“Apakah kau mengenal sastrawan bernama Buldani?” Arif Suud menelepon kenalannya, seorang wartawan senior bernama Marwan. Ketika Arif Suud menjabat anggota DPR dan bupati, hubungan mereka dekat. Marwan sering mendapatkan pesanan untuk menuliskan berita tentang para pejabat, tak terkecuali sosok Arif Suud Utama.
“Kenal tetapi secara pribadi tidak dekat, Pak. Kami pernah beberapa kali sama-sama jadi juri dalam lomba literasi," Marwan menjawab dan mengingat kapan terakhir kali dia melihat Buldani. Oh, setahun lalu saat mereka menjadi narasumber pelatihan jurnalistik di sebuah kampus perguruan tinggi di kota sebelah.
“Bagaimana orang ini menurutmu?”
“Khas sastrawan atau seniman, Pak. Penampilannya acakadul, suka jalan kaki dan mendatangi masjid dan makam, mungkin mencari inspirasi.”
“Tapi dia orang yang cerdas.”
“Kalau tidak cerdas tak bakalan jadi penulis, Pak.”
“Dia cerdas dan unik.”
“Julukan yang bapak berikan lebih tepat sepertinya, daripada teman saya yang menjulukinya wong edan. Maaf.”
“Dia sedang menuliskan biografi istri saya. Semoga biografinya bagus dan banyak dibaca calon pemilih, dan istri saya terpilih jadi bupati.”
“Aamiin.”
“Menurutmu, apakah menulis biografi gampang?”
“Gampang-gampang susah, Pak. Apalagi kalau menulis biografi tokoh yang hasilnya harus wow.”
“Mudah mana menulis biografi atau berita?”
“Tentu lebih mudah menulis berita.”
“Katanya dia sudah menulis ratusan cerpen dan puluhan novel. Jadi dia tidak kesulitan ketika menulis biografi.”
“Saya dengar begitu. Pernah dia tampil sebagai narasumber dan dia bilang kelasnya sastrawan nasional, bukan kelas kandang. Sombong-sombong gimana gitu, Pak.”
“Dia agak sombong memang, tapi memang begitu kenyataannya kan? Aku juga baru tahu kalau ada sastrawan kelas nasional di kota ini.”
“Bukankah bapak pernah bertemu dia beberapa tahun silam, ketika dia meminta bantuan menerbitkan buku?”
“Ternyata kau mendengar gosip itu juga?”
“Kita tinggal di kota kecil, dan orang-orang yang bergerak di lingkup literasi ya pemainnya itu-itu saja, Pak.”
“Aku kemarin sempat lupa, tapi akhirnya ingat, dan ternyata tidak menjadi masalah baginya. Dia bersedia ketika aku memintanya menuliskan biografi. Setelah nanti kelar biografi istriku, dia menyanggupi untuk menuliskan biografiku,” suara Arif Suud terdengar bungah dan bangga. Sesaat dari seberang tiada terdengar suara.
"Apakah kau masih mendengar suaraku?"
“Saya ikut senang ada orang sehebat dia yang akan menuliskan biografi bapak kelak,” suara Marwan terdengar tidak tulus.
“Kami sempat berbincang-bincang kemarin, ya seperti wawancara, " ujar Arif Suud, sesaat menjeda ucapannya, kemudian dia berkata dengan nada lebih perlahan dan hati-hati, ada beberapa penekanan pada diksi tertentu. "Aku yakin dia bisa memuat biografiku dengan baik, tapi aku yakin dia tak akan mau memoles biografiku nanti.”
Marwan sontak berpikir dan mencoba menebak apa yang ada dalam pikiran Arif Suud.
“Apakah dia menuliskan biografi Bapak sampai selesai?” Marwan ingin tahu.
“Betul. Tetapi untuk urusan penerbitan aku yang akan mengurusnya sendiri, " jelas Arif Suud. "Berbeda ketika dia menggarap biografi istriku dia nanti juga akan menguruskan urusan cetak bahkan saat peluncuran. Istriku tinggal terima bersih. Tetapi untuk biografiku nanti, aku ingin kau yang mengurus percetakannya. Oya, apakah kau bisa menyunting naskah?”
“Tentu saja bisa, Pak, " si Marwan meyakinkan Arif Suud. "Lebih mudah menyunting daripada menghasilkan sebuah tulisan.”
“Aku tidak salah pilih orang, " suara Arif Suud terdengar lega. "Ketika nanti naskah biografi selesai, aku ingin kau mengedit dan menyunting beberapa bagian, menambah seperti yang aku mau. Apakah kau bersedia?”
“Siap. Saya akan membantu Bapak." Marwan berjanji.
“Kau memang bisa diandalkan. Kemarin ketika aku tertimpa kasus, kau menuliskan kasusku dengan bijak, tanpa membuat aku merasa sangat hina. Berbeda dengan koran lain yang menuliskan berita kasusku. Mereka seolah mengadiliku, mendeskreditkanku, bahkan ada yang menghujatku. Kau beda," Arif Suud memuji. Marwan merasa mendapat angin.
“Tentu saja saya menuliskannya sesuai kode etik jurnalistik, Pak. Saya juga sudah menganggap bapak selama ini sebagai guru dan kiai orang yang saya hormati, mana mungkin saya menambah luka di atas luka. Saya prihatin ketika bapak kemarin terkena kasus. Pemilik koran juga memberi wanti-wanti agar kami menuliskan kasus bapak secara wajar, karena bagaimana pun kita mitra, selama ini saling bekerja sama antara pemkab dan media massa.”
“Ya memang seharusnya begitu.”
Pembicaraan via telepon berakhir. Arif Suud meminta si wartawan Marwan untuk mengirimkan nomor rekeningnya. Sementara di seberang, si Marwan tersenyum lega, ternyata tidak sia-sia hari itu dia membatalkan meliput berita demi bisa datang meluangkan waktu untuk berbincang via telepon dengan sang kiai, mantan bupati, si koruptor yang menghuni bui.
Arif Suud Utama meletakkan ponselnya dengan hati lapang dan perasaan riang. Sebuah rencana telah tersusun, dan sudah menemukan orang yang tepat membantunya.
***
Beberapa waktu kemudian, si Marwan kembali menghubungi Arif Suud dan menanyakan perkembangan rencana penulisan biografi si koruptor. “Apakah bapak serius membuat biografi?”
“Ya. Aku telah memutuskan dan baru kemarin si Buldani datang ke mari lagi, diajak oleh istriku.”
“Tadinya saya ingin mengatakan sesuatu perihal dia, tapi sepertinya tidak usah.”
“Kalau tujuanmu menelepon dan ingin mengatakan sesuatu katakan saja. Atau kau ingin mengatakannya secara langsung, datang saja ke sini.”
“Kapan bapak ada waktu luang?”
“Setiap saat waktuku luang, aku bukan pejabat lagi yang harus membuat jadwal bertemu. Aku juga bukan kiai yang harus bikin agenda ketika menerima undangan. Meskipun aku sudah kangen nanti kalau aku keluar dan bebas, dan orang-orang akan memanggilku di pengajian. Jarang kan seorang kiai yang mengalami musibah seperti aku. Gara-gara ulah si Sugriwo aku mendekam di sini. Tetapi tidak mengapa, ini hanya cobaan. Cobaan yang memberiku pengalaman baru, pengalaman hidup terkekang.
Ternyata kehidupan di bui tidak seperti yang kubayangkan. Orang-orang di sini tetap respek dan hormat padaku. Apalagi keberadaanku yang bukan hanya mantan pejabat, tetapi aku juga seorang kiai. Kalau sebagai pejabat, aku bisa berhenti karena kasus kemarin, tapi sebagai kiai, aku tetap menyandang gelar itu.
Orang-orang, jamaah pasti sudah merindukan tausiahku. Mereka penasaran ingin mendengar kisahku, bagaimana aku bisa bertahan di bui, bagaimana mentalku tidak jatuh. Mereka tentu ingin tahu keseharianku, yang pasti dalam pikiran mereka mungkin menjemukan. Padahal aku di sini bisa enjoy.
Aku tinggal dan tidur di tempat yang layak meskipun tidak semewah di rumahku. Aku juga punya aktivitas yang membuatku tidak pikun. Aku mengaji, aku juga mengajar para napi mengaji. Aku menjadi imam ketika salat Jumat. Aku terkadang menjadi khatib.
Aku tak sabar membagikan resepku pada para jamaah, bagaimana aku bisa bertahan dan tetap enjoy meskipun aku dibelenggu dan tinggal di tempat terkekang, tetapi mentalku bebas. Aku ingin berbagi pengalaman selama hidup di penjara. Selain nanti aku ceritakan di pengalaman, nanti juga aku ceritakan dalam buku biografiku yang akan ditulis oleh si Buldani.” Arif Suud Utama bercerita dengan berapi-berapi
“Saya senang mendengar kabar bapak yang semangat dan semangat. Inilah bapak bupati yang saya kenal dulu,” puji Marwan.
“Terima kasih. Oya, kapan kau akan datang, nanti kita bisa minum kopi tempur."
“Besok hari Sabtu lusa. Apakah bapak bisa?”
“Bisa. Nanti jelang hari H kamu berkabar via telepon ya, biar aku tidak lupa.”
“Baik, Bapak. Terima kasih.”
***
Hari Sabtu malam hari, Marwan si wartawan datang membawakan durian. “Buldani pernah diundang di acara bedah buku oleh Pak Yus, mantan humas pemkab. Buldani bikin kebodohan dan memalukan Pak Yus di atas panggung,” cerita Marwan.
“Kapan kejadiannya. Mengapa aku tak mendengar?” tanya Arif Suud.
“Setahun silam. "Apakah Pak Darma, humas pemkab sekarang tidak bercerita?”
“Sepertinya tidak pernah.
"Padahal Pak Darma ketika itu juga menjadi narsum, bersama saya dan Buldani, ketika Buldani bikin malu mantan humas itu di depan umum.”
“Bikin malu apa? Kamu ceritakan lebih jelas.”
“Saat itu, saya, Pak Darma, dan Buldani menjadi narsum. Kita sudah membedah buku sesuai sudut pandang kita. Kita memuja buku tersebut. Eh, ketika Buldani mendapat giliran terakhir, dia malah menenteng buku lalu bilang cover buku ini bagus, tapi sayang buku ini sebenarnya tidak layak terbit! Sontak kami heboh.
Buldani menguliti beragam kesalahan dan dosa Pak Yus, dari penyuntingan yang tidak rapi, ejaan yang tidak tepat, naskah yang katanya sebagian besar copy paste dari google, juga perihal buku Pak Yus yang menurutnya tidak lebih dari 'buku mutilasi'.
Saya lihat wajah Pak Yus merah, tapi dia bisa menahan emosi marah sehingga acara kelar dan bersalam dengan Buldani. Buldani tidak merasa bersalah. Dia malah juga membaca sebuah puisi karyanya berjudul Sumpah Perawan Ratu Kalinyamat. Memuakkan.”
“Apakah Pak Yus memang piawai menulis buku?”
“Beliau pernah kuliah jurnalistik dan wartawan. Setahu saya dia memang menulis buku, meskipun bukunya isinya dari beberapa buku yang telah terbit kemudian isi buku tersebut dicomot sana-sini, digabung, dan dijadikan buku dan didaku sebagai karya Pak Yus, dan ini disebut oleh Buldani sebagai buku mutilasi.
Entahlah, meskipun kemarin saya tahu ada beberapa kesalahan teknis tentang penulisan, tapi saya memang sengaja tidak membidiknya, saya menghormatinya, karena Pak Yus mitra saya, bahkan saya menganggapnya sebagai guru.
Secara usia, Pak Yus juga jauh di atas kami. Beliau senior kami di bidang kewartawanan. Selama ini ketika meliput urusan pemkab, Pak Yus yang selalu memfasilitasi saya.”
“Kalau Pak Darma apakah juga anak didik Pak Yus?”
“Pak Darma juga ewuh pada Pak Yus. Makanya ketika membedah buku karya Pak Yus, Pak Darma tidak mengulik kekurangan isi buku. Bagi Pak Darma, Pak Yus adalah gurunya. Malah sekarang Pak Darma menggantikan kedudukan Pak Yus.”
“Jadi perihal yang dikatakan Buldani menurutmu adalah kesalahan atau kebenaran?”
“Menurut saya beberapa kritiknya mungkin benar, tapi dia menyampaikan dengan cara kurang bijaksana,” jelas Marwan.
“Mungkin karakternya memang begitu, " ujar Arif Suud. Meskipun baru beberapa kali bertemu dan berbincang dengan Buldani, Arif Suud bisa menebak jenis apa pribadi sosok seorang Buldani. "Saya ingat ketika tempo hari dia datang meminta bantuan, dia langsung datang bergabung ketika saya sedang njagong dengan kiai, dia mengenalkan diri dengan sopan, lalu to the poin menyatakan siapa dirinya dan apa keperluannya menemui saya. Mengajukan bantuan.”
“Hal seperti itulah yang saya maksud. Menurut saya kurang etis."
“Ya. Saya dulu juga kaget. Apalagi saya dibesarkan dalam pondok, yang sangat menghormati kiai. Tidak asal bicara dengan kiai. Saat itu mungkin Buldani menganggap saya sebagai bupati. Jadinya saya merasa salah juga ketika tempo hari saya menolaknya, tanpa berpikir positif.”
“Seorang sastrawan memang berbeda pola pikirnya dengan kiai apalagi dengan lingkup birokrat.”
“Ya.”
“Apakah setelah ini bapak tetap akan meminta Buldani menuliskan biografi?”
“Sepertinya keputusanku tidak berubah. Aku juga sudah kadung mengiyakan. Kalau aku tiba-tiba menolak menarik ucapanku, apalagi dengan cara mendadak dan dengan alasan tidak kuat, tentu bisa jadi Buldani akan mencapku seorang yang plin-plan. Kondisiku juga sedang seperti ini, bila aku berbuat salah lagi, mungkin namaku benar-benar akan hancur tak tersisa.”
Ada gurat-gurat kecewa tumbuh di paras Marwan, tetapi Arif Suud tidak melihatnya, atau malah tidak tahu?
***
Waktu seperti berlari. Bulan Ramadan datang. Arif Suud Utama menjalani puasa di dalam bui. Arif merasa lebih khusuk. Selama puasa, Arif dipilih menjadi imam salat Tarawih. Arif menerima tugas dengan senang. Kapan lagi dia menebus dosa dengan berbuat baik pada sesama. Selama puasa, Arif juga mengadakan buka puasa bersama, dan dirinya menjadi donatur.
Malam itu, seusai salat Tarawih, Arif sengaja duduk berlama-lama di masjid. Selama bulan puasa, jamaah masjid bertambah, entah jamaah salat ataupun jamaah taslim. Pihak lapas pun memberi keleluasaan, khusus di bulan Ramadan, napi boleh itikaf di masjid.
“Apakah kegiatan masjid tahun lalu seperti ini?"
“Tahun ini lebih ramai, Pak, " jelas Kurdi. Maksud saya sejak kedatangan Bapak di sini, masjid lebih makmur.”
“Alhamdulillah.”
“Kalau dulu pengajian jelang buka puasa bikin ngantuk, tapi sejak kedatangan Bapak, suasana pengajian bikin betah,” ujar napi bernama Kasim.
“Oya? Mengapa?”
“Cara pengajian Bapak berbeda dengan ustaz yang lain. Bapak menyampaikan materi lebih segar dan banyak candanya, bikin ger,” celetuk Enda, napi sindikat uang palsu.
“Alhamdulillah.”
“Tapi maaf, saya lihat hari-hari ini Bapak terlihat murung. Kalau boleh tahu ada apa gerangan?” Kurdi mengulik isi hati Arif Utama.
“Saya teringat puasa-puasa masa-masa kanak di kampung, " suara Arif Utama mengalun, bercerita tentang diri dan kenangan. "Saya teringat masa puasa bersama Simbok dan Bapak di kampung. Saya teringat teman-teman masa kecil dulu. Ah, betapa damainya hidup di kampung, ketika masih bocah, masih lugu dan belum terkena polusi duniawi.”
“Polusi duniawi?”
“Iya. Sebagai seorang kiai saya manusia biasa, saya pun terkena polusi dunia. Ketika saya lebih mengutamakan kepentingan dunia, ketika saya harus memenuhi kebutuhan keluarga, sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, sebagai suami yang ingin membahagiakan istri, seorang ayah yang ingin membahagiakan anak-anaknya, sebagai paman yang ingin membahagiakan keponakan-keponakannya. Ketika saya berbuat di luar batas sebagai muslim, saya merasa kadang bukan saya yang melakukan hal buruk itu. Ada saat-saat saya menyesal, tapi ada saat-saat saya kembali ingin mengulang. Ada saat-saat saya merasa berdosa dan mohon tobat, kemudian pada saatnya saya mengulang lagi perilaku buruk itu.”
Mereka memilih membiarkan mantan bupati mengeluarkan isi hati atau unek-uneknya, sehingga sampai terasa pukul sepuluh malam dan mereka meninggalkan masjid. Ketika berjalan beriringan, di ruang tamu bertemu Firman.
“Mau ke mana, Man?”
“Ke masjid, Bapak. Saya ingin menderes surat.”
“Apakah kau bisa ke kamarku nanti. Badanku capek, kau bisa mijit?”
“Siap, Pak Yai.”
Firman memasuki halaman masjid. Arif Suud dan sebagian jamaah menyusuri lorong sel penjara. “Tanpa terasa sebentar lagi Lebaran?”
“Iya, Pak.”
“Bagaimana biasanya suasana lebaran di sini?”
“Sangat ramai sekali, Pak. Banyak pengunjung dan tamu datang.”
Si mantan bupati melangkah sambil membayangkan lebaran di bui. Sungguh, seumur hidupnya dirinya tidak pernah memimpikan akan menjalani lebaran di penjara. Namun, takdir, siapa bisa memungkiri. Mungkin sebenar lagi dalam hidupnya dia akan merayakan lebaran di penjara. Ada sebuah rasa sedih, dan rasa entah, yang sulit digambarkan dalam kata-kata.
***
Arif Suud Utama si koruptor akhirnya benar-benar merasakan lebaran di dalam penjara. Pagi-pagi sekali si istri dan anak-anaknya, juga satu-satunya menantu sudah datang. Bu Nyai Maisaroh dan adik-adik Arif Suud juga datang. Hanya Seruti yang tidak datang, katanya sedang tidak enak badan. Bagi Arif Suud bukan masalah. Titi memang paling beda di banding mbakyu-mbakyunya yang lain. Seruti tidak manut pada dirinya. Titi tidak mau mengenakan jilbab. Mungkinkah Titi masih marah karena peristiwa lalu ketika mendatanginya untuk membantu membangun pendapa tapi dia menolak. Uh, untuk apa memikirkannya?
Kurdi dan Firman membantu mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil. Kardus-kardus makanan dan toples-toples kue keirng yang di kemasannya ada stempel nama dan foto Tumi Nur Azizah yang akan mencalonkan sebagai bupati.
Mantan bupati, istri dan keluarga bersamanya menyewa meja besar dan mereka memakan ketupat opor bersama-sama. Mantan bupati merasa bahagia karena kedatangan keluarganya. Kurdi dan Firman merasa beruntung karena mereka diajak makan semeja dengan mantan bupati dan keluarganya.
Sebelum hari menjelang siang, istri, anak-menantu, dan saudara Arif Suud pulang. Sebelum pulang mereka memberikan amplop pada sipir dan kepala sipir. Tumi Nur Azizah memasukkan semua perabotan dan masakan yang dibawanya. Perabotan dan masakan, termasuk ketupat, lepat, dan opor dimasukkan kembali ke mobil. Padahal Kurdi dan Firman masih mengangankan makan opor lagi, karena tadi ketika makan kurang berasa, karena ewuh dia hanya maka beberapa potong lontong dan sepotong ayam opor.
Kurdi dan Firman juga hanya ndomblong saat melihat Tumi Nur Azizah membagikan amplop pada sipir. Sementara Kurdi dan Firman hanya mendapatkan ucapan terima kasih ketika mereka membantu mengusung menata barang-barang ke dalam mobil, dan mobil meninggalkan debu knalpot yang menebar di halaman penjara pada hari Lebaran pertama.
***
Hari ketujuh keluarga bupati datang lagi. Kali ini mereka membawa makanan khas Lebaran; ketupat. Ketupat opor dan berkotak-kotak kue. Mereka juga masih membawa kotak nasi dan kaleng-kaleng roti berstiker nama Tumi Nur Azizah si calon bupati. Keluarga bupati kali ini membawa buah-buahan.
Kali ini Seruti dan suaminya serta anaknya ikut datang. Titi mendatangi adiknya. Meskipun Titi secara umur lebih tua, tak sungkan dirinya mengucapkan selamat Lebaran dan memohon maaf pada Arif Suud Utama yang merupakan adik bungsunya.
“Minal aizin wal faizin, Dik Tama. Mohon maaf lahir dan batin. Maafkan Mbak ya kalau ada salah-salah kata,” suara itu pelan dan jelas dan terdengar tulus.
“Saya juga memohon maaf, Mbak. Mungkin Mbak masih marah karena tempo hari ketika saya menolak membantu membangun rumah singgah,” suara itu pelan, tapi mengungkit luka. Padahal Seruti sudah mencoba menghapus kenangan buruk itu. Seruti akan menggenggam pesan Ibu, bahwa apa pun yang terjadi, mereka berlima adalah saudara kandung yang pernah menghuni sebuah rahim yang sama.
“Sudah lupakan saja, Dik Tama. Mbak sudah tak mengingatnya, “ Titi membiarkan luka itu pergi, dan berusaha bersuara dan bersikap wajar. Untuk apa membenci saudara, gumamnya. Yang keluar dari bibir tipis Titi adalah pemakluman. “Bagaimana kita saudara, untuk apa Mbak membencimu. Dirimu bukan adik kecil lagi, kau kepala keluarga, bahkan kepala daerah, yang punya hak untuk menolak, menerima, melakukan sesuatu.”
“Mbak menyindir saya? Mbak pasti mensyukurkan saya karena saya mengalami peristiwa ini?” oh, mengapa suara itu terdengar terluka, bahkan seolah menyalahkan orang lain. Padahal siapa berani berbuat, seharusnya berani tanggung jawab. Siapa yang menanam angin kelak akan menuai badai.
“Saya datang untuk menjengukmu dan menjalin silaturahmi, Dik Tama “ suara itu tenang. Setenang tatap mata yang membuat Arif Suud merasa bersalah. Tapi...
“Oya, Mbak Sri bilang kalau Dik Tama mengajar ngaji di sini ya. Mbak ikut senang kalau kau tidak bisa lebih merasa tenang menjalani hari-harimu.”
Arif Suud Utama memilih tidak menjawab, meskipun dalan hati dia mengucapkan terima kasih. Ah, benarkah mbakyunya itu tidak memendam dendam padanya?
Seruti kemudian meninggalkan adiknya yang terpekur. Titi menghampiri sang suami, dan anak-anaknya, sebelum Mbak Sri datang dan mengajak mereka makan bersama.
“Ayo bantu aku menyiapkan makanan, Ti.”
“Ayo Mbak.”
“Kau tadi sudah bermaafan sama Suud?” tanya Mbak Sri ketika mereka menyiapkan piring-piring.
“Sudah, Mbak,” jawab Seruti. “Tapi sepertinya dia marah. Entah apa salahku.”
“Tak perlu kau dengar kalau dia jutek padamu, ya. Bagaimana pun kita saudara, kita dilahirkan dari rahim yang sama.”
“Iya, Mbak. Ibu juga berpesan yang sama..”
Mereka juga meminjam meja besar lauk makan besar. Kurdi dan Firman diajak makan bersama. Kali ini Kurdi dan Firman makan lahap, sengaja mereka mengambil ketupat dan opor sampai munjung. Ketika menata barang sisa makanan ke mobil, merek berdua pun menyisihkan beberapa ke tas kresek, untuk cadangan. Ketika Tumi pamit dan membagikan amplop, Kurdi dan Firman pun tanpa malu-malu mengajukan pertanyaan: “Amplop untuk kami mana, Bu?”
Tumi Nur Azizah menebar senyum dan mengambil amplop kosong lalu memasukkan uang yang nilainya berbeda dengan amplop yang diberikan untuk sipir, apalagi amplop yang diberikan untuk orang kantor dan kepala lapas. Tentu bagi Kurdi dan Firman tidak masalah, yang penting mendapat amplop.
Kali ini ketika mobil istri bupati berlalu yang ering bukan hanya deru debu knalpot tapi juga senyum lebar Kurdi dan Firman.
***
Malam sehabis isya, Firman, Juned, si botak, dan si Tegap, di dalam sel mengisi waktu dengan main kartu seraya ngobrol.
“Ngasih kok ada udang di balik batu,” gumam si Botak.
“Ape maksud lu, kalau ngomong yang jelas, Tak," omel Juned
“Itu...itu istri mantan bupati ngasih nasi box ada namanya.”
“Lha kan wajar saja orang ngasih supaya kita tahu siapa yang ngasih,” cetus si Tegap.
“Istri kiai kok begitu. Konon dia juga anak kiai loh,”
“Kata siapa?”
“Eh, ada yang bilang entah siapa, aku lupa. Tetapi ya kita matur nuwun sudah ada yang ngasih. Seperti saya ini, lebaran gini kagak ada keluarga yang jenguk. Untung dapat nasi kotak.”
“Eeh, Firman, elu kan dekat sama mantan bupati itu, tentu elu dapat angpao banyak. Bagi-bagilah ke kita.”
Firman hanya senyum-senyum saja, teringat ulahnya dengan Kurdi kemarin, yang belajar dari pengalaman pertama.
Mereka tengah asyik main kartu ketika tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari sel sebelah. Mereka meraba pertanyaan.
“Biasa si Dono, " celoteh si Botak. "Dia stres karena kagak ada yang besuk. Boro-boro lebaran, hari biasa pun kagak ada yang tilik. Mana ada anak yang mau datang niliki bapak yang telah membunuh istrinya sendiri.”
“Jadi dia kasus ngebunuh? Orangnya kalem begitu.”
“Justru air tenang yang menghanyutkan.”
***