Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #23

Chapter #23 BAB DUA PULUH TIGA

BAB DUA PULUH TIGA

Buldani kelar menulis buku biografi Tumi Nur Azizah. Naskah buku diserahkan ke penerbit yang merupakan teman Buldani di Kota Yogyakarta. Seminggu kemudian buku sebanyak 1000 eksemplar sudah tiba di markas kemenangan calon bupati Tumi.

Peluncuran buku dilakukan di sebuah hotel. Buldani sebagai salah satu pembicara. Tumi Nur Azizah tentu hadir. Bahkan Jeng Atik, istri bupati Tri Sugriwo juga hadir.

“Terima kasih Jeng Atik sudi berkenan hadir dalam peluncuran buku biografi saya, “ tutur Tumi yang sengaja mendapuk Jeng Atik sebagai pembicara. Demi menjaga nama baiknya, Jeng Atik pun datang, apa sih susahnya bersandiwara? Bukankah dunia ini panggung sandiwara kata Ahmad Akbar?

Maka di atas panggung, Jeng Atik pun memuji sosok Tumi Nur Azizah sebagai perempuan cerdas, mandiri dan hebat. “Kita sangat membutuhkan banyak sosok-sosok perempuan seperti Tumi Nur Azizah, yang sebagai perempuan bukan hanya kanca wingking yang menemani suami. Pada zaman sekarang ini istri bukan hanya sebagai teman tidur, kasur, dan sumur. Istri memerlukan tempat atau panggung yang luas, dan itu bisa didapatkan ketika perempuan mengenyam pendidikan yang tinggi. Ibu Tumi Nur Azizah juga telah menyandang gelar master dengan cumlaude. Kita berikan tepuk tangan yang meriah untuk Ibu Tumi Nur Azizah.

Tumi merasa sangat senang dipuja, tidak peduli pujian itu tulus dari hari, sekadar basa-basi, atau malah ungkapan rasa ketidaksukaan. Sementara Buldani menceritakan bagaimana proses dia menuliskan perjalanan hidup seorang Tumi Nur Azizah, yang sebagai istri, juga ibu yang hebat dari ketiga putra-putrinya. Buldani masih ingat ketika dia datang ke rumah Tumi Nur mewawancarainya, dan dikenalkan dengan ketiga buah hatinya.

Anak sulung Tumi bernama Zulfikar Arif Putra, umurnya 25 tahun, sudah lulus kuliah, menikah, dan menekuni perusahaan orang tuanya yang bergerak di travel umrah. Anak nomor 2 bernama Zulaikah Arif Putri, berumur 22 tahun dan mahasiswi di Yogyakarta. Anak nomor tiga atau si bungsu bernama Zaki Arif Nur Putra, siswa SMP.

“Bagaimana cara Mbak mendidik anak sedangkan Mbak memiliki banyak kesibukan, selain sebagai ibu rumah tangga, Mbak juga anggota dewan, dan pengusaha pula.”

“Komitmen dalam pernikahan, Mas. Ketika menikah dengan Abi Suud, kami sudah berkomitmen bagaimana cara membesarkan, mendidik anak. Kedua anak kami sejak kecil mondok, kemudian ketika lulus SMA atau kesetaraan saya menguliahkan mereka di luar kota. Berbekal pendidikan agama sejak kecil saya yakin ketika mereka berada di luar kota, jauh dari pengawasan orang tua mereka tetap menjadi anak saleh. Sekarang dengan kecanggihan teknologi, kami bisa berhubungan melalui ponsel, bertelepon atau video untuk memantau perkembangan mereka. Alhamdulillah, si sulung sudah menikah, sehingga kami sekarang fokus ke pendidikan si anak perempuan satu-satunya yang insya Allah sebentar lagi akan meraih gelar sarjana.”

“Untuk anak yang bungsu, apa juga termasuk program sehingga jaraknya jauh dengan si sulung dan si penengah.”

“Bisa juga dibilang kalau sebenarnya saya menghendaki cukup dua anak, apalagi kami sudah mempunyai anak satu lelaki dan satu perempuan. Tapi ya anak adalah rezeki. Ketika di usia 30-an saya diberi rezeki dari Allah berupa kehamilan, kami bersyukur. Kami berpikir, kelak ketika si sulung dan si tengah menikah, kami masih ada yang menemani yaitu si bungsu.”

“Bagaimana dengan keinginan orang tua terhadap anaknya? Ada orang tua yang ingin sang buah hati mengikuti jejak orang atau atau mungkin menjadi ini-itu?”

“Kami, saya dan Abi Suud memberikan kebebasan pada anak untuk mewujudkan apa cita-cita mereka di masa depan. Intinya kami membekali mereka ilmu agama sejak kecil sehingga ketika dewasa mereka akan berjalan di jalan Tuhan. Insya Allah mereka kelak bekerja atau berkarier sesuai dengan keinginan dan cita-cita mereka yang diridai oleh Allah Swt.

“Maaf, Mbak Tumi, apakah dengan kondisi suami sekarang, memengaruhi perkembangan anak-anak?”

“Saya jawab jujur ya, Mas, tentu kondisi sekarang sangat berpengaruh pada anak-anak. Untungnya dua anak saya sudah dewasa dan mereka lebih mudah dan bisa mengerti tentang masalah pelik yang sedang dialami oleh Mas Suud. Sebagai ibu saya memberi pengertian pada mereka bahwa jika hal buruk dilakukan seorang ayah, seorang anak menghormati. Inilah adab dalam beragama. Untungnya mereka fine-fine saja dan tetap berkomunikasi dengan abinya, terkadang menelepon, menanyakan bagaimana kabar Abi mereka. Sementara untuk si bungsu, nah ini yang sempat bikin repot, Mas.”

“Bikin repot?”

“Tempo hari si sekolah ada anak yang usil. Si anak teman sekelas mem-bully Zaki dengan mengatakan: Abi Zaki koruptor! Dibilangan begitu, sontak anak saya membela nama baik keluarganya dong. Si Zaki menjotos si anak yang tak tahu diri itu. Sudah anak orang miskin, bisa bersekolah di yayasan karena dia mendapat beasiswa, eh malah mem-bully.

Untunglah kasus diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak kepala sekolah memberlakukan kebijaksanaan. Saya meminta agar si Zaki dipisah kelas dengan di pembully itu. Saya pikir sebagai orang tua seharusnya kira juga mendidik anak agar tidak asal bicara sesuatu yang sensitif.

Akibat di-bully, Si Zaki sempat mogok tidak mau sekolah. Setelah saya bujuk, saya beri pemahaman bahwa abinya bukan koruptor, abinya adalah korban fitnah. Fitnah yang lebih keji dari pembunuhan! Si Zaki akhirnya mengerti dan mau sekolah lagi.”

                                               ***

Buldani sedang mengetik di kantin Perpusda, ketika seorang perempuan muda bernama Ratri, ketua komunitas 'BizNis' mendatangi dan menawarkan brosur

“Mas Buldani, saya ada penawaran bagus untuk komunitas punya Mas. Begini, saya punya kawan seorang penulis nasional yang bekerja di TV nasional, dia mempunyai kelas menulis tingkat nasional, bisa membuat buku dalam waktu relatif singkat. Saya bisa mendatangkannya di Perpusda ini, untuk menjadi narsum di komunitas Mas Buldani. Dia tidak mematok tarif honor, Mas Buldani cukup memberinya tiket kereta api PP dan konsumsi. Nanti Mas bisa mengajak anggota urunan 100 ribu, mungkin 50 orang cukup untuk membeli tiket teman saya itu.”

Buldani mencerna apa yang dikatakan si teman.

“Omong-omong apa materi yang dibawakan temanmu itu. Siapa namanya? Sepertinya saya tidak pernah mendengar nama itu.”

“Namanya Joni Chandra. Dia penulis nasional, Mas. Kadang menjadi ghost writer untuk nulis biografi artis.”

“Ya.”

“Bagaimana? Apakah Mas Buldani minat? Kalau minat saya kontak beliau.”

“Tidak. Kalau hanya memberi materi menulis dan membuat buku saya juga bisa. Apa sih susahnya menyunting, me-layout, membuat sampul, dan mencetak buku. Lagian di komunitas saya, sebagian besar pelajar, mahasiswa, pengangguran, boro-boro narik 100 ribu, urunan 50 ribu buat bikin buku saja mereka masih mikir. Kalau mau bikin bisnis proyek kelas menulis coba eh kamu kontak kepala Perpusda atau PNS Perpusda, siapa tahu mau keluar anggaran untuk ngundang penulis yang kamu maksud. Itu ada orang dari Perpusda!”

Kebetulan saat itu ada pegawai Perpusda yang sedang menuju kantin. Namanya Dewik, sie pelayanan. Buldani teringat ketika tempo hari dia diundang sebagai juri menulis lomba cerita.

Buldani kaget ketika selain dia, kedua juri lainnya adalah pustakawan dan Bu Dewik sendiri sebagai juri yang ketiga. Entahlah. Yang bikin keki adalah ketika Buldani mengawasi peserta dan memberi arahan peserta, Bu Dewik, si sie seolah bos menyuruh Buldani diam. Katanya suara Buldani bisa merusak konsentrasi peserta. Kakekane!

Lihat selengkapnya