BAB DUA PULUH
Dua Satpol PP penjaga rumah dinas Bupati Tri Sugriwo sedang berjaga. Sore teduh, mereka berada di pos jaga, si Penjaga Muda memeriksa buku absen tamu dan menemukan beberapa kolom yang diisi: menagih utang. Dia mengernyitkan kening. Temannya, si Penjaga Tua menjotos lengan besarnya.
“Ada apa bengong?”
“Sudah kerap kita kedatangan tamu uang ingin bertemu bupati dan keperluan bertemu: menagih utang,” si penjaga menunjukkan buku tamu.
Si Penjaga Tua sejenak merenung. “Mungkinkah gosip selama ini benar, kalau bupati ngemplang?”
“Ya. Aku juga pernah dengar dan baca di koran. Ada orang yang nagih pembayaran tanahnya yang dibeli dan belum lunas.”
“Nah, itu kan katanya gosip yang disebarkan musuhnya karena kalah pilbub.”
“Apa mungkin yang datang tadi orang-orang suruhan, yang dibayar musuh?”
“Mungkin saja. Entahlah."
"Bupati selalu berpesan kalau ada orang reseh yang mencarinya, bilang saja kagak ada, walaupun bupati ada di rumah dinas. Dan kita kudu manut. Kalau tidak mau dipecat.”
“Berarti kita membohongi mereka?”
“Apalagi daya kita sebagai wong cilik, Bro. Apa mau kau dipecat?’
“Tentu saja tidak. Kalau dipecat dari mana bisa ngidupin anak istri. Dari mana bisa balikin modal kerja masuk jadi penjaga gini juga ada uang masuk kan. Jutaan.”
“Samalah. Bedanya aku lebih dulu masuk, tapi kok gajian kita samaan nilainya?”
“Kan tugas kita sama-sama jagain pintu gerbang, jagain kalau ada tamu. Jagain rumah dinas bupati.”
***
Sepasang suami istri bertubuh ringkih itu setiap hari mendatangi tambak yang luas membentang di perbatasan desa mereka. Tambak seluas dua hektar itu dulu milik mereka. Tetapi setelah anak-anak besar dan membutuhkan ongkos untuk kuliah di laur kota, mereka harus menjual tambak, padahal tambak garam itu masih berproduksi, tapi si suami sudah merasa tua dan semakin ringkih, meskipun memiliki para pekerja untuk memproduksi garam, dia berpikir untuk beristirahat. Si istri setuju.
Suatu hari datang seorang makelar dari luar kota yang katanya berminat pada tambak milik si sepasang suami-istri sepuh. Mereka bertemu dan memperbincangkan harga jual tambak.
“Benarkah Wak Haji ingin menjual tambak?”
“Benar.”
“Mengapa Wak Haji ingin jual tambak?”
“Saya dan istri semakin tua. Kami berencana hidup seadanya setelah tambak terjual dan uangnya dibagi dengan anak, kami akan beli tanah rumah kecil dan hidup bertani.”
“Berapa harga yang diminta.”
“Harga umum saja.”
“Tuan kami akan membeli harga lebih mahal.”
“Siapa tuanmu. Orang Jakarta?”
“Betul, beliau orang Jakarta dan banyak memiliki usaha dan tentu saja banyak memiliki uangnya. Kalau bapak setuju saya bisa mempertemukan dengan tuan saya supaya proses pembelian segara.”
“Saya tidak keberatan.”
Pada hari cerah seorang lelaki tahu tapi gagah dan perlente bermobil mewah mendatangi Wak Haji dan mengaku dialah yang akan membeli tanah tambak. Perbincangan terjadi dan bermuara kesepakatan harga. Si tuan mengenalkannya pada pengacara yang akan mengurusi jual beli tanah. Hari itu si tuan meninggalkan uang persekot.
Demikian kemudian beberapa hari mereka datang ke notaris, dan si Tuan membeli tanah dengan sistem dibayar separuh kontan. Si Wak Haji yang percaya pada mulut manis, pun di atas surat pernyataan bermaterai, bertanda tangan kalau pelunasan akan dilakukan dalam waktu tiga bulan.
Baru dua bulan kemudian tiba-tiba si Tuan datang dan mengatakan sedang mengalami musibah, pabriknya terbakar dan memohon agar si Wak Haji meminjamkan sertifikat. Si Wak Haji merasa ditolong, jatuh iba, memberikan sertifikat, dan janji pelunasan satu bulan kemudian.
Namun nyatanya, lima tahun berlalu, si Tuan tak pernah datang dan pelunasan pun tak pernah terwujud. Tanah seluas dua hektar hanya dibayar separuh harga. Setelah tanah terbeli, si orang suruhan tuan memagari tanah dan mempengaruhi tanah yang konon akan dibangun untuk perumahan. Si Tuan yang mengaku dari Jakarta tiada lain adalah Tri Sugriwo.
Si Wak Haji dan istrinya beberapa kali berusaha menyewa pengacara untuk mengurus maslah ini, tapi hasilnya nihil. Beberapa kali berusaha bertemu Tri Sugriwo, tapi jangankan bertemu, membaui tubuhnya pun tidak pernah. Jalan terakhir si Wak Haji menemui seorang wartawan membayarnya dan berita tentang dirinya dimuat di surat kabar. Sehari setelah itu malah datang surat ancaman yang dibawa oleh seseorang.
“Ada pesan dari tuan saya di Jakarta, “ ujar si makelar yang datang bersama tuannya bertahun silam. Dia mengulurkan surat, membisikkan pula ancaman.
“Saya ingatkan bapak tidak usah lagi mengurus soal tanah tambak, apalagi mengungkit di media. Kalau bapak ingin selamat, lupakan dan ikhlaskan saja tanah itu.”
“Bagaimana saya ikhlas. Jika hanya uang satu juta saya mungkin ikhlas, tapi ini bermiliar-miliar.”
“Secara hukum tuan saya sudah memiliki sertifikat tanah itu.”
“Tuanmu seorang yang zalim. Tak akan selamat dia memakan uang haram!"
***
Untuk kesekian kalinya Buldani diajak oleh Tumi Nur Azizah membesuk Arif Suud Utama. Buldani memanfaatkan kesempatan, berbincang, mengulik sisi kehidupan sosok yang kelak buku biografinya akan ditulisnya. Ketika melihat Arif Suud memandangi foto buah hatinya yang dipajang di meja, maka Buldani ingin mengetahui hubungan emosi seorang ayah dan anak yang terpisah sementara waktu karena sebuah kondisi. “Maaf, apakah Bapak sering kangen pada anak-anak?”
Sepasang mata Arif Suud menerawang. “Siapa yang tak kangen? Tetapi saya memang biasa dalam kondisi seperti ini, " suara Arif Suud terdengar sangat dipenuhi emosi, terkadang mengalun keras, terkadang melembut, dan memelan, seolah menggambarkan kondisi jiwanya. "Sejak kecil anak-anak lebih dekat dengan ibunya. Sedikit-sedikit, tanya, mana ibu-mana ibu. Saya sangat bersyukur istri saya sangat bisa mengurus anak-anaknya. Alhamdulillah dari sekolah TK sehingga kuliah, si istri yang memegang semua urusan. Saya hanya menandatangani pengeluaran biaya sekolah, biaya mondok, dan lain-lain. Setelah besar, anak-anak juga lebih dekat dengan ibunya.”
“Setelah bapak mengalami kasus ini bagaimana hubungan dengan anak?” Buldani bertanya dengan hati-hati, perlahan ceruk hati itu terbuka.
“Sepertinya tidak berubah," suara Arif Suud sejenak bergetar. "Anak-anak, si sulung Zulfikar dan anak kedua, Zulaikah, keduanya sudah dewasa. Mereka sudah mempunyai dunia sendiri, bersama kawan, menekuni hobi, menekuni pekerjaan dan juga menempuh pendidikan.
Mereka sepertinya tidak masalah. Saya ingat, ketika saya pertama datang ke lapas, mereka juga turut mengantar. Ketika hari lebaran mereka juga datang. Kami makan bersama dan saling bermaafan.
Setelah itu mereka sibuk dengan dunianya masing-masing. Saya hanya bertanya berpesan pada istri untuk mengawasi anak. Jangan lupa salat.
Entah, saya merasa tidak bisa dekat dengan anak, mungkin karena saat mereka bayi, hampir tidak pernah saya menggendong mereka, boro-boro menceboki. Saya jijik melihat ingus apalagi tai. Tetapi istri saya bisa. Ah, Dik Tumi memang perempuan hebat. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa didampingi dia.
Tetapi namanya hidup, sekarang ternyata saya bisa tetap hidup tanpa didampingi istri. Jangan tertawa, aneh kalau saya berada di bui, terus saya meminta istri saya mendampingi, yang berarti otomatis sama-sama dia masuk bui juga. Hahaha, tidak lucu sama sekali.”
“Jadi kalau saja Bapak boleh memilih, hidup tanpa istri atau hidup tanpa anak?”
“Kedua-duanya sama-sama pilihan sulit, tetapi ketika dijalani, ternyata saya bisa ya sekarang malah berada di sini, hidup tanpa anak dan istri. Sudahlah, manusia hanya berencana, namun Allah yang menentukan. Aku tidak perlu menyesali apa yang terjadi hari ini. Coba, kalau saya tidak di sini, manalah mungkin saya bisa kenal sama kamu, bahkan kamu hendak menuliskan buku tentang saya.”
“Begitulah kehidupan,” gumam Buldani tersenyum takzim.
“Begitulah kehidupan,” gumam Arif Suud Utama, mengulang, dan juga tersenyum mengenang alur hidupnya.
“Di antara ketiga anak siapa yang paling sifatnya mirip dengan Bapak?”