Matahari pagi bersinar lembut di sekolah dasar tempat Aisha duduk di kelas empat. Tapi bagi Aisha, hari itu terasa sedikit berbeda. Sudah beberapa minggu terakhir, dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan penglihatannya. Papan tulis yang biasanya tampak jelas kini terlihat kabur dari tempat duduknya di baris tengah. Huruf-huruf di papan seolah menari, sulit dibaca. Aisha harus memicingkan matanya untuk bisa menangkap apa yang ditulis oleh guru, namun seringkali itu tidak membantu.
"Aisha, kenapa kamu selalu duduk paling depan sekarang?" tanya Angela ketika mereka sedang bersiap untuk pelajaran matematika.
Aisha menghela napas, sedikit merasa risi dengan pertanyaan itu. "Aku susah lihat dari jauh. Kalau duduk di belakang, nggak bisa baca tulisan di papan."
Shinta mengangguk, meskipun tidak sepenuhnya mengerti. "Oh, mungkin kamu harus periksa mata ke dokter. Dulu kakakku juga begitu, terus sekarang pakai kacamata."
Kata-kata itu terngiang di kepala Aisha sepanjang hari. Setelah sekolah usai, dia pulang dengan perasaan cemas. Dia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi dia tidak tahu seberapa serius masalah ini. Sesampainya di rumah, Aisha melepaskan sepatunya dan langsung masuk ke kamar, meninggalkan tas sekolahnya di lantai. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ke luar jendela dengan pikiran yang kalut.
Malam itu, saat makan malam, Aisha mengumpulkan keberaniannya untuk memberitahu orang tuanya.
"Bu, Ayah… aku susah lihat papan tulis dari jauh. Huruf-hurufnya kelihatan kabur," katanya dengan suara kecil, mencoba menutupi kecemasannya.
Wiwid, yang sedang menuangkan sayur ke piring Aisha, langsung menatap putrinya dengan khawatir. "Susah lihat dari jauh? Sejak kapan, Sayang?"
Aisha mengangkat bahunya, merasa ragu untuk menjawab. "Sudah beberapa minggu, Bu. Aku harus duduk di paling depan biar bisa lihat jelas."
Eddy, yang duduk di ujung meja, menaruh sendoknya dan menatap Aisha dengan serius. "Kamu nggak pernah bilang ke Ayah atau Ibu. Kenapa baru cerita sekarang?"
Aisha menunduk, merasa ada beban yang menggumpal di dadanya. "Aku nggak tahu kalau ini serius."
Wiwid mengelus kepala Aisha dengan lembut. "Nggak apa-apa, Nak. Besok kita periksa mata kamu, ya? Biar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi."