BAB SEMBILAN BELAS
“Katanya ibumu seorang pelacur, Man?”
Firman tercekat dan ada yang bergejolak dalam hatinya ketika malam itu, ketika dia memijat Arif Suud Utama, dan lagi-lagi laki-laki tua yang dipanggilnya Pak Yai itu mengajaknya bergunjing tentang ibunya. Perempuan yang pernah melahirkannya. Kadang Firman membenci ibunya, kadang merindukannya. Firman teringat masa-masa bocil. Sungguh dia hanya ingin mengingat kebaikan ibunya, bukan keburukannya!
“Siapa yang bilang, Pak Yai?” sebisa mungkin Firman meredam letup amarah. Siapa yang memburukkan nama ibunya ke Pak Yai? Awas!
“Si Kurdi,” jawab Arif Suud tenang. Terasa nikmat sekali dipijat, oh, oh.
“Kurdi ngawur, Pak Yai, ” suara Firman pelan tetapi tegas.
“Kau pijat yang sebelah situ, Man. Nikmatnya pijatanmu. Lebih keras lagi, ya.”
Sebenarnya Firman pernah berkisah, lebih tepatnya berkeluh kesah perihal ibunya yang suka berganti-ganti lelaki. Ibu memang cantik, mungkin karena itu banyak pacarnya. Ibu suka pergi bersama lelaki-lelaki itu, tapi apakah artinya ibu pelacur?
“Siapa nama ayahmu, Man?” di antara kenikmatan pijat, Arif Suud masih mengajak ngobrol. Firman meneruskan memijat. “Pertama aku melihatmu aku ingat kawanku di pesantren dulu. Namanya Miftah Ali. Apakah ayahmu bernama Miftah Ali?”
“Tidak, Pak Yai. Eh, tidak tahu.”
Sungguh, Firman paling tidak bisa menjawab saat orang bertanya perihal ayahnya. Boro-boro sosoknya, namanya pun, Firman tidak pernah tahu. Sejak kecil sejak suka bermain bola Firman sering diejek teman-temannya. “Anak haram, anak haram!”
Firman pulang dan mengadu pada Nenek Ipah, yang membesarkannya. Nenek Ipah konon adalah ibu dari ibunya. Nenek Ipah yang seharian di rumah, mengurusi masak sampai cuci baju, sementara Guri, ibu Firman setiap hari pergi, katanya bekerja di pabrik. Tapi dia sering pulang dengan lelaki yang berbeda. Guri empat kali pulang ke rumah dengan perut besar. Firman adalah anak yang dilahirkan dari kehamilan pertama Guri. Guri bercinta dengan suami orang, dan lelaki itu minggat saat tahu Guri hamil.
“Apa artinya anak haram, Nek?”
“Anak haram itu anak yang dilahirkan tanpa tahu siapa ayahnya.”
“Apakah aku anak haram, Nek?”
“Tentu tidak. Ayahmu ada, ibumu tahu siapa ayahmu. Nanti kalau kau sudah besar kau boleh menanyakan padanya.”
“Mengapa tidak sekarang, Nek?”
“Apakah kau mau ibumu marah dan kita kelaparan?”
Pernah Firman bertanya pada ibunya mengapa sering pergi, dan si ibu membentak, ”Apa anak kecil ingin tahu? Ibu setiap hari pergi agar kau, dan adik-adikmu juga nenekmu tidak mati kelaparan.”
Sejak dibentak Ibu, Firman tidak pernah bertanya lagi. Ketika di sekolah saatnya terima rapor pun Firman tidak berani memberikan undangan pada Ibu. Jika pun ada undangan, belum tentu Ibu mau datang. Nenek Ipah pun yang datang mengambil rapor.
Firman sudah duduk di bangku kelas empat SD dan sudah punya satu adik perempuan, ketika Ibu kemudian melahirkan bayi perempuan, setahun kemudian Ibu melahirkan lagi bayi laki-laki. Bayi-bayi yang dibesarkan oleh Nenek Ipah dan kemudian ada yang diambil anak angkat oleh orang-orang kaya.
Seiring waktu bergulir, Firman merasa perhatian nenek berkurang. Firman mulai mencari perhatian dengan berbuat nakal di sekolah. Firman sengaja menakut-nakuti Tia, si bintang kelas di sekolahnya. Firman menarik kursi yang hendak di duduk Tia, sehingga Tia terjatuh dan lumpuh. Orang tahu Tia ngamuk dan menuntut pihak sekolah agar menghukum Firman. Bahkan mereka melaporkan perbuatan Firman ke kantor polisi.
Firman diadili di ruang kepala sekolah. Firman menangis dan ketakutan. “Apakah aku akan dipenjara?’
“Iya. Kau akan dipenjara supaya kapok!” ancam kepala sekolah.
“Aku tidak sengaja menarik kursi Tia. Aku hanya bercanda.”
“Bercandamu bikin anak orang celaka,” kutuk si kepala sekolah.
Firman menangis meraung-raung, dan Nenek Ipah datang. Si nenek menangis, mengaku semua perbuatan Firman karena kesalahannya. Si nenek menangis dan memohon kalau dirinya saja yang dihukum.
“Saya sudah tua biarkan saya yang menggantikan Firman.”
“Nenek tidak bersalah, “ seorang guru menepuk dan mengelus pundak Nenek Ipah.
“Tapi Firman nakal begini karena kesalahan saya. Saya yang membesarkannya sejak bayi dan mendidiknya.”
“Di mana kedau orang tuanya Firman, Nek?”
“Ibunya kerja di Jakarta, dan ayahnya minggat sejak Firman dalam kandungan ibunya.”
Tentu yang benar, ibunya bekerja di pabrik, hamil dengan teman sepabrik, dan si lelaki tidak bertanggung jawab kemudian meninggalkannya. Kemudian, si Guri mengulangi kehamilannya lagi, dengan lelaki lain, dan si lelaki, lagi-lagi tidak sudi bertanggung jawab.
“Kasihan Firman,”
Kabar Firman yang dibesarkan nenek yang bekerja sebagai pemulung membuat iba hati si orang tua Tia. Mereka pun menarik laporan. Juga si Firman masih di bawah umur, jadi percuma jika pun menuntut secara hukum. Juga mereka berpikir masa depan Firman masih panjang. Mereka pun memaafkan perbuatan Firman. Toh Tia akhirnya bis dioperasi dan sembuh dari lumpuh. Tia bisa kembali berjalan setelah berbulan-bulan duduk di kursi roda. Firman datang meminta maaf dan berjanji tak akan nakal lagi.
Kenyataannya, setelah lulus SD, Firman tidak bisa melanjutkan ke SMP. Firman mengisi harinya dengan bekerja apa saja, disuruh apa saja, bersih-bersih rumah, menjadi pelayan, sampai umur Firman menginjak lima belas tahun. Firman bekerja sebagai tukang parkir. Firman rajin, tapi salah pergaulan. Firman diajak merokok dan mabuk.
Suatu hari Firman kehabisan rokok dan dia melihat sepeda baru di parkir di halaman rumah sepi. Firman mencurinya. Firman tidak tahu kalau rumah dipasang CCTV. Firman ditangkap dan menghuni lapas. Firman yang sejatinya masih berumur lima belas tahun, tapi demi bisa bekerja dia membeli KTP tembakan yang menyatakan umurnya tujuh belas tahun.
***
Dulu, dulu sekali, ketika Firman masuk penjara, dia sangat ketakutan. Kurdi adalah orang yang pertama menenangkan Firman. Kurdi orang yang melindungi Firman dari pemerkosa dan pencari berahi di penjara.
Firman yang lumayan ganteng, berkulit bersih, dan muda menjadi incaran lelaki kesepian di penjara, yang mereka tidak memiliki duit untuk membeli seseorang yang bisa memuaskan berahi. Firman yang polos hanya manut ketika Kurdi mengajarinya untuk menolak ajakan penghuni sel yang tidak dikenalnya.
Selama di penjara, lingkup pergaulan Firman tergolong orang-orang yang baik, meskipun ketika berahi mereka, para laki-laki itu melakukan dengan ngloco, entah dengan tangan sendiri atau bantuan tangan orang lain. "Itu lebih baik, daripada pantatmu ditusuk mereka, “ cerocos Kurdi.
“Pantat ditusuk apa?”
“Ini, “ Kurdi menunjuk kelaminnya, terkekeh. Tapi Firman malah termangu. Tiba-tiba dia ingat peristiwa silam, ketika dia berumur sembilan tahun, ketika suatu hari Firman dan Dio bermain di pelataran sebuah masjid. Mereka dihampiri seorang marbut masjid.
“Dik, apakah kalian mau mendapat kaus dan celana sepak bola baru?”
“Mau, mau Bang.”
“Saya juga mau, Bang.”
“Kalau mau, ayo kalian ikut saya. Kalian harus dikukur dulu supaya kaos dan celana pas.”
Si marbut mengajak Firman dan Dio ke lantai dua masjid, di ruang kosong, Adi dan Firman disuruh melepas baju dan celana.
“Lepas semua pakaianmu, Dik. Kakimu juga nanti aku ukur, kalian kan dapat sepatu baru juga.”
Dua bocil manut dan telanjang bulat, kemudian si marbut menggesekkan kelaminnya ke dubur si bocil, sampai muncrat. Kemudian kedua bocil disuruh memakai baju dan diberi uang lima ribu rupiah.
“Sudah selesai, kalian boleh pulang. Kalian sudah diukur. Besok ke sini untuk mengambil kaos, celana, dan sepatu.”
Dio dan Firman pulang, besoknya kembali ke masjid, dan tidak bertemu si lelaki, tidak juga mendapatkan baju, celana, dan sepatu.
Firman kemudian melupakan peristiwa itu. Firman tidak tahu kalau hari itu dirinya sudah disodomi oleh si predator. Firman hanya merasakan anusnya sedikit perih, dan diobati obat merah, kemudian dia melupakannya. Tidak pernah bercerita. Dio pun demikian, tidak lama setelah peristiwa buruk itu dia pergi, pindah mengikuti ibunya yang merantau ke Jakarta.
***
Pada Kurdi pun, Firman tidak menceritakan pengalaman buruk itu, Firman hanya menceritakan pengalaman mengapa dia masuk ke penjara, sebagai kenakalan seorang anak: mencuri. Ketika Kurdi bertanya siapa orang tuanya, lagi-lagi Firman membeberkan apa yang diketahuinya perihal ibu, dan neneknya.
“Aku tidak pernah tahu siapa ayahku, “ gumam Firman. “Sejak aku dalam kandung ayah meninggalkan ibu, begitu menurut cerita nenek Ipah.”
“Nenek Ipah berarti emak dari ibumu?”
“Aku tidak yakin. Nenek Ipah wajahnya sangat beda dengan ibu. Ibu secantik merak, sedangkan Nenek Ipah seperti burung gagak,” ujar Firman mengibaratkan. Ketika TK pertama Firman melihat gambar burung merak yang bulunya warna-warni dan sangat indah, dan burung gagak yang bulunya hitam dan menyeramkan.
“Apakah kau tidak bertanya pada ibumu?’
“Bertanya tentang apa?”
“Semuanya yang kau ingin tahu.”
“Untuk apa. Aku bertanya satu yang ingin aku tahu saat itu ibu sangat marah.”
“Apakah kau menyimpan foto ibumu?”
“Iya. Dalam dompetku.”
Firman mengambil foto dalam dompetnya, memperlihatkan pada Kurdi. Kurdi mengamati foto dan membandingkan dengan Firman.
“Mirip seperti dirimu," ujar Kurdi singkat.
“Kau mau bilang aku seperti merak?”
“Ibumu cantik dan kau ganteng.”
“Mereka juga bilang begitu. Ibuku cantik dan karena itu banyak pacarnya dan suka berganti-ganti lelaki di ajak ke rumah.”
“Lelaki diajak ke rumah, menginap?”
“Ya. Aku pernah melihat mereka berdua telanjang dan terdengar suara-suara jeritan aneh. Tetapi nenek melarangku mendekat.”
“Apakah tetanggamu tidak tahu?”
“Rumah kami, mungkin lebih tepat gubuk kami di dekat sungai, jauh dari tetangga.”
“Jadi?”
“Begitulah sampai aku kelas empat SD, ibu kemudian melahirkan adik-adikku. Ada tiga adikku. Dua perempuan dan satu lelaki. Si perempuan diambil orang, katanya diambil anak angkat. Kemudian si ibuku membawa si bungsu pergi, katanya kerja di Kalimantan, dan sejak itu tidak pernah pulang.”
“Kamu ditinggalkan?”
“Ditinggalkan begitu saja.”
“Nenek Ipah?”
“Nenek Ipah meninggal setahun setelah Ibu pergi. Gubuk kamu dibongkar dan aku sejak itu menggelandang, tidur di taman, di masjid dan di mana saja. Hingga suatu hari aku bertemu kawan yang mengajakku parkir dan aku boleh tidur di rumahnya yang sempit, tidak apa daripada aku tidak punya rumah.”
“Ibumu cantik tapi seperti pelacur,” gumam Kurdi, “Sama seperti ibuku yang meninggalkan ayahku demi pergi dengan lelaki muda.”
“Ternyata kita punya nasib yang sama.”
“Aku sangat membenci ibuku, " desis Kurdi. "Apakah kamu juga membenci ibumu?”
Firman tidak bisa menjawabnya.
***
“Saya ingin bertemu bupati Sugriwo.”
“Maaf, Pak, beliau sedang tidak ada di tempat.”
“Bapak Bupati sedang dinas keluar kota.”
“Berapa hari beliau pergi?”
“Kami tidak tahu.”
“Kalau Bapak ada perlu bisa mengisi buku nanti kami sampaikan.”
“Ya.”
Si lelaki mengisi buku tamu. Menuliskan namanya. Seorang temannya juga mengisi buku. Saat membaca kolom di buku, si Satpol PP yang alias penjaga rumah dinas yang sekaligus kantor bupati bertanya,” Tolong kolom isinya diisi, Pak. Apa keperluan Bapak bertemu Bapak Bupati Sugriwo.”
Si lelaki berambut uban mengisi kolom dengan tulisan : urusan bisnis jual beli tanah dan menagih utang.
Si lelaki tegap tapi bermata juling mengisi kolom dengan tulisan: menagih utang.
Setelah mengisi buku tamu mereka pamit, keluar dari gerbang kantor sekaligus rumah dinas bupati. Mobil si tamu di parkir di tepi jalan. Sambil melangkah mereka nggerundel, “Nah, benar kan, setelah dia menjabat kita akan semakin sulit menemuinya. Saat belum jadi wakil bupati saja Sugriwo kucing-kucingan, banyak alasan ketika dicari. Berkali-kali kita mendatangi rumah dan tempat biasa dia nongkrong, tapi hasilnya nihil. Sugriwo seperti punya ajian welut putih.”
“Ada-ada saja kamu.”
“Memang bener. Sugriwo suka ke dukun. Kalau tidak bagaimana kita bisa ketipu dengan mulut manisnya.”
Keduanya melaju mengendarai mobil menelusuri kota kecil, siapa tahu bertemu Sugriwo.
“Kita ke mana ini?”
“Ke pabrik Sugriwo.”
“Apakah dia ada di sana?”
“Kalaupun tidak bertemu dia, kita bisa bertemu orang pabrik dan mencari keberadaan Sugriwo.”
Mobil diarahkan ke pinggiran kota. Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata.
“Kau pernah ke pabriknya kan?”
“Pernahlah.”
“Masih ingat jalannya?”
“Masih. Seperti aku masih ingat hutang Sugriwo padaku. Satu kontainer mebel gudangku diambilnya dan belum dilunasi sampai sekarang.”