Biografi Koruptor

Kartika Catur Pelita
Chapter #25

Chapter #25 BAB DUA PULUH LIMA

BAB DUA PULUH LIMA

Kasus pembunuhan koruptor Arif Suud Utama, kiai, mantan bupati, yang terjadi di lapas benar-benar menggegerkan masyarakat. Berita tentang mantan pejabat yang sedang menjalani hukuman dan tewas di selnya menumbuhkan berbagai asumsi. Apalagi tersiar kabar kalau istri Arif Suud tengah mencalonkan diri sebagai wakil bupati. Keluarga Arif Suud Utama menolak ketika jenazah hendak diotopsi. Tumi Nur Azizah pingsan ketika melihat jenazah suaminya yang sarat luka tusukan.

Penghuni lapas juga merasa kehilangan. Selama ini sosok Arif Suud Utama dikenal sebagai pribadi yang baik dan dermawan.

Pada sisi lain, sejak meninggalnya Arif Suud Utama, keadaan lapas terasa menyeramkan. Apalagi bila malam-malam tiba. Mencekam. Ada napi yang mengaku melihat sosok penampakan hantu Arif Suud tengah berjalan menuju masjid. Ada juga yang mengaku malam-malam di area lorong berpapasan dengan sosok arwah Arif Suud yang menunduk. Ada napi yang konon mendengar rintihan suara kesakitan Arif Suud. Rumor timbul kalau Arif Suud Utama meninggal secara tidak wajar dan menjadi arwah gentayangan.

“Mungkin dia ingin balas dendam.”

“Balas dendam sama siapa? Firman telah ditangkap polisi.”

“Kamu yakin Firman yang membunuh mantan koruptor itu?”

“Eh, orangnya sudah almarhum. Tidak perlulah menyebut koruptor, kasihan.”

“Ya, nyatanya dia masih koruptor bahkan masih berstatus napi seperti kita ketika terbunuh.”

"Apa yang ditanam itulah yang akan dipetik."

“Sudah ah, ngomongin hal lain saja.”

“Apakah Kurdi tidak dihantui ya? Kurdi kan orang yang dekat dengan mantan Bupati Arif. Atau jangan-jangan Kurdi pelakunya?”

Hush, jangan ngawur. Polisi tidak akan menangkap Firman kalau kagak ada bukti. Firman juga sudah mengakui kalau dia kalap karena ibunya dibilang pelacur.”

“Sudahlah, ngomongin yang lain saja. Kalau kita sudah bebas dari sini, bagaimana kalau kita buka bengkel motor?”

                                                       ***

Bupati Tri Sugriwo pulang tengah malam. Dua satpol PP si penjaga gerbang rumah dinas bupati menyambutnya. Tri Sugriwo memberikan oleh-oleh jajanan dalam kardus ke para penjaga. Sebenarnya dia ingin pulang ke rumah, tapi rasanya capai. Tetapi dia betul-betul ingin pulang ke rumah pribadi. Malam ini hari perkawinan mereka. Tri Sugriwo ingin merayakannya bersama anak istri, dan ia sudah membawa kado istimewa.

Tri Sugriwo ingin menebus ulahnya yang kadang diam-diam masih menodai pernikahan. Beberapa kali Jeng Atik seperti menyindirnya. Apakah Jeng Atik diam-diam tahu kelakukanku di luaran? Jeng Atik terlalu lembut dan baik hati.

Bupati Tri Sugriwo yang kadang berpikir, merasa tidak pantas bersanding dengan Jeng Atik. Jeng Atik yang telah memberinya anak-anak yang baik dan penurut. Tri Sugriwo menyekolahkan dua anak gawan dari Jeng Atik. Sementara dua anak dari perkawinan mereka masih berumur belia. Semoga ada di antara anak-anakku yang kelak meneruskan perusahaanku, sebagai pengusaha, atau juga meneruskan karirku sebagai bupati, batin Tri Sugriwo. Entahlah. Bupati Tri Sugriwo terlihat seperti orang linglung malam itu, mungkin karena capai setelah melakukan perjalanan berjam-jam, naik pesawat, taksi, mobil.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak Bupati?”

“Eh tidak, eh, iya.”

“Bagaimana Pak Bupati?”

“Tolong setiri mobil saya. Mas Pras tadi sudah pulang. Tolong antar saya ke rumah pribadi ya?”

“Siap, Pak. Mari.”

Si Penjaga Muda yang menyetir. Selama perjalanan yang tak lebih satu jam, Bupati Tri Sugriwo terlihat banyak diam. Sehingga mobil memasuki area rumah pribadi Bupati Tri Sugrowo.

“Maaf sudah sampai, Bapak.”

Lihat selengkapnya