Rumah Aisha dan Adam terasa sunyi malam itu, hanya suara angin yang berdesir pelan di luar jendela yang menemani kesunyian mereka. Setelah melewati hari-hari dengan disiplin ketat yang diterapkan oleh Eddy, kini suasana kembali tenang—mungkin terlalu tenang. Wiwid mencoba menjalani rutinitas harian dengan penuh ketegaran, meskipun di dalam hatinya ada kekhawatiran yang selalu mengintai. Eddy, suaminya, telah kembali bertugas di Papua, meninggalkan keluarganya di tengah ketidakpastian dan ancaman bahaya yang selalu menghantui seorang prajurit.
Wiwid sering kali terjaga di malam hari, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang tidak bisa tenang. Dia tahu bahwa tugas Eddy di Papua bukanlah tugas yang mudah. Operasi Papua Merdeka (OPM) yang semakin gencar membuat situasi di sana semakin berbahaya. Meski begitu, Wiwid selalu berusaha untuk tetap kuat, tidak ingin menambah kekhawatiran pada anak-anaknya.
Pagi itu, Wiwid sedang menyiapkan sarapan untuk Aisha dan Adam ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ketukan itu terdengar berat, seolah membawa beban yang tak terlihat. Wiwid mengusap tangannya yang basah dan berjalan menuju pintu dengan perasaan tak enak. Saat dia membuka pintu, dilihatnya seorang pria berseragam TNI, rekan Eddy yang akrab dipanggil Pak Surya, berdiri di ambang pintu dengan wajah serius.
Wiwid tertegun sejenak, hatinya mulai berdebar tak menentu. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Pak Surya menatapnya. "Pak Surya, ada apa? Ada kabar dari Eddy?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya.
Pak Surya menunduk sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Kemudian, dengan suara berat, dia berkata, "Bu Wiwid… saya… saya datang membawa kabar dari Papua. Ada sesuatu yang harus Ibu ketahui."
Wiwid merasakan lututnya lemas seketika, namun dia berusaha menahan diri. "Apa yang terjadi, Pak Surya? Katakan saja… jangan buat saya menunggu," desaknya dengan suara bergetar.
Pak Surya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Bu Wiwid, semalam terjadi serangan mendadak dari kelompok OPM di daerah tempat Pak Eddy bertugas. Mereka menyerang pos TNI dengan senjata berat… dan…." Pak Surya terdiam, matanya berkaca-kaca.
Wiwid merasakan dunia seakan berhenti berputar. Dia tahu apa yang akan dikatakan Pak Surya berikutnya, tapi dia tidak siap untuk mendengarnya. "Pak Surya… tolong, katakan yang sebenarnya," pintanya dengan suara yang hampir pudar.
Dengan suara yang tercekat, Pak Surya akhirnya berkata, "Pak Eddy… beliau gugur, Bu. Dia terkena tembakan saat mencoba melindungi rekannya yang terluka. Mereka diserang secara tiba-tiba… dan Pak Eddy… dia berusaha melindungi teman-temannya. Tapi… dia tidak berhasil selamat."
Wiwid merasakan tubuhnya ambruk ke tanah, namun Pak Surya dengan sigap menahannya. Dunia terasa gelap bagi Wiwid. Rasa sakit yang menghantam hatinya begitu dalam hingga membuatnya sulit bernapas. Dia merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung. "Tidak… tidak mungkin…," gumamnya, masih mencoba menolak kenyataan yang baru saja disampaikan kepadanya.
Pak Surya, yang masih memegang pundak Wiwid dengan lembut, berkata, "Bu Wiwid, saya tahu ini sangat berat. Tapi saya ingin Ibu tahu bahwa Pak Eddy adalah seorang pahlawan. Dia… dia berjuang sampai akhir, memastikan bahwa tidak ada rekannya yang tertinggal. Beliau mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan yang lain."
Wiwid terisak, air mata mengalir deras di pipinya. "Eddy… kenapa kamu harus pergi seperti ini…? Bagaimana aku harus memberi tahu anak-anak…?"
Pak Surya menundukkan kepala, memahami kesedihan yang sedang dialami Wiwid. "Saya di sini untuk membantu Ibu, apa pun yang Ibu butuhkan. Tapi… anak-anak memang harus diberitahu, Bu. Mereka berhak tahu tentang ayah mereka."