BAB DELAPAN BELAS
Arif Suud Utama untuk yang kesekian kalinya mengundang Firman datang ke biliknya. Firman buru-buru datang. Sesampai di sana si koruptor tengah menunggunya di bibir ranjang. “Tubuhku sangat lelah, tolong kamu pijat aku, Man.”
Firman mengiyakan. Ini untuk yang ketiga kali dia memijat. Sambil memijat si koruptor yang berbaring hanya bercelana pendek terlihat menikmati pijatan. Firman belajar memijat secara otodidak.
Dulu di surau tempat Firman ngaji ada ustaz bernama Kang Sueb, yang ahli memijat. Sueb yang suka mengajar mengaji anak-anak, setelah itu membagi-bagikan uang. Sueb yang konon pendatang dari pulau seberang. Sueb berumur 25 tahun, tampan dan suka tersenyum, dan kalau mengajar ngaji sabar. Anak-anak menyukainya, termasuk Firman.
Firman suatu hari melihat Sueb memijat jamaah. Firman pernah sekali dipijat oleh Sueb, tapi sering kali Firman melihat Sueb memijat orang. Dari cara melihatnya, Firman pun akhirnya bisa memijat. Suatu hari Sueb memergoki Firman memperhatikan pasien yang sedang dipijatnya. Setelah memijat pasiennya, Sueb mengulurkan tangannya, meminta Firman agar memijatnya. Firman melakukannya.
Sueb memberikan beberapa ilmu dalam hal pijat-memijat kepada Firman. Firman mengiyakan, mempraktikkan, dan akhirnya dia memiliki kemampuan memijat. Konon tangan Firman lembut, sehingga orang yang dipijat merasa nyaman dan cocok. Firman juga sosok yang asyik untuk diajak berbincang. Seperti saat memijat sang koruptor dan mereka terlibat obrolan yang seru.
“Pijatanmu enak, Man. Aku dulu tidak suka dipijat, tapi setelah mengenal pijatanmu aku malah ketagihan,” ujar Arif Suud Utama.
Firman hanya tersenyum, sambil terus memijat. Kali ini pijatannya ke punggung kiri si koruptor yang lebar seperti lapangan bola.
“Kau belajar pijat di mana, Man.”
“Seorang kawan mengajari saya, Pak Yai,” jawab Pras santun. Lalu Firman mengisahkan tentang Sueb.
“Pijatanmu enak, mengapa kau tidak membuka jasa pijat?”
“Dulu belum yakin, Pak. Hanya sesekali saja memijat kawan dan diberi rokok.”
“Kau merokok?”
“Dulu iya, sekarang tidak.”
“Mengapa?”
“Dulu hanya ikut-ikutan kawan. Ternyata saya tidak bisa menikmati saat merokok. Ya sudah saya tidak merokok, lagian juga tidak punya uang.”
“Ya kalau punya uang mending dibelikan makanan bergizi.”
“Apakah Pak Yai merokok?”
“Apakah kau pernah melihat aku merokok?”
“Tidak.”
“Nah itu jawabannya. Aku dulu seusiamu juga pernah ikut-ikutan merokok, padahal aku tinggal di pesantren. Suatu hari konangan Mbah Yai, kami dihukum, disuruh merokok satu pres rokok. Enek. Sejak saat itu aku malah tidak doyan rokok.”
“Pak Yai dulu mondok?”
“Iya. Kalau tidak mondok, saya tidak bakalan jadi kiai dong.”
“Iya. Maksudku Pak Yai dulu mondok di mana?”
Arif Suud menyebutkan nama pesantren tempat dia mondok ketika lulus sekolah dasar.
“Apakah kamu pernah mondok, Man?” tanya Arif Suud.
“Pernah Pak, " jawab Firman, " tapi hanya tiga bulan kemudian keluar.”
“Kenapa?”
“Saya dibully, eh maksud saya tidak punya uang untuk bayar pondok. Ya sudah kemudian keluar dan kerja.”
“Kerja di mana?”
“Di peternakan ayam.”
“Kamu pijat sebelah sini ya, Man,” si koruptor menunjukkan gelang-gelang tangannya. Firman manut. Acara pijat selesai, si koruptor memberikan sejumlah uang, kemudian Firman mengucapkan terima kasih dan pamit pulang, kembali ke selnya.
Malam itu si koruptor tidur sangat nyenyak.
***
Tiga hari kemudian, Arif Suud mengundang Firman untuk memijatnya. Mereka terlibat perbincangan akrab.
“Sekolahmu lulus apa, Man?”
“SMP, Pak Yai.”
“Kamu tidak ingin sekolah lagi?”
“Kepingin sih Pak Yai, tapi tidak punya uang.”
“Bagaimana kalau ada orang yang akan menyekolahkan kamu?”
“Saya akan menerimanya, Pak Yai.”
“Kalau orang itu menyekolahkanmu dengan syarat kamu harus bekerja padanya?”
“Tentu saya mau, Pak Yai. Tapi bagaimana caranya, sedangkan saya masih berada di sini.”
"Tentu saja kau bisa sekolah nanti kalau sudah ke luar dari sini. Aku punya yayasan sekolah kau bisa sekolah di sana. Tapi nanti kau bekerja padaku, entah di perusahaanku, atau jadi supir.”
“Saya tidak bisa menyupir, Pak Yai.”
“Gampang. Nanti bisa kursus mengemudi.”
“Saya inginnya sih bisa naik motor dulu.”
“Gampang. Nanti kamu saya belikan motor bekas pakai.”
“Pak Yai baik.”
“Sekarang kamu pijat saya lagi. Kemarin setelah kamu pijat saya bisa tidur nyenyak.”
“Siap. Saya akan memijat Pak Yai.”
***
Tumi Nur Azizah membenahi bajunya. Arif Suud buru-buru mengenakan sarungnya dan di atas ranjang mereka sejenak berbincang lirih. Seolah sangat takut jika di bilik cinta dalam bui ini ada seseorang yang mendengar. Padahal di sini hanya ada mereka berdua, bahkan cicak di dinding tak ada.
“Maafkan aku, Dik.”
“Tidak apa-apa, Abi. Aku tahu Abi sedang banyak pikiran. Aku sudah senang kalau melihat Abi sehat dan bugar.”
“Jangan cerita sama siapa-siapa keadaan ini, Dik. Aku malu.”
“Tentu saja tidak, Bi.”
“Aku ke kamar mandi dulu, Dik.”
Arif Suud Utama memasuki kamar mandi, kemudian tidak lama terdengar suara kran berbunyi, air mengalir. Sementara Tumi Nur Azizah menghela napas panjang beberapa kali, menguapkan gundah. Ini entah untuk yang keberapa kali si mantan koruptor loyo, padahal mereka sudah membayar mahal untuk menyewa bilik cinta.
Tetapi seperti sebulan lalu, kali ini pun si koruptor terlihat loyo dan tidak bisa menjalankan fungsi kelaminnya untuk berhubungan suami-istri. Padahal sebelumnya tidak pernah, dua puluh tahun menikah, hubungan mereka hangat dan sama-sama puas. Meskipun seiring waktu jam perkawinan, frekuensi mereka berhubungan tidak sering seperti saat pengantin baru, tapi ini wajar-wajar saja. Seperti sekarang ketika Tumi Nur Azizah harus menganggap wajar ketika si koruptor loyo.
“Tadi bisa, Dik. Tetapi tadi saat hendak melakukan mengapa loyo?”