Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #24

Chapter #24 DUA PULUH EMPAT

BAB DUA PULUH EMPAT

 

Berkas pendaftaran untuk mengikuti pilkada tinggal seminggu lagi. Tumi Nur Azizah dan tim sukses sudah menyiapkan semua berkas persyaratan. Tumi mendaftar sebagai calon wakil bupati, bukan wakil bupati. Partai tempat Tumi bernaung memutuskan untuk menjalin koalisi dengan partai yang mengusung Tri Sugriwo si petahana, sebagai calon bupati.

Menurut survei, si Sugriwo masih terlalu kuat untuk menjadi bupati pada periode mendatang. Tumi Nur Aizah mendiskusikan hal ini pada tim kemenangan, termasuk suami, dan sang Bu Nyai Maisaroh. Mantan bupati Arif semula tidak setuju, sementara Bu Nyai sangat mendukung bergabungnya putrinya dengan Bupati Tri Sugriwo.

“Tidak apa-apa, Ndhuk kamu kali ini ngalah demi menang. Nanti setelah kamu menjadi wakil bupati kamu punya peluang besar untuk menjadi bupati setelah si Sugriwo lengser. Daripada tidak sama sekali, lebih baik menjadi wakil bupati.”

“Tetapi aku kurang sreg dengan Bupati Sugriwo, Mi. Ngeri melihat lirikan matanya saat beberapa kali kita mengadakan pertemuan dengan beliau. Bupati Tri Sugriwo mata keranjang.”

“Kamu cantik Ndhuk, dan orang cantik dilirik itu hal wajar. Terpenting kamu tidak menggapai. Terpenting kamu bisa menjaga marwah kamu sebagai istri.”

Tumi Nur Aizah menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan.

“Kalau Abah bagaimana, Mi? Apakah Abah setuju aku mendaftar calon wakil bupati dan bergabung dengan Sugriwo?”

“Abah sih menyerahkan semuanya keputusan pada kamu. Abah hanya berpesan agar kelak kalau menjabat kamu bisa amanah.”

“Insya Allah.”

Tumi Nur Azizah pun kembali mendatangi sang suami, Arif Suud dan memohon restunya. Akhirnya Arif Suud luluh. “Mungkin jalan yang kau tempuh sama denganku, Dik. Dulu aku juga menjadi wakil petahana, kemudian aku bisa menjadi bupati. Semoga kau pun kelak begitu.”

“Jadi, Abi setuju aku berpasangan dengan Bupati Sugriwo?”

“Iya. Kau tahu dalam dunia politik bahwa batas antara kawan dan lawan terkadang lebih tipis dari kulit ari?”

“Aku sekarang lebih yakin untuk bertarung di pilkada.”

“Iya. Aku tak sabar melihat kau menang dan kemudian dilantik sebagai wakil bupati, kemudian beritanya dimuat di koran, ditayangkan di televisi, dan...”

“Insya Allah.”

                                                                    ***

Siang terik membakar. Matahari jelang berada di ubun-ubun, ketika serombongan orang yang mengatasnamakan komunitas turun dari truk lalu berjalan bersama-sama membentuk barisan, membawa spanduk dan poster. Poster bertuliskan Kami menolak bupati perempuan. Masih ada Laki-Laki Mengapa Memilih Perempuan? Pantas Jadi Imam itu Laki-laki. Mak-Mak Kok jadi Bupati?

Yel-yel suara lewat speaker menguarkan semacam orasi yang intinya menolak keberadaan calon bupati perempuan. Rombongan berdiri di area halaman gedung DPRD. Mereka menyuarakan ketidaksetujuan dengan adanya calon bupati perempuan. Ketika aksi demo menolak calon bupati terjadi, dari arah berlawanan muncul satu pasukan orang-orang sebagian anak muda yang juga mendukung demo: rombongan kali ini mengusulkan calon buat perempuan. Mereka mengatasnamakan kesetaraan gender, bahwa seorang perempuan layak menjadi pemimpin. Juru bicara menyuarakan kehebatan pemimpin perempuan di masa lalu. Mereka menukilkan perjuangan Ratu Kencana Wungu ketika memimpin Kerajaan Majapahit. Mereka menyuarakan Ratu Shima yang berjuluk ratu adil ketika memimpin Kerajaan Shima.

Mereka juga menyebut Ratu Kalinyamat, sosok perempuan hebat yang pernah membawa puluhan kapal dan ribuan prajurit untuk menerang melawan bangsa Portugis di Selat Malaka. Sebagian juga menyuarakan sosok Ibu Megawati Soekarno Putri yang pernah memimpin Indonesia.

Pengusung kesetaraan gender, yang terdiri dari tim sukses Tumi Nur Azizah ini juga membawa poster berisi semangat perempuan untuk menjadi pemimpin. Calon Bupati Tumi, Jujur, Punya Hati, dan Cerdas, Berdedikasi. Beri Kami 10 Perempuan Hebat, Kami Akan Membangun Kota Ini Lebih Hebat. Saatnya Perempuan Jadi Bupati! Sekali Tumi Kami Pilih Tumi!

Ketika dua kelompok pendemo bertemu di jalan raya di depan gedung DPRD, maka pasukan polisi segera membuat pagar betis, agar dua kelompok tidak bertemu karena bisa memicu keributan.

Siang membakar, dan demonstrasi, orasi masih terjadi, sehingga satu jam kemudian rombongan meninggalkan area, kemudian menyusul rombongan tim sukses Tumi Nur Azizah pun meninggalkan area demonstrasi.

Sebelum pendemo pulang, ketua kelompok pendemo memberikan amplop. Demo hari itu berlangsung lancar. Orang-orang bayaran pulang dengan membawa uang, pengalaman dan harapan.

                                                                   ***

Kabar itu datang jelang sore. Kabar lewat telepon, dan yang menerimanya Tumi Nur Azizah. Tubuh Tumi bergetar, seolah ingin meyakinkan bahwa yang didengarnya nyata, bukan mimpi. Bu Nyai Maisaroh yang berada di sebelahnya memandangi Tumi, mencerna berita apa yang telah didengar oleh sang putri.

“Ada apa, Ndhuk? Perkara demo?” tebak Bu Nyai.

“Temannya si Zul bilang kalau Zulaikah dan kawannya hilang di pantai. Terbawa arus atau apa. Oh.”

“Astagfirullah.” Tumi Nur Azizah menangis dalam pelukan Bu Nyai Maisaroh.

                                                      ***

Minggu pagi yang tidak cerah tetapi juga tidak mendung. Si Zulaikah, si Hanto, dan seorang kawan mereka bernama Mira --sebagai supir--, bermobil menuju tempat praktik dokter aborsi ilegal. Berjarak puluhan kilometer dari kota mereka.

  “Apakah kau pernah ke sana?”

  “Pernah.”

  “Tidak sakit, kan?”

“Tidak. Kau dibius, dan saat bangun tidur perutmu kempis.”

  “Bayinya nanti dikuburkan di mana?”

  “Terserah dokter saja.”

  “Ya.”

“Eh, kita mampir ke pantai dulu, ya. Kau ingat dulu kita pernah naik pantai ini, naik ke bukit itu. Lihat sunset.”

 Si Zulaikah setuju. Mereka berhenti. Mobil parkir. Si Zulaikah, si Hanto, dan Mira mendaki bukit. Mira semula hendak menunggui mobil, terapi Zulailah dan Hanto memaksa, sehingga dia akhirnya iku naik. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit, kemudian mereka sudah berada di atas bukit.

Nun terlihat ombak bergemuruh di samudra. Dari atas terlihat pemandangan indah. Pasir pink, pohon kelapa berbaris, ombak besar bergulung, burung camar beterbangan. Si Zulaikah bergelendot manja mesra di lengan kekasihnya. Si Hanto membiarkan si kekasih menikmati fana kala.

  “Bagaimana kalau kita bercinta?”

  “Di sini?”

 “Iya. Aku ingin…” Si Hanto menempelkan tangan si Zulaikah ke dadamu. Si Zulaikah tertawa, tetapi dia melirik ke Mira yang berada di sisi kalian. “Bagaimana dia?”

  “Tentu dia akan melihatnya. Akan kupinta memvideokannya.”

  “Gila!”

  “Aku ingin kita punya kenangan indah.”

  “Aku malu.”

 “Anggap saja kau aktris. Kau tidak malu saat kita pertama bercinta dan kau memvideonya, dan video itu kau pamerkan padaku kalau aku menolak bercinta denganmu. Huhuhu.”

  “Hahaha. Karena aku mencintaimu.”

  “Semua karena cinta?”

 "Semua karena cinta, karena cinta…cinta" bernyanyi bersama, tertawa terbahak-bahak kemudian bercinta. Si Zulaikah bergaya frontal. Si Hanto sekuat kuda sumbawa melayaninya, membawanya terbang, hingga klimaks terjadi, kemudian si Hanto dan si Mira--, mengangkat si Zulaikah dan menceburkannya ke dalam lautan. Melemparnya kuat-kuat dari atas atas tebing.

“Bagaimana ini, Bu? Anakku....”

“Kamu tenang dulu. Semoga Ikah selamat. Ayo kita sembahyang dan berdoa.”

Mereka menunggu kabar dari Yogyakarta. Kabar hilangnya sepasang kekasih di pantai selatan pun dimuat di surat kabar dan ditayangkan di berita televisi. Keluarga besar Tumi Nur Azizah datang ke Yogyakarta untuk mencari kepastian keadaan Zulaikah.

“Mengapa ini terjadi, Bu? Padahal sebentar Zul akan lulus dan kami merencanakan pertunangan dengan anak Kiai Sahid. Tetapi mengapa Zul diam-diam punya pacar, dan sekarang..."

“Sabar ya Ndhuk semoga ada keajaiban. Semoga Allah menolong Ikah.”

Pagi itu Arif Suud Utama mendengar berita tentang peristiwa yang menimpa putrinya dari televisi yang ditontonnya. Meskipun Arif Suud sudah mendengar kabar duka dari sang istri, namun pagi itu dia menelepon Tumi dan meminta kepastian, penjelasan yang lebih lengkap tentang putrinya. Tumi Nur Azizah hanya menangis sesenggukan dan berkata terbata-bata.

“Aku belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada Zul, Bi. Kita sudah di Yogya, Bi. Abah sudah menggerakkan orang untuk mencari kepastian tentang musibah itu. Umi juga meminta bantuan teman-temannya, tetapi belum ada titik terang. Tim SAR sudah mencari sejak kemarin, tetapi belum ada hasil. Semoga anak kita selamat, Bi. Zul...Zulaikah masih sangat muda.”

“Beberapa hari lalu aku bermimpi gigiku tanggal. Apakah ini pertanda kita kan kehilangan?” lirih suara Arif Suud dari seberang.

Lihat selengkapnya