Semakin hari, suasana di sekolah baru menjadi semakin berat bagi Aisha. Meskipun dia terus meraih prestasi akademik yang baik dan mendapatkan perhatian dari guru-guru, kehadirannya masih tidak diterima oleh sebagian besar teman sekelasnya. Kelompok murid yang dulu mengejeknya kini mulai memperparah perlakuan mereka, berusaha membuat Aisha merasa tidak diinginkan di sekolah itu.
Setiap pagi, Aisha merasakan rasa takut yang merayap di dadanya saat melangkah menuju sekolah. Jantungnya berdebar lebih kencang, dan kakinya terasa berat seolah-olah menolak untuk melangkah masuk ke gerbang sekolah. Di kelas, anak-anak itu akan menatapnya dengan tatapan merendahkan, berbisik-bisik di belakangnya, dan kadang-kadang mereka sengaja tertawa keras setiap kali Aisha menjawab pertanyaan guru.
Pada saat istirahat, Aisha mencoba menghindari mereka, tapi sering kali mereka menemukan cara untuk mengganggunya. Di kantin, mereka akan mengejek makanannya, menyebutnya "aneh" atau "murahan". Saat di toilet, mereka sengaja mendorong pintu dengan keras, menertawakannya saat dia terkejut. Setiap ejekan, setiap tawa, menambah luka kecil di hati Aisha, membuatnya semakin merasa terasing.
Suatu hari, saat pelajaran olahraga, Aisha sedang berganti pakaian di ruang ganti ketika Rina, pemimpin kelompok yang sering mengejeknya, datang bersama dua temannya. Mereka tersenyum sinis sambil melihat Aisha yang tengah mengganti sepatu olahraga.
"Eh, Aisha, kok kamu pakai sepatu kayak gitu sih? Itu kan sepatu olahraga murah, nggak cocok buat orang kaya Jakarta kayak kamu," kata Rina dengan nada mengejek, diikuti oleh tawa teman-temannya.
Aisha berusaha mengabaikan mereka, meskipun hatinya terasa seperti ditusuk. Dia tahu tidak ada gunanya membalas atau membela diri. Mereka hanya akan menertawakannya lebih keras. Namun, Rina tampaknya tidak puas dengan hanya mengejek.
"Eh, lihat deh, kayaknya bajunya Aisha juga udah usang, ya? Jangan-jangan bekas donasi dari Jakarta," kata Rina lagi sambil tertawa.
Aisha menunduk, mengikat tali sepatunya dengan tangan yang gemetar. Dia mencoba untuk tidak menunjukkan perasaannya, tapi air mata sudah menggenang di sudut matanya. Dia merasa begitu kecil, begitu tidak berdaya di hadapan mereka. Mengapa mereka begitu kejam? Apa salahnya sehingga mereka begitu membencinya?
Setelah pelajaran olahraga selesai, Aisha berjalan sendirian di koridor, mencoba menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Adam, yang kebetulan melihat adiknya sedang menangis, segera menghampirinya.
"Sha, kamu kenapa?" tanya Adam dengan nada cemas.
Aisha menggeleng, berusaha menahan tangisnya. "Nggak apa-apa, Bang. Aku cuma… aku capek."
Adam tidak percaya begitu saja. Dia bisa melihat kesedihan yang mendalam di mata adiknya. "Siapa yang ngelakuin ini ke kamu? Cerita aja sama Abang, biar Abang bisa bantu."
Aisha ragu sejenak, tapi akhirnya dia tidak bisa menahan diri lagi. Dia menceritakan semua yang telah terjadi—tentang ejekan-ejekan yang dilontarkan Rina dan teman-temannya, tentang bagaimana mereka terus-menerus mengganggunya dan membuatnya merasa tidak berharga.
Mendengar cerita Aisha, Adam merasakan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Bagaimana bisa mereka begitu kejam kepada Aisha? Bagaimana bisa mereka memperlakukan adiknya dengan cara seperti itu? Dia tidak bisa diam saja.