Bioskop Bahagia

Herman Sim
Chapter #2

Ketar-Ketir

Keningnya berkerinyit, sekali terseka jemari kirinya, gadis itu hanya terduduk diam. Kini wajahnya menunduk tidak berani melihat wanita bertubuh tambun, berkaca mata dan segera beranjak bangun lantas menghampiri gadis itu.

"Saya sudah berusaha untuk membantu kamu. Berkai-kali saya menutupi tentang keberadaan kamu, Eka. Tapi kamukan tahu bagaimana peraturan universitas ini," lantas wanita bertubuh tambun duduk di samping gadis itu, wajahnya masih menunduk gemetar ketakutan.

"Saya paham, Bu." ketar-ketir hatinya.

Tidak lagi menunduk, raut wajahnya sendu perlahan menoleh pada wanita bertubuh tambun.

Semilir hempasan angin terasa membisiki relung hati gadis itu, dress pendek warna putih dengan celana panjang katun warna toska. Sepatunya saja sudah kelihatan lapuk, bagian sole sebelah kanannya sedikit mengangah depannya.

Eka, nama gadis itu, ia adalah mahasiswi semester terakhir fakultas guru. Dari raut wajahnya kelihatan, Eka memang cocok menjadi guru, ia penuh kelembutan dan kesabaran. Tapi sepertinya ciita-cita ia menjadi seorang guru akan terganjal biaya ujian skripsi dan biaya widusa sampai detik-detik terkahir belum juga di bayarkan. Padahal wanita bertubuh tambun itu, ia adalah dosen pembimingnya begitu sangat antusias dan perhatian sekali pada mahasiswinya. Tapi ia sudah berusaha untuk menutupi kekurangan mahasiswinya, tetap saja terendus bagian admistarsi kampus.

"Saya harap kamu mengerti," berat rasanya dosen pembimbing, dengan cara apalagi ia membantu mahasiswinya.

Eka beranjak bangun, jelas mata wanita bertubuh tambun melihat jempol kanan kaki mahasiswinya kelihatan keluar dari celah sole sepatu kets warna putih sudah kusam mengajak dua kakinya beranjak keluar dari dalam ruangan.

***

"Eka." sekali mengangguk kedalam ruangan pada wanita bertubuh tambun membalasanya dengan senyuman pada lelaki berkulit putih.

Lirikan mahasiswi seraya terusik dengan langkah jalannya, jempol kakinya berusaha di tariknya mundur seraya malu dengan lirikan banyak pasang mata mahasiswi melihatnya, lagi-lagi jempol kaki kanan keluar dari balik celah sole sepatunya.

"Kalau kamu tidak mau menerima bantuan saya. Ya, anggap saja bantuan saya itu pinjaman," terhenti langkah jalan Eka, lega sedikit jempol kakinya tidak lagi terusik mata-mata mahasiswi, karena jempolnya kakinya tertarik masuk kedalam.

"Sayangkan, jika kamu tidak bisa ikut ujian skrpsi dan wisuda. Kasihan Bang Ocid, Bapakmu, dia kepengen bangat kamu bisa jadi guru," tersenyum lelaki bermata sipit jelas berhadapan dengan wajah cantik tersirat kesabarannya itu.

Lihat selengkapnya