Pagi itu, sinar matahari memancar hangat saat Wiwid dan Aisha tiba di gerbang sekolah dasar yang baru. Sekolah tampak ramai dengan anak-anak yang berlarian menuju kelas masing-masing, sementara para orang tua sibuk mengantar anak-anak mereka. Wiwid merasakan perasaan campur aduk saat melihat Aisha, yang tampak begitu kecil di antara kerumunan anak-anak yang lebih besar. Aisha, dengan seragam sekolahnya yang terlihat sedikit kebesaran, menggenggam tangan Wiwid erat-erat.
"Ayo, Bu. Aku mau lihat kelasnya!" seru Aisha dengan semangat, matanya berbinar-binar.
Wiwid tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Dia tahu Aisha sangat bersemangat untuk memulai hari pertamanya di kelas satu, tapi kekhawatiran tentang kesiapan putrinya untuk menghadapi tantangan itu tak henti-hentinya menghantui pikirannya.
Mereka berdua menuju ruang kelas yang sudah ditentukan, di mana seorang guru, Ibu Nuri, tengah menyambut murid-murid baru dengan senyum ramah. Wiwid mengenalkan diri dan Aisha, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum memulai percakapan yang sudah lama dipikirkannya.
"Ibu Nuri," kata Wiwid lembut, sedikit menunduk. "Saya ingin bicara sebentar tentang Aisha. Dia ini sebenarnya baru lima tahun, belum lancar membaca dan menulis. Saya agak khawatir kalau dia kesulitan mengikuti pelajaran di kelas satu."
Ibu Nuri tersenyum bijaksana, memahami kekhawatiran seorang ibu yang pertama kali memasukkan anaknya ke sekolah dasar. "Tidak perlu khawatir, Bu Wiwid. Di sini, kami paham bahwa setiap anak punya ritme belajar yang berbeda-beda. Kami akan memberikan perhatian khusus pada Aisha, memastikan dia nyaman dan bisa berkembang sesuai kemampuannya."
Wiwid mengangguk pelan, masih merasa bimbang. "Terima kasih, Bu Nuri. Kalau memang Aisha kesulitan nanti, nggak apa-apa kalau dia harus mengulang. Saya ingin dia bahagia, dan kalau memang belum siap, saya tidak keberatan dia tidak naik kelas."
Ibu Nuri mengangguk, menunjukkan pengertiannya. "Kami akan terus memantau perkembangan Aisha. Terima kasih atas kepercayaannya, Bu Wiwid."
Dengan rasa lega yang sedikit mengurangi kekhawatirannya, Wiwid berpisah dengan Aisha yang tampak antusias memasuki kelas barunya. Sepanjang hari itu, pikiran Wiwid terus dipenuhi bayangan Aisha. Bagaimana dia akan menyesuaikan diri dengan anak-anak yang lebih tua? Bagaimana jika dia merasa terbebani atau terintimidasi?
Namun, beberapa hari berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Aisha pulang dengan senyum cerah setiap harinya, bercerita tentang teman-teman barunya, kegiatan di kelas, dan permainan yang dia mainkan selama istirahat. Wiwid merasa sedikit tenang, meskipun masih ada secuil kekhawatiran yang tersisa.
Hingga suatu sore, Aisha pulang dengan wajah yang lebih berseri-seri dari biasanya. Saat Wiwid membuka pintu, Aisha berlari masuk, langsung menuju ibunya dengan semangat yang tak biasa.
"Bu, aku jadi ketua kelas!" Aisha mengumumkan dengan bangga, matanya bersinar penuh kegembiraan.
Wiwid tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Kamu jadi ketua kelas, sayang?"
"Iya, Bu!" Aisha mengangguk cepat. "Ibu Nuri bilang aku ketua kelas karena suaraku paling keras waktu baris berbaris. Teman-teman yang lain bilang aku pantas jadi ketua kelas."
Wiwid merasa jantungnya berdegup kencang. Ini bukan sesuatu yang dia bayangkan. Aisha, yang baru lima tahun, menjadi ketua kelas di antara anak-anak yang lebih tua darinya? Perasaan bangga dan khawatir bercampur aduk dalam pikirannya. Bagaimana jika ini terlalu berat untuk Aisha? Apa dia bisa menjalankan tanggung jawab ini?