Malam itu, rumah Aisha dan Adam terasa lebih hidup, namun ada ketegangan yang tidak biasa. Setelah berbulan-bulan hanya ditemani oleh Wiwid, ibu mereka yang sabar, lembut dan penuh kasih sayang, kehadiran Eddy, ayah mereka, membawa perubahan yang signifikan. Sebagai seorang prajurit TNI yang baru saja kembali dari tugas di Papua, Eddy membawa disiplin ketat yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Keluarga kecil ini akhirnya kembali utuh, tetapi keutuhan ini diiringi dengan aturan-aturan baru yang mulai mengatur setiap aspek kehidupan mereka.
Eddy berdiri tegak di ruang tamu, masih mengenakan seragam dinas lengkap dengan badge dan atribut militernya. Mata tajamnya menyapu ruangan, menilai kebersihan dan keteraturan yang sepertinya kurang diperhatikan selama ia tidak ada. Wiwid, yang menyadari perubahan suasana ini, hanya bisa tersenyum tipis. Dia tahu, ini sudah menjadi bagian dari hidup mereka—Eddy dengan ketegasannya yang kadang membuat segalanya terasa berat, tetapi dia melakukannya karena cintanya untuk mendidik anak-anak mereka menjadi pribadi yang kuat dan disiplin.
Aisha yang baru berusia enam tahun menatap ayahnya dengan mata besar yang dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus cemas. Dia tahu bahwa kehadiran ayahnya selalu membawa perubahan—dan perubahan itu tidak selalu mudah diterima. Adam, yang berusia delapan tahun, menatap ayahnya dengan sedikit tegang, sementara Aisha merapatkan tubuhnya ke arah Adam, mencari dukungan dari kakaknya.
“Aisha, Adam,” suara Eddy terdengar tegas, seperti komandan yang memberi instruksi kepada prajuritnya, “mulai besok pagi, kita akan punya jadwal baru di rumah ini. Tidak ada lagi bermalas-malasan.”
Aisha mengerutkan kening, bingung dan sedikit takut. Adam, meskipun lebih tua, juga merasakan kecemasan yang sama. Mereka tahu bahwa ayah mereka serius, dan tidak ada ruang untuk membantah atau mengeluh.
“Kita akan bangun jam empat pagi,” lanjut Eddy tanpa membiarkan ada jeda, “Sholat Subuh tepat waktu, dan setelah itu kita mulai dengan latihan fisik ringan. Lari di tempat, push-up, sit-up. Kalian harus belajar disiplin dari sekarang. Dunia di luar sana keras, dan Ayah ingin kalian siap menghadapinya.”
Wiwid, yang berdiri di dekat dapur, mencoba menyelipkan kata-kata dengan lembut. “Mas Eddy, anak-anak kan masih kecil. Mereka juga butuh waktu untuk beristirahat.”
Namun Eddy hanya menggelengkan kepala, suaranya tetap tenang tapi tak terbantahkan. “Justru karena mereka masih kecil, Wiwid. Ini waktu yang tepat untuk membentuk mereka. Mereka harus belajar dari sekarang bahwa hidup ini penuh dengan tanggung jawab. Kalau tidak, nanti mereka akan terlambat belajar dan hidup mereka akan sulit.”
Aisha merasa perutnya mengerut mendengar semua ini. Dia mencoba untuk berbicara, suaranya kecil dan bergetar. “Ayah… tapi aku takut bangun pagi. Aku sering mimpi buruk kalau tidur terlalu cepat.”
Eddy menatap putrinya dengan tegas namun masih ada kelembutan dalam sorot matanya. “Aisha, mimpi buruk itu hanya ada di kepala kamu. Semakin kamu disiplin, semakin kamu kuat, mimpi-mimpi itu akan hilang. Ayah yakin kamu bisa. Kamu harus percaya diri dan menjalani ini.”
Adam hanya bisa menunduk. Dia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan ayah mereka. Perintah Eddy adalah mutlak, dan mereka hanya bisa menurut.
Keesokan harinya, pagi datang jauh lebih awal dari biasanya. Jam dinding baru menunjukkan pukul empat ketika suara alarm berbunyi keras, membangunkan Aisha dan Adam dari tidur mereka yang nyenyak. Kegelapan masih menyelimuti rumah ketika Eddy mulai mengetuk pintu kamar mereka dengan keras.
“Bangun! Sudah waktunya sholat Subuh!” seru Eddy dengan nada tegas.
Aisha membuka matanya perlahan, merasa tubuhnya masih berat dan ingin sekali menarik selimutnya kembali. Namun, dia tahu ayahnya tidak akan menerima alasan apa pun. Dengan enggan, dia bangkit dan segera membangunkan Adam yang juga masih terkantuk-kantuk.
“Mas, ayo bangun. Ayah sudah nunggu,” bisik Aisha, mencoba membangkitkan semangat kakaknya.