu ketika di pondok aku pernah menang lomba mengarang.”

Ini kisah puluhan tahun silam. Juga karya karangannya saat itu adalah bikinan seorang kawan, dan Arif Suud tinggal menghafalnya kemudian menuliskannya saat lomba. Jadi, sebenarnya itu bukan karangannya. Sekarang apa dia sudah mempunya kemampuan menulis?

“Kalau begitu Abi bisa menulis sekarang, nanti aku yang berkisah, maksudku apa saja yang perlu Abi tuliskan,” Tumi menyetujui usul si suami.

“Ya. Mumpung aku punya banyak waktu luang, " ujar Arif Suud Utama. "Selain mengaji aku akan mencoba menulis. Untuk yang pertama aku akan menuliskan biografimu, Dik.”

Setelah sang istri pulang, Arif Suud pun melakukan ritual. Mandi bersih dan menyiapkan kertas folio satu rim yang sudah dibelikan olah Kurdi. Satu set pulpen juga terlah tersedia di meja.

“Mengapa Bapak tidak menulis pakai komputer?” Kurdi bertanya, sekadar ingin tahu.

“Tidak. Aku tulis pakai draf dulu. Setelah bagus nanti aku akan menyuruh istri membawakan laptop,” Arif Suud Utama menjawab yakin.

“Saya siap melayani kebutuhan Bapak," Kurdi berjanji.

“Ya. Sekarang saya ingin sendiri. Untuk menulis dibutuhkan konsentrasi dan ketenangan,” ujar Arif Suud Utama, mengutip entah proses kreatif menulis penulis siapa. Kurdi manut dan undur diri.

Setelah malam tiba, tengah malam ketika suasana hening, maka Arif Suud menulis merangkai kata di tas kertas folio. Tetapi yang ada kemudian, hanya gumpalan-gumpalan kertas yang dibuang di atas meja bahkan ada yang dilempar ke lantai. Tanpa terasa sudah menjelang subuh ketika akhirnya Arif Suud menghentikan kegiatannya.

Ternyata menulis itu benar-benar susah dan sulit. Eh, mengapa seniman gondrong itu mengatakan bahwa menulis itu mudah, sehingga dia mengaku telah menulis ratusan cerpen dan tulisan lainnya? Ilmu apa yang dimiliki si gondrong sehingga bisa lancar menulis. Oh, apakah kau harus menghubunginya untuk menuliskan biografi istriku? Tapi di mana gerangan si gondrong? Berapa tarif untuk membuat buku biografi?

Ah, mengapa sih tiba-tiba teringat gondrong? Apa bengong? Mengapa tidak menyuruh mahasiswa yang sedang PPL saja untuk menuliskan biografi istrinya? Seperti dulu saat Arif Suud Utama kampanye, dulu dia juga meluncurkan biografi mini. Penulisnya adalah mahasiswa yang sedang PKL di kantor bupati.

Arif Suud Utama membiarkan kertas berserakan dan menggunung, sebentar lagi Subuh, tapi dia merasa ngantuk sekali. Tidak apa-apa terlewat subuh, gumamnya yang kemudian tertidur dan ngorok senggar-senggur.

                                                           ***

“Begitu, Bu Melani. Tumi Nur Azizah pernah cerita kalau semula suaminya yang hendak bikin buku. Dipikirnya bikin tulisan semudah dia tanda tangan. Setelah beberapa hari dia berlatih menulis dan kertas berserakan, bahkan menggunung di kamarnya, dan jadi pekerjaan Kurdi untuk bersih-bersih, akhirnya pada hari kesebelas si Arif menyerah. Kemudian dia bilang pada istrinya untuk mencari penulis saja untuk menggarap biografi. Eh, semula dia menyarankan istrinya untuk menggunakan jasa mahasiswa yang magang saja, tapi si istri menolak, setelah melihat hasil tulisan mahasiswa ketika dulu menulis biografi mini suaminya.

“Aku ingin biografiku ditulis dengan bahasa yang indah seperti novel-novel romansa yang pernah aku baca,” gumam Tumi.

“Kemudian dia menemukanmu, Bro?”

“Semua lewat izin Tuhan dan kuasa semesta, Mas."

"Berapa honormu menulis biografi calon bupati, Dan?"

Buldani menyebutkan angka honornya menuliskan buku biografi Tumi Nur Azizah.

"Lho mahal jebule," gumam Bu Melani. "Berkali lipat dari gajiku sebagai guru PNS."

"Puluhan kali lipat dengan honor guru honorer," gumam si Kacang.

Lhah saya kan penulis. Penulis nasional pula, kelasnya sudah beda dengan penulis kandang kota ini,” Buldani tersenyum bungah.

"Iya, kau penulis nasional karena pernah bertemu istri presiden, foto bersama, tapi tidak bisa bersalaman dengan Ibu Negera, " ledek si Kacang. Tentu Bu Melani ikut mengulum senyum teringat cerita Buldani ketika dia menang lomba menulis cerita anak dan diundang ke Jakarta, menghadiri Anugerah PAUD, bertemu Ibu Negara, tapi si Ibu Negera hanya mau bersalaman dengan sang juara 1 lomba saja. Sementara juara 2 dan 3, apalagi juara harapan, hanya dibolehkan foto bersama di atas panggung di TMII.

“Kau masih tetap jagoan sombong seperti dulu, Dan,” Bu Melani mlerok.

“Sekadar meningkatkan rasa percaya diriku, Bu. Karena kadang aku muak ketika mendengar selentingan orang yang bilang perihal penulis nasional. Mereka bilang penulis nasional itu yang pernah masuk TV. Memang penulis itu pemain sinetron? Penulis nasional ya penulis yang karyanya pernah dimuat di media cetak nasional, atau mungkin bukunya diterbitkan oleh penerbit nasional.”

“Ya. Tapi aku jadi heran sih mengapa kamu malah mau menulis buku biografi bupati koruptor itu. Tempo hati kau bercerita kalau membenci bupati itu karena menolak menerbitkan bukumu dan komunitasmu?”

“Aku pernah cerita padamu ya, Bu?”

“Aku masih ingat marah dan racaumu yang meledak-ledak seperti Gunung Merapi meletus.”

“Hahaha, kau memang satu-satunya penyair perempuan terhebat di kota ini.”

Hush, jangan bikin aku tersanjung dan ingin nulis puisi lagi.”

“Kalau ingin menulis puisi silakan, Bu. Aku tak sabar nunggu puisimu yang elok lagi menawan.”

Alaah kau tidak tahu saja kesibukanku sebagai guru, Dan. Sudah mengajar di sekolah, mengurus administrasi, masih juga membawa tugas sekolah dia rumah. Terkadang masih minta bantuan Mas Kacang untuk menilai ulangan siswa.”

“Bukankah kau menikmati profesi sebagai guru? Bukankah sejak kecil kau bercita-cita sebagai guru? Bahkan semenjak kuliah demi menjadi guru kau rela sebagai honorer, dan di sekolah yang jauh di pedesaan. Gajinya juga tidak ada seberapa dengan uang saku pemberian dari orang tua?”

“Ya. Setelah berpuluh tahun menjadi guru, aku menikmati pekerjaan ini, meskipun kau juga menginginkan bisa seperti dulu lagi, ketika kuliah dan awal menjadi guru, aku masih bisa menulis puisi, atau cerpen, kemudian kirim ke media. Entah sudah beberapa tahun aku berhenti menulis puisi, hanya sesekali di FB. Entah, mungkin karena kesibukanku sebagai guru, juga kesehatanku yang tak sebaik dulu. Gula manis sialan yang menyerangku dua tahun silam membuat langkah kaki terbatas. Hanya terkadang saja aku bisa menghadiri acara sastra teman-teman, termasuk tempo hari ketika aku membedah kumcermu, itu adalah kegiatan yang menyenangkan, bertemu kawan seniman, kawan seniman yang berbeda dengan teman temanku guru yang kurang asyik, tidak bisa diajak ngobrolin seni tentang sastra atau bahasa yang indah dan terkadang melenakan.”

“Tentu saja, kau kan penyair satu-satunya perempuan di kota ini.”

Walah, lagi-lagi kau ngece, Dan. Mas Kacang, ayo kita ke luar. Aku lapar dan Tirta, anakmu juga lapar belum makan. Dan kau ikut kami makan di luar yuk!”

“Tentu tidak menolak, Bu.”

Si Kacang, pelukis yang sedang hibernasi bertahun-tahun, mengeluarkan mobil jip, mobil melaju dan keliling penjuru kota, menuju angkringan yang berada di pinggir segara.

“Kau pesan apa, Dan? Ambil apa saja.”

Seperti biasanya mereka terlibat obrolan seru. Tentang politik dan isu terkini. Di sela perbincangan, Bu Melani berkata. “Dan, kalau kau nanti menulis biografi istri bupati, aku pesan ya tuliskan pengalaman pribadiku yang berhubungan dengan si bupati koruptor.”

“Pesan apa?”

“Aku pernah mengundangnya dalam cara pembukaan revitalisasi kelenteng tapi dia tidak mau datang,” Bu Melani terlihat kesal.

“Datang, Mi. Tapi diwakili sama pejabat kabupaten,” sela si Kacang.

“Yang kami undang saat itu bupatinya, tapi dia tidak datang. Padahal kantornya hanya dua ratus meter dan kelenteng, tapi dia memang tidak mau datang,” Bu Melani mangkel.

“Apalah surat undangan sudah sampai ke ajudan, Bu?” Buldani mengusik. Angin segara bertiup sepoi.

“Sudah. Panitia yang mengantar dan buktinya ada yang datang meskipun bukan si bupati. Aku sungguh sangat kecewa. Apa sih susahnya datang. Apa sebagai kiai dia merasa haram datang ke sebuah kelenteng,” Bu Melani menumpahkan suara hatinya.

“Pasti bukan itu, Mi, " tukas si Kacang. "Mungkin ada kegiatan lain yang dianggap lebih penting."

Lihat selengkapnya