Setelah kepergian Eddy, Wiwid harus menghadapi kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, Eddy adalah tulang punggung keluarga, dan Wiwid, yang telah lama menjadi ibu rumah tangga, kini harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan Aisha dan Adam. Meski ia adalah lulusan S1, Wiwid sudah lama tidak bekerja, sehingga kembali ke dunia kerja bukanlah hal yang mudah. Dengan tabungan yang semakin menipis, Wiwid tahu bahwa dia harus mengambil keputusan besar demi kelangsungan hidup keluarganya.
Suatu malam, setelah menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, Wiwid akhirnya memutuskan untuk menjual rumah mereka di Jakarta. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan bersama Eddy, dan Wiwid berpikir mungkin pindah ke lingkungan baru akan membantu mereka memulai hidup yang baru. Selain itu, hasil penjualan rumah bisa digunakan untuk membeli rumah yang lebih kecil di Bekasi, sekaligus membiayai kebutuhan sekolah Aisha dan Adam.
Namun, keputusan ini tidak mudah bagi Aisha. Ketika Wiwid menyampaikan rencana itu kepada kedua anaknya, reaksi Aisha penuh dengan kesedihan dan penolakan.
"Aku nggak mau pindah, Bu!" seru Aisha dengan suara yang penuh emosi. "Di sini aku punya teman-teman, aku kenal semua orang. Kenapa kita harus pindah?"
Wiwid menatap putrinya dengan tatapan lembut, memahami perasaan Aisha. "Sayang, Ibu tahu ini berat. Tapi kita harus realistis. Kehidupan di Jakarta terlalu mahal untuk kita sekarang. Dengan pindah ke Bekasi, kita bisa hidup lebih sederhana dan tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari."
Adam, yang lebih tua dan lebih mengerti keadaan, mencoba menenangkan adiknya. "Sha, kita nggak punya pilihan lain. Kita harus bantu Ibu. Lagipula, pindah ke Bekasi bukan berarti kita nggak bisa berteman lagi. Kita bisa mulai dari awal di sana."
Aisha menunduk, menahan air matanya. Dia tahu Adam benar, tapi hatinya masih berat untuk menerima kenyataan bahwa dia harus meninggalkan semua yang dia kenal. "Tapi, Bang... aku akan sangat kangen sama teman-teman di sini. Aku nggak tahu apakah aku bisa punya teman seperti mereka lagi."
Wiwid meraih tangan Aisha, memberikan sentuhan yang menenangkan. "Kamu pasti bisa, Sayang. Teman-temanmu di sini selalu bisa kamu hubungi. Dan di tempat baru, kamu bisa bertemu orang-orang baru yang mungkin juga akan jadi teman baikmu. Ibu yakin kamu bisa beradaptasi."
Aisha mengangguk perlahan, meski hatinya masih terasa berat. Keputusan ini sudah dibuat, dan dia tahu dia tidak punya pilihan selain mengikuti. Akhirnya, setelah beberapa minggu persiapan, mereka pun pindah ke rumah baru di Bekasi, sebuah rumah yang lebih kecil di pinggir kota. Tidak ada lagi hiruk-pikuk kota besar yang biasa mereka dengar di Jakarta, hanya suara-suara alam dan aktivitas warga yang lebih sederhana.
Saat pertama kali mereka tiba di rumah baru itu, Aisha merasa rumah itu begitu asing. Tidak ada sudut-sudut familiar yang mengingatkannya pada ayahnya, tidak ada pohon mangga besar di halaman yang dulu sering mereka panjat bersama. Adam, meskipun juga merasakan hal yang sama, berusaha keras untuk bersikap positif. Dia tahu, dalam situasi seperti ini, dia harus menjadi penopang bagi adiknya dan ibunya.
"Mungkin rumah ini lebih kecil, tapi kita bisa buat ini jadi rumah yang nyaman," kata Adam sambil mengangkat beberapa kotak kardus ke dalam rumah. "Kita bisa cat kamarnya dengan warna yang kita suka, dan mulai menata semuanya seperti yang kita inginkan."
Aisha hanya tersenyum kecil, meski hatinya masih merasa kosong. Dia tahu Adam mencoba untuk membuatnya merasa lebih baik, tapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia telah kehilangan lebih dari sekadar rumah lamanya.