Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #21

Chapter #21 BAB DUA PULUH SATU

BAB DUA PULUH SATU

 

“Kami sudah menemukan tanah yang tepat. Tetapi kami terkendala izin.”

“Izin nanti saya yang mengurusnya. Saya punya kuasa.”

“Siap, Bos.”

“Lokasi tanah berada di mana?”

“Desa Pucakwangi, Bos."

"Berarti masih kawasan kota."

"Betul, Bos. Sayangnya tanah itu berbatasan dengan makam desa.”

“Berapa luas makam itu?”

“Nyaris sama dengan tanah yang kita incar.”

“Kalau begitu mengapa tidak kita gusur saja makam desa itu.”

“Sepertinya sulit, Bos. Makam desa itu termasuk makam keramat yang banyak dikunjungi peziarah.”

“Tidak masalah nanti aku pikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.”

“Siap, Bos.”

Pada hari yang baik, si Bos Kontraktor sowan kepada Bupati Tri Sugriwo. Mereka rapat sehingga pada keputusan untuk membangun pabrik dengan menggusur makam keramat.

“Apakah bapak bupati memilik cara agar masyarakat menurut?”

“Jangan khawatir. Besok saya akan memanggil camat dan kepala desa yang wilayahnya terdapat makam keramat itu."

Pada pertemuan antara bupati, camat, dan kelapa desa pun terjadi kesepakatan. Si camat hanya mengiyakan, sementara si kepala desa hanya manggut-manggut, tanda tunduk ia pada keinginan pimpinan.

“Bagaimana cara agar masyarakat setuju?" Tri Sugriwo melemparkan bola panas. “Seperti biasa. Kita memberikan mereka lahan untuk pengganti makam. Juga uang untuk mereka bikin senang.”

“Makam-makam keramat itu berarti harus dipindahkan?” bisik Si Kepala Desa.

“Tentu saja. Apa susahnya memindahkan tulang belulang?!”

“Bapak bupati di situ ada makam cikal bakal desa tersebut. Bagaimana kalau warga menolak?” tanya si Camat.

“Tidak perlu repot. Kalian bikin punden baru,” usul si Tri Sugriwo. "Punden yang isinya tong kosong untuk warga tidak akan tahu. Kita bisa bayar orang-orang untuk meyakinkan bahwa di sana ada makam keramat punden mereka.”

“Saya setuju saja yang usulan Bapak Bupati.”

“Kapan kira-kira pembongkaran dimulai?”

“Secepatnya. Nanti saya akan bikin surat dan orang saya untuk mengurusnya.”

                                                            ***

Semula warga Desa Pucukwangi tidak setuju ketika Si Kepala Desa hendak menjual tanah makam desa yang dipercaya keramat. Makam keramat yang di sana bersemayam punden, cikal bakal Desa Pucakwangi. Berkat mulut manis Carik Sugali, hati warga luruh. Demi pembangunan, demi kesejahteraan yang dijanjikan oleh si Kepala Desa, dan janji manis Carik Sugali, tanah makam keramat terjual. Sebagian uangnya dibelikan lahan di ujung desa, bersebelahan dengan hutan. Di sana dibangun pemakaman baru.

Warga memindahkan jenazah. Si Kepala Desa memberi waktu sepuluh hari. “Semakin cepat dipindahkan, pabrik segera dibangun dan berproduksi!”

   “Bagaimana dengan punden, makam tua yang tak ada ahli warisnya, Pak Kepala Desa?”

  “Ratakan saja. Toh tulang-belulangnya sudah jadi tanah.”

  “Bagaimana kalau warga tahu dan marah?”

  “Kau tak perlu khawatir, Wo. Sebagai orang kepercayaanku kau tahu apa yang harus dilakukan. Buatlah nisan punden semirip mungkin, persis seperti yang ada di makam keramat-di komplek makam baru. Biar penduduk tetap bisa ziarah ke sana.”

  “Punden baru...?”

 “Warga tak akan tahu apakah punden itu berisi mayat, tong, atau kosong bolong.”

  “Baiklah, Pak Kepala Desa.”

 Tiga bulan kemudian pabrik sepatu berdiri. Warga Desa Pucukwangi diterima bekerja di pabrik. Lingkungan sekitar tumbuh: kos-kosan, warung makan, tempat parkir, laundry

 ***

 Arif Suud semakin sering meminta Firman untuk datang ke selnya. Malam itu ketika Firman datang ketika Pak Yai sedang mengaji. Firman mendengarkan suara Pak Yai yang mengalunkan ayat suci. Suara Pak Yai fasih dan ketika membaca surat-surat. Tentu saja, Arif Suud lama mondok, juga pernah memenangi lomba MTQ tingkat nasional.

Setelah selesai mengaji Arif Suud meminta Firman memijatnya. Sebelum memijat seperti biasanya Arf Suud meminta Firman menginjak-injak badannya, setelah selesai baru Firman memijatnya dengan tangannya. Sambil memijat, Firman tiba-tiba bertanya pada Arif Suud.

“Apakah pelacur pekerjaan yang hina, Pak Yai?”

Lihat selengkapnya