BAB DUA PULUH DUA
Prasetya Adipura namanya. Pemuda berbadan tegap, berparas ganteng, berkulit sawo matang. Prasetya yang biasa dipanggil Setya oleh teman-teman sekolah, biasa dipanggil Yoyok oleh keluarganya atau teman karibnya, tetapi di lingkungan kerja barunya sekarang, jejaka bermata elang itu biasa dipanggil dengan nama singkat yang beraroma maskulin: Pras.
Hari menjelang sore, Pras mengetuk pelan-pelan pintu ruangan kerja Bupati Tri Sugriwo.
“Siapa di luar?”
“Saya, Pras, Pak.”
“Ya. Masuk.”
“Bapak saya ke sini untuk mengingatkan kalau sekarang ini jadwal bapak untuk minum obat. Saya sudah menyiapkan obatnya.”
“Ya, bawa ke sini.”
Pras membawakan nampan berisi botol obat. Tri Sugriwo meraihnya, meletakkan beberapa kapsul ke telapak tangan, lalu hup, obat melewati tenggorokan. Tri Sugriwo segera meminum segelas air putih yang ada di atas meja kerjanya.
“Sebenarnya saya kadang malas setiap hari minum obat. Tetapi kalau tidak minum bagaimana kesehatan saya nanti? Makanya sangat beruntung orang yang ketika usai muda tidak merokok, tidak miras. Apakah kau merokok, Pras?”
“Alhamdulillah, tidak, Pak.”
“Ya, beruntunglah kau.”
“Tetapi saya kadang merasa rugi, Pak. Kalau saya merokok mungkin sering dapat rokok dari bapak seperti para penjaga di luar.”
“Haha, kau bisa-bisa saja.”
“Maaf, kalau bercanda saya kelewatan, Pak.”
“Tidak mengapa. Delapan bulan kamu kerja di sini, layani saya. Saya suka.”
“Terima kasih, Pak.”
“Apa jadwal saya sore dan malam nanti? Apakah ada acara peresmian masjid atau bangunan lain?”
“Ada, Pak.”
“Ya, sudah nanti saya diingatkan lagi ya minum obat sebelum pergi.”
“Iya, Pak.”
Pras hendak berlalu, ketika Bupati Tri Sugriwo memandanginya.
“Tolong kamu bilang pada penjaga di luar, kalau ada orang mencari Bupati Sugriwo, bulang saja sedang pergi dinas ke luar kota atau luar negeri. Pokoknya Bupati Sugriwo tidak ada tempat, sangat sibuk. Tapi mereka boleh menuliskan ada keperluan apa.”
“Baik, Pak. Permisi.”
“Ya.”
Pras meninggalkan ruangan Bupati Tri Sugriwo dan mendatangi para penjaga yang sedang piket.
“Ada pesan dari Bapak Bupati Sugriwo. Kalau ada yang mencari bapak Bupati Sugriwo bilang saja kalau Bapak Bupati sedang dinas ke luar kota atu luar negeri. Tamu boleh menuliskan laporan di buku tamu, apa keperluannya menemui Bupati Tri Sugriwo.”
“Lha pesannya kok sama seperti kemarin, Mas?”
“Iya sama. Kemarin lagi juga pesannya begitu.”
“Bapak ada-ada saja. Nanti saya laporkan ke Bapak Bupati Sugriwo loh.”
“Jangan, Mas. Kalau dilaporkan, nanti kalau saya dipecat, terus saya makan apa? Apa Mas mau kasih saya makan, bukan hanya saya loh, tapi ada satu istri dan tiga anak lagi. Anaknya makannya banyak lagi.”
“Saya cuma bercanda, Bapak.”
“Saya juga tahu kalau kamu tak bakalan tega melaporkan kami.”
“Eh, kemarin ada rokok dari Bapak Bupati untuk kalian.”
Pras mengambil rokok dan menyerahkan ke para penjaga.
“Bapak Bupati orangnya baik, meskipun sangar tapi suka kasih kita rokok dan oleh-oleh kalau pulang dari luar kota atau luar negeri”
“Alhamdulillah.”
“Mas Pras pasti sering ya dapat oleh-oleh. Kan Mas Pras ajudan bupati.”
“Sama saja. Kalau saya dapat juga sering saya berikan ke bapak bapak. Lagian untuk apa saya simpan, saya tinggal sendiri. Enggak bakal abis.”
"Ini loh yang saya heran, mengapa Mas Pras belum menikah. Kurang apalagi, ganteng, gagah, pinter.”
“Belum ada jodoh, Pak.” Benarkah setiap orang ada jodohnya?
“Apa pernah patah hati.” Cukup sekali patah hati, dan hatiku telah mati.
“Tidak. Belum ada jodoh saja, Pak.” Dulu, dulu sekali ketika awal SMA, Pras pernah jatuh cinta pada siswi manis, teman sekelas. Siswi manis lebih memilih Rezaldy, teman sebangku Pras. Rezaldy yang tidak seganteng dan secerdas Pras. Rizaldy yang anak pejabat kaya, yang naik mobil ke sekolah, dan sering mentraktir teman-teman sekelas, termasuk si siswi manis. Apa gunanya ganteng tetapi miskin? Apa gunanya ramah, tetapi si siswi manis hanya menganggapnya teman biasa? 'Kamu terlalu baik untuk aku, Pras'. Taik kucing!
“Mas Pras ini orangnya sumeh juga. Dulu kuliahnya sampai S2, ya?”
“Alhamdulillah. Setelah lulus S-1, saya dapat beasiswa melanjutkan kuliah ke S2. Kemudian bekerja free lance dan mendapat pekerjaan sebagai ajudan Bupati Sugriwo.”
“Apakah lewat ordal, Mas?”
“Ordal?”
“Orang dalam. Wong saya kerja jadi penjaga gini saya bayar jutaan untuk bisa diterima.”
“Aku juga menjual motorku, kemudian diterima di sini, dan bisa beli motor lagi, meskipun dicicil.”
“Saya sama sekali bukan lewat ordal, Pak, Saya hanya membaca loker di internet dibutuhkan ajudan bupati. Saya mendaftar sesuai persyaratan. Salah satunya masih single dan harus berpendidikan minimal S2.”
“Wah, tahu begitu saya ikutan daftar, saya kan S3. SD SMP SMA.”
“Bapak-bapak ada ada-ada aja. Sudah, ya, Pak, saya ke dalam dulu.”
“Iya, Mas Pras.”
***
Siang di hari Sabtu bulan November yang adem, Buldani mendapat jadwal mengisi kelas menulis di Perpusda.
Buldani duduk di karpet, di hadapannya tersebar kliping karyanya: esai, cerpen, resensi, artikel, yang dimuat di media. Enam kepala memandang bangga. Tanpa terasa ini sudah tahun ke-5, Buldani dan kawan-kawannya mengadakan kelas pelatihan menulis fiksi dan nonfiksi. Lima tahun lalu, ketika peluncuran acara, puluhan peserta datang. Bulan-bulan pertama yang datang belasan. Peserta beragam usia, dari anak SD, SMP, SMK, mahasiswa, juga lulusan kuliah. Kelas cerpen yang paling banyak peminat. Beberapa siswa berhasil menulis cerpen dan puisi. Beberapa peserta ada yang cerpennya berhasil dimuat di media.
“Untuk bisa dimuat di media sangat ketat seleksi dari redaktur. Setiap hari naskah yang masuk jumlahnya puluhan bahkan ratusan, sementara yang dimuat hanya 1 cerpen,” jelas Buldani.
“Apa artinya hanya karya bagus yang lolos media, Kak?”
“Tentu saja. Karya yang bagus, dan sesuai persyaratan secara teknis. Misalnya jika sebuah media mensyaratkan kata maksimal 10.000 cws ya ikuti. Jangan mengirim naskah lebih dari 10.000 cws.”
“Cws itu apa, Kak?”
“Characters with spaces.”
“Bahasa inggris ya, Kak?”
“Bagaimana supaya tahu karya kita sepanjang 10.000 cws, Kak?”
Buldani membuka laptopnya dan memberitahu cara memeriksa naskah berapa cws atau berapa jumlah kata.
“Ada media yang mensyaratkan naskah dalam hitungan jumlah kata. Semisal koran Japos yang mensyaratkan naskah sepanjang 1700 kata. Koran Oslopos naskah maksimal 10000 cws, atau media SEP yang mensyaratkan naskah cerpen senjang 1000 kata,” jelas Buldani
“Bingung, Kak. Jadi kita harus menulis sepanjang itu, 1700 kata, 10.000 cws atau 1000 kata.”
“Semua bisa dipelajari. Tulis dulu cerpennya. Setelah kelar, kemudian endapkan dalam waktu 3 hari atau 1 minggu kemudian kita buka. Saat itu kita akan menemukan salah ketik, typo, salah ejaan, salah paragraf yang enggak nyambung, bahkan judul yang kurang pas.”
“Terus, Kak?”
"Perbaiki cerpenmu. Setelah diendapkan, karya kita kan lebih bagus. Kita sunting karya kita, swasunting. Hingga naskah itu kelar. Kemudian kita periksa jumlah kata atau cws. Setelah secara teknis sudah oke, baru kita berpikir, ini naskah cocok dikirim ke mana.”
“Cara kirimnya, Kak?’
“Pakai email dong. Zaman dulu, Kak menulis masih pakai mesin tik. Kirim naskah juga masih pakai pos, pakai prangko. Sekarang lebih enak dan irit, tinggal kirim pakai email.”
Buldani memberikan file email majalah, koran, atau media yang menerima karya cerpen sampai resensi. Bastian juga mengajarkan cara menulis email.
“Berikut cara menuliskan email dan kata pengantara. Saat mengirim naskah, gunakan kata pengantar. Naskah jangan dikirim di badan email, tapi naskah dikirim dalam bentuk attachment Jangan lupa menyertakan kata pengantar di dalam badan email. Ibarat kita mendatangi rumah orang kita mengucap salam, assalamu'alaikum, atau kula nuwun, mengetuk pintu atau pijat bel pintu dulu.”
Buldani kemudian mencontohkan cara membuat email pengantar.
Yth. Redaktur Koran Bintang.
Bersama ini kami mengirim naskah cerpen berjudul 'Kabut Api'. Naskah sepanjang 10.000 cws. Naskah karya orisinal, bukan plagiat, dan belum pernah diterbitkan di media mana pun.
Semoga naskah layak dimuat di rubrik cerpen Koran Bintang.
Terima kasih,
Nama Penulis
Buldani juga mengajarkan attitude seorang penulis, semisal: jangan mengirim naskah dobel ke media.
“Naskah dobel, Kak?”
“Iya. Ada penulis curang, tebar jalan, yang mengirim secara bersamaan 1 naskah ke 3 media, semisal 1 koran nasional, 1 koran lokal, dan 1 tabloid.”
“Bagaimana kalau kemudian dimuat bersamaan?”
“Itu namanya pemuatan ganda. Nanti kita bisa di-blacklist oleh media.”
“Penulis itu panutan. Berlakukan etika yang bagus. Jangan melakukan pemuatan ganda, dan juga plagiasi.”
Buldan membeberkan makna plagiasi. ”Beberapa kali kasus plagiasi terjadi dan beberapa penulis mendapat saksi, blacklist dari media.”
Peserta mencermati apa yang dikatakan para mentor. Seorang serta mengacungkan tangan. “Kak, bagaimana nasib cerpen saya yang sudah berbulan-bulan tak ada kabar”
“Setelah 3 bukan tidak ada kabar, kamu buat surat penarikan naskah, kemudian naskah dikirim ke media lain.”
“Terima kasih, Kak.”
Tiga bulan kemudian si peserta tersebut berkabar kalau cerpennya berhasil dimuat di media lokal berhonor. Buldani sangat senang, ketika ada peserta yang bisa menulis karya, apalagi karyanya kemudian bisa dimuat media. Meskipun honornya kecil tapi ada kepuasan batin yang dirasa. Juga ketika karya dimuat bisa memicu semangat untuk kembali berkarya.
***