Sorot mata Aisha penuh tekad, meski baru berusia 5 tahun. Lebih tajam dari anak seusianya. Semangat belajarnya tak kunjung sirna. Sepanjang tahun di TK B, dia selalu menjadi murid yang rajin. Ia menyelesaikan semua tugasnya dengan antusias, dan tak pernah melewatkan satu pun pelajaran. Setiap malam sebelum tidur, Aisha sering memandangi buku-buku ceritanya, membayangkan saat dirinya bisa naik ke kelas satu.
Wiwid, ibunya, sangat bangga dengan kerja keras Aisha. Namun, di balik kebanggaannya, ada kekhawatiran yang tumbuh. Aisha belum lancar membaca dan menulis, sedangkan pelajaran di kelas satu jauh lebih menuntut. Wiwid takut jika Aisha melangkah terlalu cepat, ia akan kesulitan mengikuti pelajaran dan merasa tertinggal di antara teman-teman yang lebih tua. Kekhawatiran ini membuat Wiwid memikirkan satu keputusan yang berat, yaitu membuat Aisha mengulang TK B.
Suatu pagi, Wiwid memutuskan untuk membicarakan hal ini dengan Aisha. Di ruang tamu yang dipenuhi cahaya matahari, Aisha duduk dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam setelah Wiwid menyampaikan rencananya.
"Aisha, sayang," Wiwid memulai dengan nada lembut, berusaha menenangkan putrinya, "Ibu tahu kamu sudah belajar keras di TK B. Kamu sangat rajin, dan Ibu bangga sekali."
Namun, kata-kata pujian itu tidak berhasil meluluhkan hati Aisha. Dia menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi kenapa aku harus ngulang, Bu? Aku udah belajar banyak di TK B. Kenapa aku nggak bisa masuk kelas satu? Teman-temanku yang lain udah pada naik kelas!"
Wiwid menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang bisa dimengerti oleh anaknya. "Ibu paham, sayang. Tapi di kelas satu nanti, pelajarannya lebih sulit. Kamu harus bisa membaca dan menulis dengan lancar. Ibu khawatir kamu akan kesulitan kalau masuk sekarang."
"Aku bisa belajar lagi, Bu!" Aisha memprotes, suaranya bergetar penuh emosi. "Aku mau sekolah di kelas satu. Aku nggak mau di TK lagi! Aku nggak mau satu kelas sama Andini!"
Wiwid terkejut dengan reaksi putrinya. "Kenapa kamu nggak mau satu kelas sama Andini? Bukannya kalian teman baik?"
Aisha menggelengkan kepala dengan tegas. "Nggak! Andini suka rebut mainanku. Aku nggak mau sekelas sama dia!"
Wiwid merasakan dilema yang semakin besar. Dia tahu, di satu sisi, Aisha memiliki keinginan kuat untuk maju. Tapi di sisi lain, dia juga harus memikirkan kesiapan putrinya yang masih begitu muda. "Tapi, sayang," kata Wiwid pelan, mencoba meyakinkan, "di kelas satu nanti, kamu harus lebih fokus belajar. Di TK, kamu masih bisa banyak bermain, tapi di kelas satu, kamu harus lebih serius."
Aisha menyeka air matanya yang mulai mengalir. "Aku janji, Bu! Aku bakal serius belajar di kelas satu. Aku nggak mau ngulang, Bu. Aku pasti bisa!"
Wiwid merasakan kekhawatiran yang mendalam. Dia tidak ingin mengecewakan Aisha, tetapi dia juga takut jika putrinya akan merasa kesulitan nanti. Namun, melihat tekad yang terpancar dari wajah Aisha, Wiwid akhirnya merasa terdorong untuk memberi putrinya kesempatan.
"Baiklah," kata Wiwid setelah beberapa saat terdiam, suaranya terdengar mantap namun masih menyimpan kekhawatiran. "Ibu akan bicarakan ini dengan guru di sekolah. Tapi kamu harus janji, kalau kamu masuk kelas satu, kamu akan belajar lebih keras lagi. Kamu harus sungguh-sungguh berusaha."
Senyum kecil mulai muncul di wajah Aisha, matanya berbinar penuh harapan. "Aku janji, Bu! Aku bakal belajar keras banget. Aku bakal tunjukin kalau aku bisa."
Wiwid mengelus kepala Aisha dengan penuh kasih sayang, merasakan campuran antara kebanggaan dan kekhawatiran di hatinya. "Ibu akan percayakan ini padamu. Tapi ingat, belajar itu tidak hanya di sekolah. Ibu juga akan bantu kamu belajar di rumah, ya?"
Aisha mengangguk penuh semangat. "Iya, Bu! Aku akan belajar di rumah juga. Aku pasti bisa!"